09. Masa Berkabung

295 40 0
                                    

Rei hanya diam sedari mereka sampai di rumah lamanya. Dia tidak menangis, dan tidak juga histeris. Saat pekerja keluarga Sim memberi kabar kematian orang tuanya tadi siang, diam seribu bahasa adalah yang dilakukan Rei.

Ibu mertuanya sibuk memeluk, menenangkan. Tapi apa yang perlu ditenangkan dari Rei? Yang menangis malah Ibu dan Ayah jodohnya saat ini. Jake sudah dijemput dari sekolah dan mereka semua berangkat detik itu juga ke Champa.

Paman akan menyusul setelah malam tiba dari daerah timur Lavani. Jake memandang jodohnya yang menatap lurus jasad Ibu dan Ayahnya yang tengah dibersihkan serta didandani sebelum proses kremasi dilakukan besok pagi.

Jake hendak bangkit saat melihat ada pergerakan dari Rei, ia hanya khawatir Rei oleng dan jatuh pingsan. Namun tidak, gadis itu justru mendekat ke arah dimana orang tuanya dibaringkan.

Rei duduk bersimpuh di antara kepala kedua orang tuanya yang masih terdapat banyak luka serta darah masih mengalir di sana. Rei mengambil alih mangkuk berisi air dari Bibi -adik Ayahnya- untuk kemudian menggantikan membersihkan luka-luka di wajah kedua orang tuanya.

Perlahan dan penuh kelembutan. Wajah Rei datar-datar saja, tidak ada emosi yang cukup terbaca siapa pun. Bibi yang melihat itu justru kian deras menangis, gadis sekecil Rei harus kehilangan kedua orang tersayang dalam waktu yang bersamaan.

Bibi ingat sekali raut bahagia Kakak lelaki dan Kakak iparnya saat bercerita akan mengunjungi Rei di Alindra semalam. Bibi datang untuk menginap karena Ayah dan Ibu Rei akan singgah selama seminggu di Alindra.

Tapi naas, pagi-pagi Bibi mengantar menuju pemberangkatan bus, siangnya mendapat kabar dari petugas balai desa bahwa bus yang ditumpangi Kakaknya mengalami kecelakaan parah di tengah perjalanan mereka. Tepatnya di wilayah pegunungan berbatu utara Dineshcara. Karena jarak Champa dan Alindra adalah ujung Dineshcara ke ujung lain Dineshcara.

Suami Bibi yang langsung menyusul dan membawa pulang mayat keduanya setelah memenuhi beberapa syarat bahwa dia merupakan keluarga korban.

Sementara Bibi bertugas ke balai desa untuk meminta petugas mengirimkan pesan ke Alindra, tepatnya keluarga Sim kabar duka ini.

Tubuh kedua orang tuanya ditutup kain panjang, Rei dipeluk dan dibawa mundur dari posisi sebelumnya oleh Ibu Jake. Jake sendiri baru saja ditepuk oleh Ayahnya dan meminta Jake mendekati jodohnya.

Jake segera mendekat, membungkuk singkat saat melewati Nenek dan Kakek yang diam dengan wajah ikut berduka. Jake melepaskan kain yang masih digenggam Rei. Ia ganti menggenggam lengan mungil Rei. Menuntunnya ke kamar yang sebelumnya ditunjukkan Bibi Rei.

Ibu mendekat dan berbisik, "jangan biarkan Rei keluar sebelum esok hari. Ibu akan mengantar makanan nanti, pastikan Rei tidur saat malam, Ibu mengizinkan kalian sekamar dan tolong jaga kepercayaan Ibu Jake."

Jake mengangguk saja. Ia membuka pintu kamar Rei dan menuntun gadis itu untuk duduk di ranjang. Jake menutup serta mengunci pintu kamar. Kamar Rei sangat sempit bagi Jake tapi rapih dan mungkin akan nyaman.

Ia menatap dalam Rei yang tidak kunjung bersuara atau setidaknya menunjukkan satu perasaan yang sedang digeluti di dalam dirinya. Hanya diam seperti boneka dan akan ikut kemanapun dibawa.

Pasti sangat syok, Jake mendekat ke arah Rei, duduk di sebelah jodohnya itu tanpa mencoba membuka obrolan. Biarkan saja Rei selesai dengan sendirinya nanti.

Jake sendiri sangat terkejut ketika seorang pekerja datang ke kelas dan mengatakan ia harus ikut segera, saat ditanya si pekerja hanya menjawab mereka akan ke Champa. Terlalu tiba-tiba membuat Jake punya prasangka buruk yang ternyata benar adanya.

Sore hari, para warga yang datang sudah mulai pergi meninggalkan rumah. Tersisa keluarga Rei dan keluarga Jake tentunya. Ibu Jake dan Bibi Rei saling memeluk mencoba saling menguatkan satu sama lain.

Nenek diam saja, dalam hati memanjakan doa untuk keluarga besan putranya itu. Semoga kesucian menerima jasad yang baru pergi meninggalkan dunia.

