HAPPY READING
...
Prity menghela napas panjang sambil bersidekap saat melihat Richo baru saja tiba. Sudah beberapa menit dia menunggu di mobil karena mendadak pria itu menghilang dengan alasan ingin ke rumah sakit dan menyuruhnya diam di tempat parkir. Entah apa pula yang pria itu lakukan. Belakangan ini memang gerak-geriknya suka aneh.
"Lama banget? Lo ngapain emang di rumah sakit?" tanya Prity.
"Ketemu klien," jawab Richo. Asal-asalan. "Maaf lama. Kalau gitu kita ke Restoran Thailand aja, gimana?"
Kalau Richo sudah melihat anaknya mode ketus dan mendelik, pasti Richo akan membujuk ke Restoran Thailand dan mengajaknya makan Tom Yam. Pria itu memang paling tahu kelemahan Prity. Dan seperti biasa pula, Prity tak bisa menolak karena ini berkenaan dengan makanan favoritnya.
Bicara soal Tom Yam, Prity ingat dengan jelas apa yang dia sukai dari makanan itu. Sebenarnya Prity tak tahu ada makanan seperti Tom Yam di dunia ini kalau bukan Richo yang memperkenalkannya. Berawal pada hari di mana Prity tahu kalau dia punya seorang ayah, Prity mulai mengenal lebih banyak dunia modern. Maksud Prity, hidup serba enak versi Richo. Richo yang membawanya ke restoran Thailand dan memesan Tom Yam yang kalau bisa jujur itu adalah makanan enak pertama yang pernah Prity rasakan. Makanya dia selalu menyukai Tom Yam sampai dia berusia tujuh belas tahun.
Dari Richo, Prity mulai tahu banyak hal. Salah satunya mengetahui apa yang dikerjakan Richo selain menjadi owner bisnis keluarganya. Sebenarnya ini rahasia, tapi Prity bisa mengetahuinya dalam waktu singkat bahwa pria itu diam-diam bekerja di kepolisian. Prity tak yakin apakah Richo adalah seorang staf Intelijen dalam BIN atau seperti FBI, yang Prity tahu Richo sering menyelidiki beberapa kasus yang mengganjal di sekitarnya atau bahkan kasus yang melibatkan petinggi perusahaan seperti Reno Nirlangga kemarin.
"Omong-omong, lomba renang lo gimana? Jadi nih minggu depan?" tanya Richo, saat dua mangkuk Tom Yam sudah siap di hadapan mereka.
Prity mengangguk sebagai jawaban.
"Gue kosongin jadwal buat nonton lo deh." Richo melanjutkan dengan senang.
Prity hanya mengangkat kening seperti biasa dan mulai fokus mengaduk sumpitnya di mangkuk.
"Sekolah lo gimana? Ini tahun kedua lo dapet PIN perak kan?"
"Sekolah gue biasa aja, sama kayak tahun kemarin."
"Oh ya, gue penasaran. Kayaknya orang-orang yang lolos PIN perak tuh bukan orang sembarangan yah? Dari dulu, anak-anak Sevenor sering banget raih PIN perak sampe emas. Tapi sekarang gue lihat ada lebih dari lima orang yang lolos program PIN. Emang ujiannya sesusah apa sih?"
Prity memperlambat gerakan sembari mencuri pandang ke arah Richo.
Terkadang, Prity tidak paham Richo mode apa yang sedang ia hadapi ini. Apakah Richo mode bapakable yang selalu bawel di depannya atau Richo mode Intel yang bisa menjebaknya begitu saja. Karena tentu saja Prity tidak bodoh dengan pertanyaan sejenis itu, menyadarkannya kalau Richo pasti sedang meneliti tentang program PIN di SMA Bintang Favorit.
"Lo bisa lihat dari peringkat sekolah. Orang-orang yang bisa lolos program PIN ya rata-rata yang peringkat atas," jawab Prity.
Richo mengangguk-angguk dan menyesap mineralnya. Kelihatan malah tidak tertarik dengan Tom Yam dan malah mengajak Prity bicara lebih banyak.
"Rata-rata juga murid yang suka ikut lomba yah? Kalau gue perhatiin algoritmanya sih, mereka harus punya prestasi dulu minimal bawa nama sekolah ke lomba tertentu baru bisa lolos program PIN. Jadi, program PIN bukan pure buat orang-orang yang ikut ujiannya aja. Iya kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Team II: Reach The Stars
Roman pour AdolescentsSetelah masuk dalam program PIN, Airin baru sadar ia mempertaruhkan banyak waktunya untuk lebih giat belajar. PIN perak adalah motivasinya sekarang. Masalahnya ini bukan hanya tentang PIN perak lagi, tapi tentang menemukan bakatnya di tengah-tengah...