HAPPY READING
...
Sunny mengernyit ketus ketika menatap ponsel. Beberapa saat yang lalu, Arian bertanya tentang apa instrumen piano kesukaannya, tapi setelah dibalas, Arian mengabaikan pesannya begitu saja. Sunny jadi penasaran, kenapa Arian membutuhkan instrumen kesukaannya sebagai inspirasi? Memangnya apa yang cowok itu kerjakan?
Sudah dua hari ini Sunny tak pernah bertemu Arian. Lebih tepatnya, Sunny yang menolak bertemu. Sesuai kesepakatan mereka, Sunny hanya perlu mengabari lokasinya dan meminta Arian tak menjemputnya. Soalnya kalau keseringan bertemu, Sunny merasa Arian akan jenuh. Ya, ini hanya pikirannya saja sih tapi cepat atau lambat pasti ada perasaan seperti itu kan?
Terkadang Arian seperti cenayang. Dia tahu kalau Sunny tak mau menjadi bebannya lagi dan terpaksa menjaganya di sini atas tuntutan Morgan. Dan saat itu Arian berkata,
"Gue ke sini atas kemauan gue, bukan bokap. Jadi nggak usah merasa lo nyusahin gue ...,"
Bohong.
Padahal jelas sekali Arian tak pernah mau pindah dari kota itu.
Arian ikut pindah dan menjaganya di sini karena dia tahu ... apa pun pilihannya itu akan selalu terkekang dengan tuntutan Morgan, sekuat apa pun Arian memberontak dari sana.
Dan apa pun yang Arian lakukan di sini, semua itu hanya keterpaksaan.
Sunny memejamkan matanya. Besok dia punya jadwal belajar di rumah, jadi harus segera tidur. Ah, sekarang agenda Sunny hanya sesingkat homeschooling dan les musik. Ini mungkin terdengar aneh, tapi Sunny merindukan aktivitasnya yang padat seperti dulu—memanah, muaythai, berkuda, les musik, les bahasa dan akademis lainnya—punya ambisi menguasai segala hal hanya agar punya jadwal makan malam dengan Nathanael.
Dibandingkan dengan kehidupan bebas seperti sekarang, Sunny lebih baik kembali ke masa itu yang penting dia masih mengetahui keberadaan papanya. Ironis, bukan?
Pagi harinya, Sunny segera bersiap-siap. Mandi, memilih pakaian di walk in closet dan menggunakan lipgloss di depan cermin. Sunny bersyukur semalam dia tidur sembilan jam, jadi dia merasa lebih segar sekarang. Sejam lagi, guru privatnya akan datang. Sunny masih punya waktu sarapan.
Di huniannya sekarang, Sunny hanya punya satu pelayan. Dia yang menyiapkan semua kebutuhan Sunny dari pagi sampai malam. Kecualikan bodyguard yang dikirim Morgan kemarin hanya karena Arian harus mendadak berangkat ke Jakarta. Sekarang Sunny tak melihat bodyguard itu lagi di unitnya. Mungkin Arian sudah menyuruhnya pulang. Pun dengan pelayan yang biasanya merecoki dapur di pagi hari, dia tak di sana.
Hanya ada Liana yang tiba-tiba hadir dengan raut gembira melihat Sunny tertegun di pintu sekat.
"Surprise!" seru Liana. Dia menghampiri Sunny. Memeluk dan mengecup keningnya, lalu mengajaknya ke meja makan. Sunny bisa melihat ada banyak makanan di sana yang sudah pasti berasal dari Liana.
Sunny mengamati makanan itu satu per satu. Mereka seperti mengadakan acara besar, padahal Liana tahu, di apartement hanya ada dia dan seorang pelayan. Kemudian pandangan Sunny terhenti pada kue tart yang ada di tengah-tengah. Sunny mendekat, mengamati kue tart itu dengan seksama.
"Kamu nggak lupa kan ini hari apa?" tanya Liana.
Sunny mengernyit, memasang tampang berpikir. Ya ampun! Bagaimana bisa dia lupa? Ini hari ulang tahunnya.
"Semalam aku ke sini, mau ngasih kamu kejutan tapi kamu bener-bener pules tidurnya. Aku nggak tega bangunin kamu."
Sunny menatapnya. "Gimana kamu bisa tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Team II: Reach The Stars
Novela JuvenilSetelah masuk dalam program PIN, Airin baru sadar ia mempertaruhkan banyak waktunya untuk lebih giat belajar. PIN perak adalah motivasinya sekarang. Masalahnya ini bukan hanya tentang PIN perak lagi, tapi tentang menemukan bakatnya di tengah-tengah...