Ibu Jake dan Bibi Rei segera menyiapkan makanan saat menjelang malam, Paman yang datang dari Timur Lavani sudah tiba. Jake dan Rei masih di kamar, dengan Rei yang berbaring di ranjang seraya Jake duduk di sebelahnya. Keduanya tidak melakukan apapun sedari tadi, tidak juga tercipta sebuah percakapan singkat sama sekali.

Semua orang makan si ruang makan sederhana rumah itu, Ibu yang sedang menunggu giliran makan memilih mengirim makanan ke kamar Rei terlebih dahulu. Dua piring dengan isi nasi serta lauk-pauknya, dua gelas air putih, serta susu hangat yang disimpan di gelas berukuran besar, semua ditata rapih di nampan.

Jake segera membuka pintu saat mendengar ketukan singkat, ia tersenyum senang melihat makanan yang dibawa Ibu. Jake mengambil alih makanan tersebut sebelum setelahnya mengucapkan terima kasih. Ibu meminta agar Jake membujuk Rei makan, dan Jake mengangguk saja.

Jake meletakkan napan tadi di meja kecil yang ia pindahkan dari sudut kamar. Jake memakan miliknya dengan tenang hingga selesai, barulah setelah itu menyuruh Rei makan. Rei tidak beranjak sedikit pun dari atas ranjang.

Jake memutar bola mata malas. Ia tidak ingin repot membujuk sebenarnya, tapi akan jadi pertanyaan jika Ibu melihat satu piring masih penuh.

"Cepat makan, Ibu akan segera kembali untuk mengambil bekasnya," titah Jake. Rei masih tidak merespon, Jake tahu Rei jelas tidak tidur.

Jake menghentakkan kakinya kesal, ia menarik kasar tangan Rei hingga gadis itu terduduk di ranjang. Rei menatap penuh tanya Jake di hadapannya itu.

"Makan!" Titah Jake sekali lagi, jari telunjuknya mengacung menunjuk ke arah piring yang masih penuh, gelas air putih, dan susu yang tinggal setengahnya.

Diamnya Rei membuat emosi Jake naik. "Jangan merepotkan aku, cepat makan!"

Rei bergidik takut saat mendengar Jake berteriak di depan wajahnya. Ia segera bangkit menuju makanan yang ada, memakannya dengan tenang tanpa suara berarti.

"Tinggal makan saja sulit sekali," gerutu Jake.

Setelah Rei selesai makan, ibu datang untuk mengambil piring dan gelas bekas mereka. Rei meminta maaf karena tidak ikut membantu Ibu dan Bibi padahal ia yang punya rumah. Tapi di luar kamarnya masih ada jasad Ayah dan Ibunya, Rei tidak bisa.

Walaupun ia tidak menangis, jauh di dalam lubuk hatinya ia terluka, ia ingin menangis sangat deras dan berteriak kelewat keras. Tapi entah kenapa tak ada satupun yang terealisasi.

Rei baru selesai mandi dan berpakaian, ia melihat Jake sudah tertidur pulas di ranjangnya. Rei ragu untuk mendekat, apa mereka boleh tidur seranjang?

Sepertinya belum bisa, ada upacara khusus yang harus dilakukan sebelum sepasang jodoh tidur di ranjang yang sama. Jadi Rei memilih mengambil selimut dan bantal cadangan di lemari, ia menggelarnya di lantai dekat ranjang dan berbaring di sana.

"Ayah, Ibu, semoga kesucian menerima jiwa kalian."

***

Besok paginya, warga desa, sebagian keluarga Rei, juga keluarga Sim berkumpul dekat batu besar desa Champa yang dipercayai sebagai tempat bersemayam pada roh suci leluhur Dineshcara.

Upacara pemakaman turun-temurun dipimpin seorang pria pemangku adat. Hingga di akhir, pembakaran atau kremasi jasad orang tua Rei dilangsungkan.

Kobaran api dari dua tumpukan kayu yang menyimpan tubuh tak bernyawa Ayah dan Ibunya terpantul dalam manik jernih milik Rei. Sama seperti sebelumnya, Rei tidak menangis sama sekali.

Warga desa mulai meninggalkan tempat upacara "Pengembalian Milik Alam (Tuhan)" . Secara singkat, orang-orang Dineshcara memang tidak beragama. Mereka cenderung menyembah dan mengelu-elukan Nenek moyang mereka sebagai alasan peradaban ada. Tetapi mereka meyakini bahwa alam semesta adalah Tuhan itu sendiri.

Kakek-Nenek Sim kembali ke rumah Rei, orang tua Jake, Paman Sim dan keluarga Bibi Rei menyusul. Jake memilih mendekat ke arah Rei, ia berdiri di belakang Rei yang masih betah memandang kobaran api yang semakin terasa panas.

"Masih ingin di sini?" tanya Jake, tidak ada jawaban apapun dari Rei.

"Kembalilah-"

"Aku akan menemanimu."


***
Sekali lagi, R.I.P Ayah dan Ibu Rei 🙏











Bersambung...

METANOIA | Jake x Rei [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang