HAPPY READING
...
Ujian akhir semester untuk kenaikan kelas sudah dilaksanakan selama seminggu. Seminggu pula Airin menjalani kegiatan belajar setiap malam walau ada sebagian hatinya yang terasa mengganjal mengingat persoalan sekolah---seolah banyak yang berubah dalam hidupnya akhir-akhir ini. Menangani masalah program PIN dan berujung sahabatnya mengorbankan diri menghadapi bahaya sendirian, ah, rasanya Airin semuanya kembali normal. Hal-hal yang terjadi belakangan terlalu mencengangkan.
Ketika peringkat paralel diumumkan, Airin tidak lagi merasa terkejut dengan kenyataan bahwa dia bertahan di peringkat kedua dan Aurel berada di peringkat ketiga. Pun dengan beberapa siswa di SMA Bintang Favorit yang tak lagi terkejut dengan hal itu, seolah mereka sudah terbiasa dengan peringkat paralel di SMA Bintang Favorit. Itu bukan hal yang aneh lagi, bukan?
Di waktu liburan, Airin inisiatif menjenguk Arian bersama Leon. Keadaan sahabatnya sejak mengalami luka berat atas penyerangan di pulau itu sudah semakin membaik dan sekarang Arian bisa melanjutkan istirahatnya di rumah. Ya, Arian kembali ke rumahnya. Sementara Sunny masih harus menjalani perawatan sampai sembuh total di rumah sakit, bagian baiknya dia sudah keluar dari ICU.
"Jadi ... lu dikeroyok? Sialan ya mereka, untung aja lu nggak ditembak!" seru Airin, emosi mendengar seluruh cerita Arian tentang hari itu---malam di mana dia mencari Sunny di gedung berlantai tujuh. "Harusnya lu bisa loncat dari jendela, trus manjat-manjat kayak di film gitu!"
"Mana sempat gue mikir manjat-manjat, anjrit? Lu pikir gue Spider-Man?"
Leon berdecak mendengar obrolan absurd mereka. "Tapi kan lu bawa glock juga? Kenapa nggak make itu?"
"Lu bayangin aja kalau gue make glock, gue bisa bunuh orang. Lu pada mau punya sahabat tampan tapi pembunuh?" tanya Arian. Bisa-bisanya masih narsis dalam kondisi ini.
"Bilang aja nggak tahu cara pake," seloroh Airin.
Arian menyeringai jahil, "Dih, ngeremehin gue, lu? Lu nggak ingat apa gue ngalahin lu main hologate?"
"Itu cuma game VR, Yan." Leon berusaha menengahi perdebatan aneh mereka lagi. Dia mengembuskan napas panjang. "Untungnya lu bisa balik lagi. Tahu, nggak? Malam itu, waktu lu pamit---gue gelisah banget. Takut lu kenapa-napa. Takut kata-kata lu waktu itu cuma jadi kata-kata perpisahan. Apa lagi yang lo hadapin tuh orang-orang bahaya semua. Tapi, ternyata lu hebat juga bisa ngadepin mereka dan balik lagi."
Mendengar itu, Arian terdiam. Saat ini dia memang sudah kelihatan baik-baik aja, tersisa bekas luka sobekan di kening dan dagunya, serta bahunya yang masih sedikit kaku digerakkan. Mengingat kembali apa yang dilakukan dua penjaga markas kala itu membuatnya sedikit ngilu---sepertinya itu akan jadi hal yang mengganggu ingatannya sedikit lebih lama. Lalu, Arian terkekeh.
"Emang aneh, ya? Malam itu gue juga agak nggak waras---jadi, nggak peduli sama semuanya dan cuma pengen ngadepin mereka doang." Arian menggaruk kepalanya, dia menyadari sesuatu. "Ekhem, lu berdua pasti gelisah banget kan waktu gue pergi? Pasti langsung ingat gue terus dan langsung mengenang semua hal-hal indah tentang kita, trus nangis-nangis, nyetel lagu tentang kematian---"
"LEBAY!" teriak Airin dan Leon, kompak. Mereka mendorong bahu Arian bersamaan membuat lelaki itu meringis.
"Jangan kenceng-kenceng, napa. Sakit, coy!" seru Arian.
Kedua orang itu tertawa.
"Eh, lo udah janji ya, kalau semua selesai lo bakal balik ke sini." Leon memperingatkannya membuat Arian tersenyum sok cool.
"Iya. Tahun ajaran baru nanti, gue balik ke SMA Bintang Favorit."
"Serius?!" seru mereka berdua, kompak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Team II: Reach The Stars
Ficțiune adolescențiSetelah masuk dalam program PIN, Airin baru sadar ia mempertaruhkan banyak waktunya untuk lebih giat belajar. PIN perak adalah motivasinya sekarang. Masalahnya ini bukan hanya tentang PIN perak lagi, tapi tentang menemukan bakatnya di tengah-tengah...