Lavani, merupakan sebuah negara kecil yang terletak di bagian paling luar benua Asia. Sistem pemerintahannya berbentuk republik yang dipimpin presiden. Sebuah negara yang nyaris tidak tersentuh dunia seluk beluknya.
Bahasa resmi mereka adalah Bahasa Lava, bahasa turun-temurun dari Nenek moyang yang terus digunakan. Seiring berjalannya waktu, bahasa Lava juga banyak menyerap kosa kata baru dari negara asing.
Dimasa lampau, Lavani hanya bagian kecil dari negara tetangganya sekarang, namun pada periode akhir perang dunia kedua, Lavani berhasil memenangkan sidang untuk melepaskan diri dari negara sebelumnya.
Alasannya jelas karena ideologi yang berbeda dan tidak akan bisa sejalan. Juga alasan lain yang tidak pernah diakui negera sebelumnya adalah Lavani pernah direncanakan dibantai dan dihabisi orang-orangnya karena ketidaksukaan negara terhadap kaum tidak beragama dan menjalankan tradisi gila.
Serta pasokan makanan pokok yang dikirim dari Lavani ke pusat negara tidak pernah berbalas baik. Fasilitas masyarakat tidak kunjung dipenuhi membuat beberapa orang berpendidikan menyuarakan pelepasan diri dari negara mereka dan membentuk negara sendiri.
Dimasa sekarang, Lavani terbagi menjadi 4 provinsi kecil yang di dalamnya terdapat beberapa daerah yang semakin mengerucut jadi desa-desa. Yang paling tersohor adalah Dineshcara dari provinsi Sabitah di utara Lavani.
Dineshcara terkenal karena masyarakat mereka yang masih memegang teguh tradisi dari leluhur Lavani yang mulai ditinggalkan di daerah lain. Keseluruhan masyarakat Dineshcara tidak beragama dan memiliki kepercayaan terhadap roh-roh Nenek moyang yang bersemayam pada batu atau pohon tua.
Hal itu juga didukung pemerintah yang tidak mewajibkan masyarakatnya untuk memeluk satu agama. Tetapi di Ibukota banyak yang mulai memeluk satu agama dan kegiatan keagamaan banyak dilakukan atas izin negara.
Jumlah penduduk Lavani tidak lebih dari 10 juta jiwa, dengan pemerataan tinggal yang tidak stabil. Fasilitas masih sulit diakses orang-orang paling utara.
Angka kelahiran paling sedikit diberikan Sabitah terutama Dineshcara, dikarenakan perjodohan dini yang mereka lakukan, hamil diusia muda menyebabkan para perempuan meninggal dunia dan anak-anaknya tidak selamat, belum lagi fasilitas kesehatan yang masih rendah.
Kemiskinan Lavani menyentuh angka 70% dari keseluruhan masyarakatnya. 30% terbagi ke menengah dan kalangan atas. Mata uang resmi mereka biasa disebut Luii, menyentuh 20.000 luii persatu dolar Amerika. Terdapat juga uang koin yang dikenal dengan Hen, nominalnya kecil 500 hen - 1.000 hen.
Masyarakat Lavani masih lebih banyak bekerja sebagai peternak atau petani, sebagian bekerja sebagai pedagang pasar, sedikitnya ada juga yang tergabung dalam pemerintahan dan pabrik agak besar di kota.
Air bersih masih sangat sulit didapat oleh masyarakat Lavani utara juga selatan. Kebanyakan masyarakat harus ke sumur yang sangat jauh dari pemukiman demi mencukupi kebutuhan air bersih rumah mereka.
Selain dari ekonomi dan SDM yang rendah, tradisi ekstrim menjadi satu dari banyak masalah yang diusahakan pemerintah. Dineshcara sebagai pusatnya sangat tidak tersentuh juga sulit diganggu.
Presiden ke-2 Lavani yang lahir di Dineshcara naman besar di Ibukota mengubah aturan dan memberikan Sabitah kewenangan khusus yang tidak boleh dicampuri daerah lain termasuk pemerintah sekali pun.
Hal ini yang menyebabkan reformasi Lavani tidak menyentuh Sabitah. Selama masyarakat menolak perubahan, selama itu juga tidak boleh ada perubahan. Orang-orang yang melanggar akan diasingkan, dihukum berat, juga terkadang sampai dibunuh.
Di era presiden ke-9, Lavani mencoba bernegosiasi dengan Sabitah terutama Dineshcara untuk menghilangkan tradisi perjodohan tersebut. Upaya seperti mengirim Guru-guru dari Ibukota, tenaga kesehatan, membangun rumah sakit dan sekolah resmi.
Tetapi itu semua belum cukup mampu menggerakkan perubahan apapun di sana. Entah sampai kapan hal kuno dan tidak bermanfaat itu akan terus berlanjut.
****
"Ibu Park, coba lihat dulu foto putri dari keluarga Huh, dia sangat cantik dan cocok dengan putramu," bujuk Bibi Im. Sudah keenam kalinya ia datang ke rumah Guru dari Ibukota ini atas perintah Kepala Desa Alindra.
Nyonya Park tak menggubris, ia masih sibuk membereskan buku-buku pelajaran untuk besok mengajar lagi. "Saya sudah bilang Nyonya Im, saya tidak akan menjodohkan Jay," tegasnya untuk kesekian kalinya.
Bibi Im belum menyerah, dia membuka lembaran foto lain untuk menunjukkan gadis yang berbeda. "Tapi Bu Park, lelaki seumuran Jay sudah harus berjodoh di desa kita. Kau harus mengikuti tradisi yang ada, karena kau tinggal di sini sekarang."
"Lihat ini, dari keluarga Hong, mereka punya kebun yang luas dan sangat kaya. Atau ini, dari keluarga Sin, cantik, dia juga bisa membaca Nyonya." Bibi Im masih terus mencoba. Demi segepok uang dari Kepala Desa apabila ia berhasil membujuk wanita Ibukota ini.
Nyonya Park memutar bola mata, jenuh. Ia susah payah mengubah pola pikir siswanya di sekolah, tapi di rumah ia terus digoda Ibu-ibu biro perjodohan. Sangat bertolak belakang, tidak mungkin ia melakukannya.
"Pokoknya tidak. Silahkan pergi Nyonya, saya hendak istirahat," usir Nyonya Park, kesal.
Bibi Im pergi dengan membawa kekesalan di wajah bulatnya. Di pintu rumah ia berpapasan dengan putra Ibu Park yang mendelik tak suka padanya.
Setelah Bibi Im benar-benar pergi, Jay menghampiri Ibunya. Dengan tangan penuh lumpur dari bola yang ia bawa dari lapangan. Sialan memang, dia hendak bermain bola dengan Jake dan Sunghoon, tetapi malah hujan.
Walau begitu, namanya anak laki-laki dia tetap lanjut bermain hingga bolanya kotor begitupun bajunya. Ibu yang melihat penampakan putranya hanya bisa menghembuskan nafas sabar.
"Ada apa? Bibi tadi kembali menawarkan wanita untuk jadi jodohku?" Pertanyaan dari Jay dijawab anggukan lelah.
Jay melotot, yang menurut Ibunya gemas. "Jika Ibu sampai menerima, aku akan kembali ke kota. Hah, mengesalkan sekali tinggal di tempat seperti ini," gerutunya.
"Lagipula kenapa Ibu membawaku ke sini? Kenapa tidak dengan Ayah saja? Aku akan tinggal dengan baik di rumah Nenek." Jay memang lelaki yang banyak sekali bicara.
"Ayahmu bekerja di Ibukota, mana mungkin mengajaknya. Dan Ibu harus mengajakmu agar tidak disangka janda yang kehilangan suami tanpa ada keturunan. Bagaimana jika Ibu malah dijodohkan oleh warga desa dengan pria tua bangka yang jelek, huh. Kau mau?" Kita tahu dari siapa Jay mendapatkan sifatnya, bukan?
Jay berkedip cepat mendengar cerocosan Ibunya. Memilih abai, ia segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Tiga tahun bukan waktu sebentar, ia harus bisa membetah-betahkan dirinya di desa ini.
Jay memandang album foto semasa ia di kota, berdecak kesal ketika ingat ia tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Kecuali ia mau repot datang ke balai desa untuk mencari sinyal.
"Tuhan, aku merindukan gadis-gadis seksi yang kepang rambutnya bisa aku tarik. Di sini tidak ada perempuan yang mengikat rambut hingga memperlihatkan tengkuk mereka. Sial!"
"Tradisi-tradisi bodoh! Itu menyulitkan aku sebagai lelaki juga."
***
Note:Mata uang Luii dan koin Hen sebenarnya untuk urusan nominal sama saja dengan mata uang kita Rupiah dan koin perak. Hanya namanya saja yang diubah.
Saya bingung awalnya, karena terlanjur buat negara sendiri, jadi sekalian saja mata uangnya. Hehe.
***
Tidak ada Rei atau Jake di sini, isinya kebanyakan narasi, semoga tidak bosan.See you!
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
METANOIA | Jake x Rei [✓]
FanfictionDineshcara, adalah daerah yang berada di sebuah negeri nan jauh di sana. Negeri yang nyaris tidak tersentuh dunia, Lavani. Dineshcara mencakup enam desa, tetapi desa yang paling terkenal adalah desa Alindra sebagai pusat pemerintahan, juga menjadi...