HAPPY READING
...
Majestic Art, pekan seni internasional yang dinanti-nantikan di Singapore sudah dibuka. Pengunjung dari berbagai belahan dunia berkumpul di The Esplanade, mulai dari kolektor seni ternama, seniman terkenal, seniman baru hingga penikmat seni biasa yang ingin menikmati keindahan karya dari berbagai budaya. Arian bisa merasakan semangat dan antusiasme mereka terutama penyelenggara acara, orang-orang terpenting di meja bundar. Tepat sekali! Mereka adalah Seven Vision dan Art Market.
Di tengah taman forecourt yang dipenuhi dengan instalasi seni modern dan patung pahatan yang mencolok, panggung grand piano tertata mewah. Sebelumnya Gerald Sevenor sudah berdiri di depan khalayak selama lima menit, memberi pengantar singkat tentang Majestic Art lalu meresmikan pembukaannya. Pria itu jelas sekali kelihatan sumringah, sebagaimana masyarakat melihatnya sebagai sosok yang ekspresif dan murah senyum.
Setelah pengantar, barulah Arian dipersilakan naik ke panggung. Sesuai kesepakatan kemarin dia adalah bintang tamu di pembukaan Majestic Art hari ini. Sejak diundang, Arian juga sudah menyiapkan instrumen dan siap memainkannya di depan umum. Arian maju dengan penuh percaya diri. Dia kelihatan rapi dengan balutan jas hitam dan wool trousers, rambut legam yang disisir rapi serta menggenggam partitur. Arian membungkuk seraya memberi hormat kemudian duduk di grand piano. Kakinya bersiap menginjak pedal, seketika lampu sorot tertuju padanya.
La Campanella dimulai dengan not D-sharp. Arian memilih instrumen Frans Liszt yang terinspirasi dari Niccolo Paganini, mengingat Gerald kemarin memintanya kembali memainkan Caprice No. 24 seperti yang dia bawa di gedung kesenian bersama Sunny. Ah, Arian bisa mengerti kenapa pria itu sengaja memintanya membawakan instrumen yang sama. Dia sangat terobsesi mencari tahu tentang Sunny bahkan tak tanggung memintanya membawa Sunny di tempat umum begini.
Tentu saja Arian menolak itu. Dia beralasan tidak mengenal Sunny lebih dekat dan tak punya kontak menghubunginya setelah pindah sekolah membuat Gerald tampak kecewa dan pada akhirnya membiarkan Arian seorang diri yang jadi bintang tamu di Majestic Art.
Sebelum berada di tempat ini, tidak lupa Arian diberikan petuah panjang lebar dari Morgan tentang apa yang kira-kira akan dibicarakan Gerald. Dia sudah memperhitungkan segala kemungkinan dan mempelajari akar permasalahan mengapa keluarga Sevenor sangat ingin menangkap Sunny dan Nathanael. Arian tak menyangka kalau masalah mereka sangat rumit. Arian tetap mendengarkan kisah yang diceritakan Morgan walau sebenarnya dia mengantuk. Ini sama seperti belajar sejarah perang dunia yang membuatnya bosan dan ingin bolos kelas.
"Keluarga Sevenor itu mau Sunny dan Nathanael bernasib sama dengan orang tua Aurelie. Karena Nael mengambil dua keluarga mereka, jadi dia harus membayar hal yang sama," jelas Morgan.
"Sunny harus terlibat juga? Dia kan nggak tahu apa-apa," sanggah Arian.
"Keluarga Sevenor memang seperti itu, Arian. Tidak peduli musuh, mata dibayar mata. Dua dibayar dua ...," Morgan menatap Arian, "Atau bisa lebih."
Arian terdiam.
"Tujuan kamu hanya melindungi Sunny. Soal Nathanael nggak usah peduli. Sunny harus ada dilindungan keluarga kita, dia bagian kita sekarang."
Arian mendengarkan sambil menyipit, "Kenapa? Ayah yang bakal melindungi orang itu? Nathanael?"
Morgan tertawa. "Mana mungkin? Ayah cuma peduli tentang Sunny."
Hanya Sunny. Catat itu.
Arian masih mendalami permainan. Jemarinya lihai menekan keyboard. Setiap nada tampak seperti lonceng kecil yang berdenting, hingga pengunjung tertarik untuk tetap tinggal di tempat dan menonton pertunjukannya. Terlebih ketika instrumen semakin berkembang, suasana di sekitar panggung berubah menjadi suasana yang intens, seiring dengan eksplorasi Arian terhadap variasi teknik yang menuntut serta lampu sorot yang mendukung. Dia selalu begitu setiap memainkan piano; seolah dunianya hanya ada antara partitur dan keyboard, melupakan orang-orang sekeliling. Hanya mereka yang terhipnotis dengan caranya memainkan piano.
KAMU SEDANG MEMBACA
Team II: Reach The Stars
Teen FictionSetelah masuk dalam program PIN, Airin baru sadar ia mempertaruhkan banyak waktunya untuk lebih giat belajar. PIN perak adalah motivasinya sekarang. Masalahnya ini bukan hanya tentang PIN perak lagi, tapi tentang menemukan bakatnya di tengah-tengah...