HAPPY READING
...
Sejujurnya Leon tak tahu apa yang harus dia bicarakan jika menyusul Adly karena mereka tak pernah berada dalam pembicaraan yang panjang sebelumnya. Adly di mata Leon adalah lelaki misterius yang mengeluarkan suara hanya untuk hal-hal yang penting, dia juga tak suka basa-basi, beda dengan Leon yang harus menyelidiki situasi dengan basa-basi dan perlahan melakukan konversasi.
Dilihatnya Adly menepi ke selasar lantai dua yang sunyi dan menekan railing. Entah apa yang terjadi, tapi Leon merasa Adly sedang berusaha mengendalikan dirinya lagi. Lelaki itu lepas kontrol setelah melabrak Sessa dan nyaris menjatuhkan gadis itu dari lantai dua. Well, Leon tak yakin apakah Adly benar-benar berniat mau menjatuhkan Sessa hanya karena mencelakai Airin? Atau ada hal-hal lain yang diucapkan Sessa hingga Adly hampir mencelakainya.
Selang beberapa saat berada di sana, Adly tampak menekan railing keras dan memperbaiki napasnya yang tadi memburu lalu menarik kembali tangannya setelah membaik dalam hitungan menit. Dia menoleh ke samping, di mana Leon berdiri tak jauh.
"Lo disuruh Airin?" tanya Adly.
"Nggak juga." Leon melangkah mendekatinya. Berdiri di sebelah Adly dan ikut melihat-lihat ke lantai bawah. "Airin orangnya gampang khawatir, apa yang lo lakuin tadi bikin dia shock."
Adly terdiam.
"Airin nggak pernah punya musuh, ini pertama kalinya ada yang musuhin dia. Dan sekalinya punya musuh ... itu gara-gara gue." Leon mulai mengeluarkan unek-unek dengan tatapan penuh penyesalan. "Ketakutan gue sama Arian dari dulu itu, kita takut nggak bisa lindungi Airin kalau terjadi apa-apa sama dia. Gue ngerasa buruk banget jadi sahabat Airin sekarang."
Tentu saja ini akan jadi trauma terbesar Leon; sahabatnya dicelakai seseorang yang mengaku penggemarnya, nyatanya obsesi mutlak. Dia merasa buruk karena tak mencegah hal-hal seperti ini terjadi pada Airin. Gadis yang hidupnya menyenangkan dan tak punya masalah besar, sayang sekali harus dapat musibah karena punya sahabat yang terkenal.
Leon beralih menatap Adly. "Lo tahu? Airin itu ... emang gampang akrab sama orang. Jadi nggak heran kalau dia punya banyak teman. Dulu saking akrabnya, banyak cowok yang suka sama Airin dan dia ditembak langsung di depan gue sama Arian. Tapi ditolak semua. Herannya, dulu nggak ada cewek-cewek yang sensitif kalau Airin disukai banyak cowok. Sekarang beda."
"Makanya pas tahu kalian pacaran, gue seneng akhirnya dia nggak nolak orang lagi. Sekaligus lega ... akhirnya ada orang yang bakal selalu ada di samping dia. Karena one day, gue sama Arian punya kehidupan sendiri dan nggak bakal selalu nemenin dia dari dekat."
"Kenapa lo nggak pernah buka hati buat Airin?" tanya Adly seketika. "Dia nolak semua orang dulu karena suka sama lo."
Leon mengangkat kening, tak menyangka Adly akan blak-blakan menanyakannya seperti itu. Walaupun memang benar dulu Airin menolak banyak orang dan berharap Leon peka akan perasaannya---menunggu selama itu dan berujung sia-sia. Entah kenapa memikirkannya, membuat Leon merasa kembali jadi sahabat yang buruk. Tapi dia selalu konsisten dengan alasannya tentang Airin.
"Gue---nggak bisa lihat Airin lebih dari itu. Selamanya dia sahabat gue, adik gue. Emang guenya aja yang bodoh nggak bisa lihat dia lebih dari sahabat padahal ... dia semenarik itu. Tapi namanya perasaan nggak bisa dipaksa, kan?" Leon tersenyum. "Ah, lagian udah berlalu. Sekarang yang bisa bikin Airin buka hati kan lo."
Adly belum merespons, sampai Leon menepuk bahunya.
"Makasih udah mau nemenin Airin, bahkan jadi orang terdepan yang belain dia. Kalau gue boleh minta, jangan tinggalin dia, ya? Karena gue jamin Airin nggak akan tinggalin lo juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Team II: Reach The Stars
Подростковая литератураSetelah masuk dalam program PIN, Airin baru sadar ia mempertaruhkan banyak waktunya untuk lebih giat belajar. PIN perak adalah motivasinya sekarang. Masalahnya ini bukan hanya tentang PIN perak lagi, tapi tentang menemukan bakatnya di tengah-tengah...