Rei memandang seluruh dekorasi yang dipasang apik di halaman rumahnya. Kata Ibu, hari ini dia akan dibawa oleh keluarga jodohnya. Rei tidak begitu paham apa maksud dari dibawa, apa ia akan tinggal di sana dan meninggalkan rumahnya ini, atau apa, ya.
Seorang lelaki duduk di sebelahnya, lelaki yang sama seperti setahun lalu, Sim Jaeyun. Ini namanya upacara penjemputan jodoh. Ada beberapa prosesi yang dilakukan dan dipimpin tetua desa Champa.
Orang tua keduanya tampak sangat terharu apalagi para Ibu. Bibir Rei melengkung ke bawah dan matanya berkaca-kaca ikut sedih. Perasaan tidak nyaman sedari tadi pagi semakin gencar membuat Rei rasanya akan tidak sadarkan diri. Tapi ia harus menahannya, ada Nenek galak yang terus memelototi dia dari sudut sana.
Rei menatap polos lelaki yang masih tetap diam seperti tahun lalu. Ya, tahun lalu. Sudah dua bulan sejak pengembalian aturan lama. Ayah dan Ibu Rei yang meminta waktu tersebut pada keluarga jodoh putri mereka. Hal yang wajar.
"Rei," ucap Rei tiba-tiba, sembari menyodorkan lengannya pada lelaki yang merupakan jodohnya itu. Jake menatap sinis tangan serta wajah Rei dan tidak membalas sama sekali.
Rei tidak kunjung menjauhkan tangannya dari Jake, membuat lelaki itu cepat membalas singkat jabatan tangan tersebut. "Kurasa kau tahu siapa namaku," ketusnya.
"Jaeyun-" balasan Rei dipotong Jake. "Panggil aku dengan Jake saja, aku tidak suka nama itu," sergah Jake cepat. Rei memandangnya lama membuat dia sedikit salah tingkah, dan Rei mengangguk setelahnya. Imut.
Rei kembali mengalihkan pandangannya. Upacara adat yang entah apa maknanya terus dilakukan oleh pria tua yang sama seperti hari perjodohan. Mungkin sudah sekitar tiga jam mereka duduk di sini, sebentar lagi tengah hari dan dia akan segera pergi dari rumah orang tuanya.
Selanjutnya, Rei dan Jake dibimbing untuk bertemu orang tua Rei sebagai simbol berpamitan serta pemindahan tanggung jawab atas Rei dari Ayahnya kepada Jake.
Tepat tengah hari, keluarga pihak lelaki segera bersiap untuk kembali ke rumah mereka di Alindra dengan Rei di antara mereka.
Di gerbang desa Champa, Ayah dan Ibu Rei menangis tersedu-sedu sembari memeluk erat putri mereka. Nenek Sim yang melihat itu berdecak kesal, dramatis pikirnya.
Ayah dan Ibu Jake segera menuntun Rei masuk ke bus yang mereka sewa, Rei memang terlihat sedih dan kurang nyaman tapi dia tidak menangis sama sekali.
Rei duduk di sebelah Ibu mertuanya, sementara Jake duduk di dekat Ayahnya. Kakek, Nenek dan putra tertua duduk dibarisan paling depan, baru di belakangnya ada mereka. Di belakang duduk beberapa saudara juga tetua desa Alindra sebagai perwakilan.
Rei duduk samping jendela yang dibukakan Ibu mertuanya, wajahnya cerah melihat pemandangan yang belum pernah dilihatnya. Jalanan menuju desa Alindra sangat bagus, tadi mereka melewati pasar-pasar dari desa lain di Dineshcara.
Yang paling terkenal adalah pasar di Alindra yang katanya sangat besar dan ramai setiap harinya. Rei ingin melihatnya nanti, mungkin juga membeli beberapa makanan. Oh? Tunggu.
Membeli? Rei tidak punya uang sama sekali. Eh, ada. Pemberian para saudaranya sebagai hadiah pada tradisi setelah perjodohan. Tapi hanya sisa sedikit, apa cukup untuk membeli manisan nanti?
"Nyonya," panggil Rei tiba-tiba. Berisik suara mesin bus tidak membuat yang lain tak bisa mendengar panggilan dari Rei barusan.
"Hey? Siapa yang kamu panggil Nyonya tadi, Anakku? Panggil aku Ibu juga, sama seperti Ibumu di Champa," jelas Ibu Jake sembari mengusap kepala Rei yang sedang menatapnya.
"Ibu?" ulang Rei dengan wajah kaku yang imut. Membuat Ayah serta Kakek tersenyum kecil. Sementara Ibu mengangguk mengiyakan.
"Apa kita akan melihat pasar Alindra?" tanya Rei, masih dengan wajah ingin tahu yang lugu. Ibu merasa tidak menyesal dan sangat bersyukur, Rei sangat imut dan lugu, dan penurut.
"Kamu ingin melihatnya?" Rei mengangguk antusias sebagai jawaban, membuat Ibu terkekeh gemas.
Nenek menatap tidak suka interaksi barusan. Sejak awal dia memang tidak setuju untuk memilih Rei, gadis itu dari Champa yang kumuh dan keluarga Rei sama sekali tidak berstatus bagus. Dan paling penting dia pasti bodoh.
Oke, jika soal bodoh Nenek juga sama bodohnya. Dia wanita dan tentu tidak sekolah, dia buta huruf, buta angka. Seluruh keluarga menurut padanya karena Nenek luar biasa galak.
*Tidak sadar diri, kata saya (La-ii)
"Kita tidak akan ke tempat yang kau inginkan Nak, jika kau ingin pergi ke pasar Alindra, sewa bus-mu sendiri," ujar Nenek dengan nada yang sangat kasar. Kakek yang mendengar itu memberi tatapan mengancam agar tidak melakukan hal tersebut. Tapi Nenek tetaplah Nenek.
"Ibu, kau menakutinya," nasihat dari Ayah Jake tidak dipedulikan Nenek.
Rei memandang wanita tua di depannya tanpa berkedip, membuat Nenek tidak nyaman dan kembali mengalihkan perhatiannya ke jalanan di depan.
"Jadi kita tidak akan ke sana? Hanya melewati pun tidak?" Ibu menoleh singkat me arah Nenek sebelum menggeleng dengan senyum tak enak.
"Oh~," balasan Rei tidak menyuarakan reaksi keberatan sama sekali. Ya, Rei memang hanya bertanya, dia memang penasaran, tapi tidak sebegitu ingin sehingga akan memaksa.
Nenek yang mendengar menjadi kurang nyaman, ia merasa sedikit tidak enak karena membalas dengan kasar tadi. Hanya sedikit tidak enak, dia tidak berniat meminta maaf sama sekali.
"Ibu, apa di rumah kalian ada televisi?" tanya Rei. Tatapan penuh ingin tahu yang terus dipancarkan Rei tak pernah bisa ditolak.
"Ada, kamu ingin menonton nanti?" Rei mengangguk girang mendengar tawaran Ibu barunya ini.
Jake yang duduk di sebelah Ibunya yang terpenggal jalan, ia menolah dan mendengarkan setiap percakapan yang dimulai Rei. Ternyata jodohnya itu banyak bicara juga, sangat ingin tahu banyak hal. Apapun hal asing yang dilihatnya segera ditanyakan kepada Ibunya, Ibu Rei juga sekarang. Huh, ia harus berbagi Ibu.
Tapi tidak akan berbagi Nenek, Nenek adalah satu-satunya orang yang tidak senang atas bergabungnya Rei ke dalam keluarga mereka.
Menjelang malam mereka baru saja tiba di Alindra. Jake sudah pulas tertidur di pundak Ayahnya, sedang Rei sibuk mengagumi Alindra yang sangat berbeda dengan Champa.
Netra cokelat jernih Rei berkilau saat melihat bagian depan rumah jodohnya. Sangat besar dan tinggi, pasti dalamnya luas sekali.
Rumah keluarga Sim sudah berdiri sejak Kakek kecil, rumah dengan dua lantai itu memiliki 11 kamar luas, dan ruangan lainnya yang tidak kalah besar.
Rei meloncat turun dari bus, Ayah sigap menahan tubuh mungil yang hanya se dada Jake itu. "Hati-hati," peringat Ayah.
Rei benar-benar berbeda. Gadis itu sama sekali tidak tampak sedih pergi dari rumah orang tuanya. Rei malah terlihat antusias ketika melihat rumah barunya ini.
Entah Rei tidak sedih, atau belum merasakan sedihnya. Rei memang bukan gadis yang mudah mengekspresikan perasaannya sendiri. Kecuali rasa senang yang akan dengan mudah terlihat.
"Besok kita akan melakukan upacara perkenalanmu kepada warga desa, dan upacara adat lainnya. Jadi selama seminggu ke depan, sesuai tradisi kamu akan tidur dengan Ibu dulu, ok?"
Bukannya menjawab perkataan Ibu, Rei malah menarik ujung kemeja milik Jake. "Apa kamu mau main petak umpet denganku nanti?"
***
Spoiler,
Jake akan jadi orang pertama yang jatuh cinta dan jadi yang paling keras jatuh.See you!
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
METANOIA | Jake x Rei [✓]
FanfictionDineshcara, adalah daerah yang berada di sebuah negeri nan jauh di sana. Negeri yang nyaris tidak tersentuh dunia, Lavani. Dineshcara mencakup enam desa, tetapi desa yang paling terkenal adalah desa Alindra sebagai pusat pemerintahan, juga menjadi...