01. Jaeyun?

530 51 0
                                    

Jake Sim, hanya remaja laki-laki yang sedang senang-senangnya bermain. Ia sangat menyukai sepak bola, mencuri mangga milik paman tua di dekat sekolah, mencuri manisan dari toples di dapur rumah.

Usianya 15 tahun, ia baru menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama. Satu ciri fisik paling mencolok adalah wajahnya yang tampak seperti orang asing padahal dia remaja pribumi Lavani dari desa Alindra.

Sesuai dengan tradisi yang ada dan sudah dijalankan lebih dari ratusan tahun, diusianya sekarang harus sudah mulai dijodohkan. Sejak 3 bulan sebelum kelulusannya, orang tuanya sangat sibuk berbincang dengan seorang Bibi biro perjodohan, Bibi Im namanya.

Ada banyak sekali foto gadis setiap Bibi Im datang. Gadis dari desa ini dan itu, gadis dari latar belakang keluarga ini dan itu, Jake tidak mengerti dan tidak peduli. Selama itu tidak mengganggu kegiatan bermainnya, ia tidak akan ikut campur.

Sampai dimana seorang gadis dipilih orang tuanya. Nenek dan Kakek sempat tidak setuju setelah mendengar latar belakang keluarga gadis yang dipilih, namun selepas perdebatan panjang gadis itu tetap dipilih. Naoi Rei, dia gadis yang terpilih.

Anak satu-satunya dari sepasang orang tua kalangan rendah. Ayahnya hanya buruh kerja di peternakan orang, Ibunya jelas hanya IRT biasa kadang juga memerah susu milik peternak sapi dimana suaminya bekerja.

Sudah seminggu sejak prosesi perjodohan -upacara pernikahan jelasnya- dilangsungkan. Jake kembali disibukkan dengan kegiatan sekolah, ia menjadi siswa baru di Sekolah Menengah Atas sekarang. Masih bersama teman-teman semasa Menengah Pertama.

Jake memasang wajah aneh menjurus jijik ke arah Heeseung, kakak kelasnya yang dengan enteng pamer kemesraan bersama jodohnya. Hal itu jelas dilarang menurut tradisi.

"Apa? Kau iri Sim Jaeyun?" tanya Heeseung dengan wajah congkak.

"Iri? Dalam mimpimu Lee, aku justru jijik. Kau tahu, hal semacam ini dilarang adat. Satu lagi, berhenti memanggilku dengan nama kuno itu," cecar Jake.

Heeseung tertawa keras, sementara gadis di lelaki itu menunduk. "Siapa yang peduli soal adat kuno itu. Dan ya, namamu memang Jaeyun. Mengubah panggilan menjadi Jake tidak akan merubah apapun, kau tetap pemuda Alindra."

Jake mendengus mendengar ceramah panjang Heeseung. Ia memilih kembali fokus pada benda bundar di ujung sepatunya. Menendang ke arah kawan mainnya yang lain.

"Bagaimana rupa gadis yang dijodohkan denganmu?" tanya Sunghoon, teman bermain bolanya saat ini.

Jake memutar bola mata, malas. Dia tidak sedang ingin membahas soal jodohnya itu. Memilih tidak peduli, Jake lebih tertarik untuk menendang bola ke gawang yang ada.

Sunghoon mendelik ketika pertanyaan yang ia ajukan tidak digubris. Tetapi bukan Sunghoon namanya kalau tidak semakin mencecar pertanyaan. "Dari mana gadis itu berasal?"

"Yang aku dengar dia dari Champa,apa benar Jake?" balas remaja lain yang baru datang.

Jake mengangguk membenarkan ucapan Jongseong a.k.a Jay. Lelaki dengan rahang runcing itu bukan berasal dari Dineshcara asli. Melainkan merupakan anak Guru yang bertugas dari Ibukota.

Bisa dibilang dia adalah yang paling modern. Seluruh penjuru negeri Lavani jelas tahu tradisi perjodohan yang ada, tapi seiring berjalannya waktu sebagian memilih meninggalkan, sebagian lagi masih meneruskan salah satunya Dineshcara.

Tetapi karena Dineshcara merupakan daerah istimewa, mereka berhak untuk mengatur keberlangsungan hidup masyarakat mereka. Sosialisasi dan penyebaran fasilitas yang tidak merata membuat kehidupan ekonomi serta sosial bermasyarakat tumpang tindih.

Sulit diatasi dan sulit diubah.

Jay tidak berjodoh diusianya sekarang dan tidak akan. Tetapi dia tidak masalah berteman di lingkungan aneh seperti sekarang. Biarkan saja, walaupun orang tuanya sangat aktif dalam menyuarakan perubahan tradisi terbelakang ini.

"Desa Champa sangat terbelakang di antara desa-desa lainnya di Dineshcara, apakah gadis itu, ya, setidaknya agak pandai?" tanya Sunghoon, lagi. Lelaki ini sungguh tidak pernah bosan.

"Hey, aku duluan," pamit Heeseung yang sedari tadi merasa diabaikan. Ketiganya tidak peduli, dasar lelaki tukang pamer jodoh. Tapi Karina memang cantik, sih.

"Aku tidak tahu dan tidak peduli. Aku baru pernah bertemu sekali dihari pernikahan saja, mana bisa langsung mengenal," jawab Jake akhirnya.

"Apa kau juga akan dijodohkan Jay? Kau sudah tinggal di sini, kau harus ikut adat di sini juga," goda Sunghoon. Jay di sebelahnya bergidik ngeri membayangkan dia dijodohkan.

"Tidak, tidak," panik Jay. "Setelah lulus, aku akan kembali ke kota dan mengencani gadis-gadis modern yang seksi."

Jay menunjuk ke arah beberapa anak perempuan juga gadis di luar gerbang yang sibuk mengangkut air dari sumur. "Pakaian mereka sangat kuno. Kau tau di kota gadis-gadis memakai rok di atas lutut dan atasan yang ketat. Uh, itu pemandangan yang sangat indah."

"Mereka mewarnai rambut, memakai riasan dan sering berfoto, memainkan media sosial yang sangat asyik. Di sini? Sinyal sangat jelek, aku tidak bisa bermain game. Dan gadis-gadis itu, ew." Jay berbicara tanpa jeda.

"Jika warga desa mendengar kau menghina gadis-gadis mereka, kau akan diarak telanjang dan dilempar ke sumur." Sunghoon memperingati. Jay berdecih mendengarnya.

Sebenarnya, apa yang dikatakan Jay tidak sepenuhnya salah. Perbedaan antara gadis kota dan gadis-gadis di desa sangat jauh. Gadis desa dan para anak perempuan di sini memakai kain yang dililit kesana-kemari agar menutup bagian tubuh yang sakral. Sementara di kota gadis-gadis memakai baju hasil jahitan yang tak perlu repot dipakai.

Tidak semua perempuan begitu juga, orang-orang kaya di desa juga sudah lebih modern. Mereka memakai pakaian yang dibeli dari kota, tetapi tetap saja model yang dipilih sangat kuno.

Sinyal internet sangat sulit didapat, bahkan nyaris tidak ada. Ponsel pun bukan barang yang lumrah dimiliki warga desa. Komputer hanya ada di kantor desa Alindra dari seluruh daerah di Dineshcara. Televisi juga hanya dimiliki orang-orang berada, contohnya Jake, Jay juga punya.

"Oke, kembali ke pembahasan awal. Bagaimana jodohmu Jake? Kapan dia akan mulai tinggal bersamamu?" tanya Sunghoon, lagi.

Jake menghela nafas. "Yang aku tau namanya Rei, 12 tahun. Kalau menurut adat yang sekarang 5 tahun lagi kalau tidak salah. Huh, untung masih lama. Aku belum siap hidupku direcoki seorang gadis," jawabnya cepat.

Sunghoon mengangguk saja. Jay memasang wajah berpikir yang aneh. "Bukankah justru bebanmu akan berkurang? Dia akan mengurus segalanya dan kau tinggal makan, tidur, mandi, berpakaian dan sekolah. Dasar tidak tau diri," ledek Jay.

"Aku sangat tidak ingin dijodohkan dengan gadis di sini, mana mungkin lelaki pintar seperti aku mendapat pendamping bodoh yang bahkan tidak bisa membaca. Kalian tau, di Ibukota wanita juga bekerja dan bersekolah tinggi."

Jake dan Sunghoon pergi begitu saja ketika Jay baru akan kembali membuka mulutnya. Jay yang diperlukan seperti itu kesal sendiri.

"Bocah-bocah sialan."

***
Semoga suka, see you!










Bersambung...

METANOIA | Jake x Rei [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang