TEAM: 23: DEMI MEDALI

380 59 5
                                    

HAPPY READING

...

"Semua test kamu nilainya meningkat drastis, Airin. Hebat. Kalau kayak gini sih, ibu yakin banget kamu udah siap sama IPhO," puji bu Ara membuat mata Airin berbinar-binar. 

"Hehe, doain saya ya, bu." Airin nyengir ceria.

"Airin, dari awal kamu udah masuk ke doa saya kok. Saya yang jadi guru pembimbing kamu, masa nggak saya doain."

Keberangkatan olimpiade mereka sudah di depan mata. Airin dan Adly juga sudah bertemu dengan partisipan lain dan berkenalan dengan mereka. Yoana, Fahren, Antonius, tiga murid utusan sekolah lain yang jadi rekan mereka selama olimpiade nanti. Sepanjang kenalan dan melewati test pembekalan dengan mereka, Airin seperti baru melihat dunia. Dia baru tahu di dunia ini masih ada yang jenius dan sepadan dengan Adly. Kalau sudah merasa begitu, entah kenapa Airin jadi kepikiran ... kok bisa dia tersesat di antara orang-orang cerdas ini?

Airin akui dia masih sangat jauh dari empat utusan ini. Pengetahuannya tak sedalam mereka, ya istilahnya dia baru tertatih sementara empat orang itu sudah bisa berlari. Seketika Airin teringat tentang nasibnya ketika bersama Leon dan Arian di mana orang-orang hanya mengenal dua cowok ganteng itu dan hanya menegur mereka seolah-olah Airin tak kasat mata. Dia selalu berada diposisi ini. Posisi di mana dia selalu berada di belakang mereka dan hanya berdiam diri, padahal mereka sudah berlari menjauhinya. Perasaan ini sangat nyata dan terkadang ... aneh.

Selain dapat support dari Bu Ara, Airin juga dapat support dari Bu Rahma dan Pak Willy. Di sela-sela mengurus pernikahan, mereka masih sempat-sempatnya memberi arahan dan semangat agar kegugupannya mereda sedikit. Ya, itu juga berkat Kepala Sekolah yang dengan entengnya menekan Airin untuk pulang dengan medali emas, maksud mereka—Kepala Sekolah bahkan tak memberi semangat sama sekali dan malah menuntut seperti itu. Walau tahu memang itu tabiat buruknya, tapi setidaknya anak-anak ini butuh penguatan dan kepercayaan diri darinya juga bukan hanya tuntutan. Belum lagi punishment kalau mereka gagal membawa pulang medali emas, mereka keluar dari program PIN. Benar-benar menyebalkan.

 Juga, support sistem nomor satu Airin. Kedua orang tuanya yang sudah excited mempersiapkan keberangkatan mulai dari pakaian, makanan dan buku-buku. 

"Dengar-dengar di Jepang tuh lagi musim semi. Pasti nanti Airin bisa lihat bunga sakura," ujar Jean. Mendengar itu, Airin berbinar bahagia. 

"Ih, honey. Airin kan ke sana bukan liburan, dia lagi olimpiade." Arista mengingatkan. 

"Iya sih. Tapi kan kalau udah selesai olimpiade-nya, siapa tahu Airin dikasih waktu jalan-jalan lihat bunga sakura."

Airin tersenyum. "Kalaupun nggak, lihat bunga sakura dari jalan aja udah cukup kok, ma, pa."

Jean mengangguk sambil menyuguhkan jempol. Sementara itu, Arista duduk di samping Airin membuat gadis itu bergelayutan di bahu dan mengelus perutnya. 

"Ada lagi yang Airin butuhin, nggak?" tanya Arista. 

"Udah selesai," jawab Airin. "Lagian kalau ada nanti Airin siapin sendiri. Mama nggak boleh kecapean, nanti debay-nya nggak kuat."

"Ini masih janin, Rin." Arista tersenyum.

"Ya ... pokoknya gitulah." Airin mengelak dan mereka bertiga tertawa. Aishiteru juga begitu, tak mau ketinggalan moment dengan membawa anak-anaknya mengelilingi kaki Airin. Seketika, Airin merasa hangat. 

"Jangan nyiapin sendiri dong. Kan masih ada Papa juga. Papa siap dua puluh empat jam ngurusin keperluan anak Papa yang paling cantik." Kali ini, Jean memujinya sangat dramatis seperti biasa. 

Airin tersenyum. Dia melepaskan diri dari gayutannya dan melirik Arista dan Jean bergantian. "Ma, Pa ... kalau nanti Airin gagal bawa medali ... gimana?"

Team II: Reach The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang