HAPPY READING
...
Akhir pekan ini sesungguhnya menjadi hari besar sekaligus hari yang dihindari Adly karena putusan sidang perceraian orang tuanya keluar. Sejumlah media sudah menetap di pengadilan, menunggu Raya melakukan konferensi pers untuk mengkonfirmasi berita-berita yang menuding dirinya selama ini. Beberapanya lagi menunggu di rumah, tentu saja karena mereka ingin mewawancarai Adly juga.
Hasil sidang keluar, bukti-bukti kekerasan seperti visum Adly dan Raya tersebar. Sedangkan bekas luka yang terdeteksi dilakukan sendiri, dirahasiakan mereka. Setelah menjalani proses berbulan-bulan lamanya, Reno Nirlangga divonis penjara selama tiga tahun karena pertimbangan kekerasan yang dilakukan atas pembelaan. Tentu saja Raya tak dapat berbuat apa-apa, keberaniannya mengajukan bukti saja dirasa sudah cukup. Asal Adly sudah bebas dari pria itu.
Berbagai komentar memenuhi siaran langsung konferensi pers, menyalahkan sisi wanita dan pria. Ada kelompok penganut alasan kenapa Reno melakukan kekerasan dan penganut kekerasan tidak dibenarkan dalam hal apa pun. Astaga, mereka berkomentar seolah-olah tahu segalanya, padahal hanya tahu secuil lewat media.
Anony satu: pantas Adly bisa sepintar itu waktu kecil, ternyata karena dipaksa orang tuanya. Dia cerdas karena dituntut bukan cerdas dari lahir
Jenuh. Adly menjelajahi internet di kamarnya sendirian. Sebagian besar berita merujuk padanya. Walaupun tak pasti, Adly yakin sekali itu ulah keluarga Sevenor. Mereka memang suka melebih-lebihkan berita untuk menjatuhkan seseorang---terlebih keluarganya. Bukankah mereka seperti itu pada Nirlangga? jadi yang paling pertama menantikan keluarganya jatuh sejak dulu. Tapi Adly sudah masa bodoh, toh keluarganya juga sudah hancur.
Lalu, Adly melihat beberapa awak media di luar rumahnya dari jendela.
Entah kenapa rasanya hampa sekali, padahal ini juga hari besar buatnya. Dia berharap hari yang harusnya digunakan bersuka cita ini tak pernah ada; tidak. Dia bisa menghadapi apa yang terjadi di rumahnya dulu, tapi kenapa hari ini rasanya berbeda? Semua penderitaannya berakhir, Raya bilang mereka akan pindah rumah dan memulai hidup baru. Harusnya dia bebas dan bahagia, bukan?
Pikirannya berjalan kosong, hanya seperti ruang-ruang hampa yang gelap. Dia bisa merasakan bekas luka di lengan hingga punggungnya, tak pernah ada luka baru lagi di sana. Adly mengabaikan awak media di halaman rumah dan beralih membuka nakas. Tempat keramat di mana dia sering membuka itu di masa-masa kelamnya. Ada cutter dan sebongkah pecahan kaca---pecahan yang pernah dilempar Reno hingga melukai punggungnya dulu.
Dia belum pernah berpikir membuang benda-benda itu. Tak tahu juga kenapa. Mungkin karena benda-benda itu sudah menemaninya dulu atau mungkin ... benda-benda itu menunggu untuk digunakan lagi.
Perlahan tangannya bergerak mengambil cutter sembari membatin, dia tak punya planning apa pun lagi di hari esok, bukan? Misinya mendapatkan medali emas di IPhO sudah selesai, dia berhasil menutup berita keluarganya kemarin, ibunya juga kelihatan sudah sehat dan baik-baik saja. Ah, rasanya sudah bisa istirahat dengan tenang.
"Den Adly?"
Bunyi ketukan pintu membuat Adly tersadar dari pikirannya. Dia menghela napas kasar dan menutup kembali nakas, membuka pintu kamar dan seketika tertegun.
"Den, ada Airin yang nunggu di bawah. Mau Bibi panggil aja?" tanya Bi Mira, hati-hati.
◽◽◽
"Dok, ini gendernya udah bisa dilihat belum?"
Jean dan Airin menatap dokter dengan manik mata berkristal, antusias. Sedangkan Arista yang sedang melakukan pemeriksaan USG melihat monitor dengan senyuman lebar. Ikut penasaran dengan apa jawaban dokter, tapi kemudian dia teringat sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Team II: Reach The Stars
Teen FictionSetelah masuk dalam program PIN, Airin baru sadar ia mempertaruhkan banyak waktunya untuk lebih giat belajar. PIN perak adalah motivasinya sekarang. Masalahnya ini bukan hanya tentang PIN perak lagi, tapi tentang menemukan bakatnya di tengah-tengah...