TEAM: 26: THINKING OUT LOUD

411 60 16
                                    

HAPPY READING 

...

Diantara banyaknya kutipan puitis musim semi, Adly pernah penasaran dengan kutipan Pablo Neruda yang berbunyi: kamu bisa memotong semua bunga tapi kamu tidak bisa mencegah datangnya musim semi. Sejujurnya dia tidak terlalu tertarik tentang hal-hal bersifat puitis seperti itu karena maknanya selalu bersifat subjektif, tapi penyair itu memuat kutipan analogis. 

Tentu saja dia tidak bicara tentang seorang penyuka bunga dan orang lain yang tidak menyukai bunga. Lagi pula di dunia ini siapa sih yang tidak suka bunga? Sekalipun ada orang yang berkata tidak menyukai bunga, dia tetap kagum kalau melihat ribuan bunga mekar. Sepertinya kutipan itu dibuat untuk orang yang menghindari segala bentuk hal-hal yang indah, tapi tetap tak bisa mencegah hal-hal indah itu datang. Atau bilang saja kutipan itu dibuat untuk menyindir dirinya sendiri. Dipikir-pikir, menyebalkan juga!

Beberapa menit yang lalu, Adly yang tadinya mau mencari suasana belajar di luar hotel tak sengaja mendengar percakapan Yoana dan Airin. 

"Lo sama Fahren lagi ngapain sih tadi?" tanya Yoana. "Kok gue ngerasa ada yang aneh, ya?"

"A—aneh gimana?" Airin malah tanya balik.

"Ya pas balik bareng lo berdua jadi diem-dieman."

"Ya ... kan nggak ada juga yang harus diomongin," jawab Airin. 

"Ih kenapa lo kayak gitu sih? Kayak orang salah tingkah ...," Yoana tertawa, sepertinya menggoda Airin yang sudah dipastikan merespons dengan air muka merah padam. 

"Apaan sih," gurau Airin. 

Karena sudah terlanjur membuka pintu kamar, Adly pun keluar dari sana dan berpapasan dengan Airin dan Yoana. Bertemu pandang, lalu Airin mempercepat langkahnya ke kamar sebelah seakan menghindar diikuti Yoana yang kebingungan. 

Wah, sekarang jadi gadis itu yang ngambek. 

Adly hanya terus melirik arah langkah gadis itu sampai dia menutup pintu kamar lalu memilih ke lantai satu. Ada kawasan taman outdoor dekat kolam renang yang sebenarnya sudah diamati Adly sejak awal datang, tempat yang sunyi untuk menenangkan pikiran. Sebenarnya Adly bisa belajar di mana saja, hanya saja di kamar terkadang dia suka mendengar hal-hal yang membuatnya agak menyedihkan. 

Seperti mendengar pembicaraan Fahren dan ayahnya lewat telepon. Setiap malam, orang tuanya memang selalu melakukan hal itu. Pun dengan Antonius yang selalu mendapat telepon. Sayup-sayup, Adly bisa mendengar sosok dibalik telepon berkata, "Yang penting kamu sehat-sehat. Kamu itu udah hebat kok." Walaupun kadang diselipi keinginan dan harapan kalau mereka bisa membawa pulang medali emas. 

Setiap malam, itu yang selalu Adly rasakan di sela-sela belajar. Menyimak dalam diam, Adly agak malu kalau bilang dia sedikit emosional. Belajarnya jadi terganggu, bahkan jika dia menyumpal telinga dengan deretan lagu-lagu lewat AirPods, kepalanya terus mengulangi pembahasan yang sama; tentang betapa berbedanya mereka. 

Hal-hal seperti ini tak boleh terus terjadi, bukan? 

Adly ingat pekan lalu, ketika pertama kalinya dia memberanikan diri datang ke ahli kejiwaan, dia belum menemukan solusi dari masalahnya. Ah, atau bisa dibilang Adly yang tak puas dengan arahan psikiater itu. Adly tahu dia memang tak mungkin langsung sembuh begitu saja setelah kunjungan pertama karena dokter belum mendiagnosa apa pun. Adly harus melalu beberapa tahapan dalam seminggu agar dokter bisa meyakinkan, apa yang terjadi. Bukannya membaik, kian hari kian memburuk. Dia pikir melarikan diri ke olimpiade ini bisa membantu sedikit meringankan gejala aneh di hidupnya, tapi tidak. Dia malah semakin terkurung lagi setelah menyimak hubungan kekeluargaan rekan sekamarnya. 

Team II: Reach The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang