10. Salah Paham

321 45 7
                                    

Mereka kembali ke Alindra tiga hari setelah upacara kremasi di lakukan. Rumah sederhana Rei di Champa akan ditempati oleh putra dan menantu Bibi Rei yang kemarin banyak membantu.

Rumah tersebut tetap hak milik Rei sebagai putra orang tuanya, tetapi karena Rei sudah berjodoh dan tinggal bersama jodohnya di Alindra, rumah tersebut dibiarkan ditinggali agar tetap terawat.

Satu ruangan yang merupakan kamar milik Rei tidak boleh diganggu, di dalamnya tersimpan banyak foto-foto kebersamaannya dengan Ibu dan Ayah. Abu kremasi orang tuanya di simpan di ruang tamu beserta foto keduanya.

Awalnya Rei ingin membawa guci berisi abu tersebut, namun menurut tradisi abu orang yang meninggal harus disimpan di rumah mereka dan tidak diizinkan dibawa kemana pun.

Rei dengan pakaian serba hitamnya berdiri di dekat jendela di kamar Jake. Sudah menjelang malam, ia baru saja mengantarkan susu hangat untuk Jake yang masih mandi. Udara malam Alindra tidak sedingin Champa, Rei masih tahan dengan hanya gaun tidur hitamnya yang tipis.

Air matanya tiba-tiba jatuh, Rei sendiri terkejut mengenali perasaan tidak nyaman dalam dirinya. Ia baru merasakan lonjakan sakit yang teramat sekarang. Nenek bilang, Rei masih syok dan belum sepenuhnya percaya orang tuanya meninggal sebab itu ia tidak menangis sama sekali.

Sekarang, di Alindra. Jauh di sana, Rei sudah sadar sepenuhnya Ayah dan Ibu tinggal abu kremasi di Champa. Jiwanya sudah diambil yang maha tenang Sang Alam Semesta.

Rei kian mendekat ke jendela, tanyanya bertumpu pada pinggiran jendela tanpa kaca itu. Menangis tersedu mengaminkan rasa kehilangan yang baru muncul.

Tubuh mungilnya hampir luruh ke lantai jika tidak ada tangan yang menahan. Jake yang baru selesai berpakaian dikagetkan dengan suara tangisan dan lebih terkejut lagi melihat Rei lah yang menangis itu.

Karena terlalu lemas, Jake membiarkan Rei duduk bersandar di dinding, kaki pendek jodohnya itu dibiarkan lurus dan Jake mengambil alih tubuh atasnya untuk dipeluk. Tanpa diduga Rei membalas pelukannya dengan sangat erat.

Jake yang memulai dia juga yang terkejut. Tapi ia melanjutkan agenda menemani Rei berduka, tangannya aktif menepuk-nepuk punggung sempit milik Rei. Kepala Rei bertumpu pada pundak Jake, begitu pula sebaliknya.

Cukup lama hening di antara keduanya. Isak tangis Rei mulai reda setelah beberapa menit. "Jaeyun," lirih Rei.

"Panggil aku Jake," sergahnya cepat.

Rei menggeleng kuat. "Aku mengenalmu dengan Jaeyun bukan Jake," kukuh Rei. Gadis itu mengeratkan pelukannya.

Jake memutar bola matanya malas. "Terserah kau."

Adalah Rei yang melepas pelukan paling pertama, Jake dibuat kikuk oleh hal itu. Jake berdiri bersamaan dengan Rei. Gadis itu langsung berbalik dan kembali pada aktivitas awalnya yang memandang keluar kamar.

Empat hari lalu, Rei baru saja kehilangan dan melanggar salah satu aturan adat seorang jodoh perempuan. Seharusnya ia tidak boleh keluar rumah jodohnya sebelum genap satu tahun tinggal.

Dikatakan melanggar sebenernya tidak juga, Nenek saja yang terlalu sanksi. Ibu mertuanya bilang itu dimaafkan karena hal mendesak. Orang tuanya meninggal, mana mungkin dia tetap tinggal dan menuruti aturan.

"Jaeyun," panggil Rei lagi. Tadi ia tidak ingat ingin mengatakan apa, salahkan Jake yang memotongnya bicara.

Suara Rei yang agak bergetar membuat Jake terkekeh singkat. Tangan Jake menuntun Rei untuk kembali berbalik, menarik tubuh kecil itu ke pelukannya lagi.

"Kau belum selesai menangis, menangislah lagi, aku di sini," tuturnya tenang. Benar saja Rei kembali terisak kencang. Jake semakin erat merengkuh tubuh kecil sebatas dadanya itu.

METANOIA | Jake x Rei [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang