28. Bukan Seperti Itu

214 34 0
                                    

Rei berdiri menunggu di dekat pintu masuk rumah. Ini sudah mendekati jam pulang sekolah Jake. Jadi Rei ingin menunggu dan menjadi orang pertama yang menyambut.

Rei berlari kecil ke arah jendela, kepalanya bergerak ke kiri dan kanan untuk memantau apakah Jake sudah dekat atau belum sama sekali. Rei segera kembali ke dekat pintu saat melihat Jake baru saja memasuki gerbang rumah.

Nalurinya memerintahkan dia untuk menyisir rambut dengan jari-jarinya, merapihkan sedikit. Rei ingin memamerkan bandana warna ungu yang dibelikan Jake beberapa hari lalu. Dia menggunakannya hari ini.

Pokoknya harus dipuji Jake. Jika Jake bahkan tidak menyadari bandana cantik ini, Rei akan marah sampai makan malam. Ya, bagaimana, jika terlalu lama nanti Jake tidak mau membacakan dongeng.

Rei tersenyum lebar hingga gigi putih miliknya terpampang. Pintu terbuka dengan Jake yang baru saja masuk. Lelaki itu langsung ikut tersenyum melihat jodoh imutnya sudah menunggu.

Kebiasaan Rei akhir-akhir ini, disebabkan Jake yang selalu membawakan hadiah kecil. Mungkin Rei selalu ingin mendapatkan itu sampai menunggu di depan pintu.

Jake menyimpan sepatunya di rak, baru setelah itu mendekat ke arah Rei. Ia memeluk gadisnya singkat, lalu tidak lupa dengan kecupan manis di pipi. Jake meraih telapak tangan Rei, meletakkan sebungkus permen loli lengkap dengan catatan sederhana seperti biasa.

Jake berlalu begitu saja tanpa mengatakan apa yang dinanti Rei. Rei mengikuti langkah Jake sampai ke tangga. Jake tiga langkah di depannya.

"Jaeyun," panggil Rei. Jake berbalik, menatap Rei yang menunjukkan ekspresi wajah sedih. Jake tersenyum, mengetahui keinginan Rei sejak pertama kali bertemu. Tapi Jake sedang ingin jahil saja.

"Bandana itu semakin cantik kalau dipakai kamu," puji Jake.

Rei tersipu malu, gadis itu berlari ke arah dapur menghindari bertemu dengan wajah Jake yang kelewat jahil tapi sangat tampan. Oh, jangan lupakan keringat yang bercucuran di pelipis Jake.

Em, seksi!

Rei membawa minuman dingin menuju kamar untuk Jake. Sebungkus permen loli masih di tangannya. Saat tiba di kamar, hanya suara air di kamar mandi yang terdengar.

Rei duduk dahulu di pinggiran ranjang, membuat bungkus permen loli miliknya. Di luarnya tertempel kertas kecil, seperti biasa, sebuah catatan sederhana dari Jake.

Yang mana tidak pernah diketahui Rei apa yang tertulis di sana, tetapi dengan tergambar sebuah hati kecil dibeberapa catatan yang pernah ia terima. Mungkin isinya pujian singkat. Mungkin saja.

Rei bangkit, membuka laci di sebelah ranjangnya. Mengeluarkan catatan-catatan kecil lainnya yang ada di sana. Rei memandangi semua tulisan itu dengan wajah sedih.

Rei tersentak saat sebuah tangan memeluk pinggangnya tiba-tiba. Pasti Jake, tapi Rei tetap terkejut.

"Kenapa sangat terkejut? Kamu sedang memikirkan apa?" tanya Jake. Lelaki itu baru selesai berpakaian, rambutnya masih setengah kering.

Rei tidak langsung menjawab. Ia mendekatkan catatan pemberian dari Jake ke wajah Jake di bahunya. "Apa yang tertulis di sini?" tanya Rei, untuk kesekian kalinya.

"Jawabannya ada di buku yang aku berikan." Dan jawaban Jake tetap sama sampai sekarang.

Rei berbalik ke arah Jake cepat, membuat Jake sekarang yang terkejut. Terlebih se persekon kemudian kertas-kertas di tangan Rei terlempar ke wajah.

Jake melotot kaget. Apalagi melihat wajah Rei yang memerah karena marah, belum lagi air mata Rei mengalir satu persatu, silih berganti.

Jake mendekat untuk menyentuh dan menenangkan, tetapi Rei mundur hingga gadis itu harus mengaduh karena terbentur laci di belakang tubuhnya. Jake semakin panik, ia mencoba mendekati untuk melihat apakah ada luka setelah benturan barusan.

Tetapi Rei kembali menjauh.

"Aku tidak bisa membaca Jaeyun," tegas Rei. Air matanya kian deras turun.

"Kamu sedang mengolok-olok aku dengan terus memberikan surat-surat itu?!" tanya Rei dengan suara tinggi.

Jake berbalik, melihat ke kanan dan kiri bagian luar kamar, lalu menutup dan mengunci pintu kamar mereka. Lalu Jake kembali ke hadapan Rei yang terus memandangnya tajam, walaupun air mata deras mengalir.

"Aku tidak bisa membaca, jangankan membaca buku yang memiliki banyak tulisan, surat singkat darimu saja aku tidak tahu apa yang tertulis di dalamnya," lirih Rei. Jake jelas merasa bersalah.

Bukan ini yang Jake inginkan. Ia mencoba mengikuti saran Jay dengan memberikan surat cinta sederhana, agar Rei memiliki rasa penasaran dan tertarik untuk belajar membaca dan menulis.

Karena jika Jake secara langsung mengatakan ingin mengajari atau ingin Rei belajar. Lelaki itu takut Rei merasa direndahkan. Namun ternyata saran dari Jay juga tidak berjalan mulus.

Rei malah salah paham soal niatnya.

"Dengarkan aku dulu," kata Jake. Ia mendekat kepada Rei yang tidak menunjukkan pergerakan apapun untuk menolaknya kali ini.

"Ini bukan seperti apa yang kamu duga. Sama sekali bukan, Rei," tenang Jake.

Jake menarik tangan Rei hingga empunya mendekat ke arahnya. Jake mendekap tubuh mungil yang kini semakin terisak di pelukannya.

"Maafkan aku jika ini membuatmu tidak senang, maaf jika niatku tidak sampai dengan benar sehingga kamu salah paham dan sedih karena itu." Jake mengusap surai Rei, menenangkan.

"Aku mengerti kamu merasa dipermainkan. Tapi aku sama sekali tidak bermaksud ke arah sana Rei." Jake menuntun Rei untuk duduk di ranjang, masih dalam pelukannya.

"Kamu tidak tahu apa yang tertulis di sana?" tanya Jake sembari menunjuk kertas-kertas kecil yang bertebaran di lantai kamar. Jake bisa merasakan Rei menggeleng sebagai jawaban bahwa dia memang tidak mengerti dengan isi surat dari Jake.

Rei tidak sekolah, tidak boleh. Wajar 'kan?

"Jawabannya ada di buku yang pernah aku berikan kepadamu," lanjut Jake. Rei yang mendengar kalimat itu lagi memukul dada Jake agak kencang, membuat Jake mengaduh singkat.

Lelaki itu meraih tangan kecil Rei. Menggenggamnya hangat. "Aku ingin membuat kamu tertarik untuk mulai belajar membaca dan menulis. Aku ingin kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu mau untuk belajar keduanya," sambung Jake. Rei sudah tidak lagi menangis, tersisa isakan kecil beberapa kali.

"Jika aku langsung mengutarakan niatku. Aku takut kamu merasa tidak nyaman. Dan jika kamu tidak nyaman, kamu belajar dua hal itu bukan atas dasar keinginan sendiri, Guruku bilang itu tidak akan berhasil."

Jake menjauhkan diri dari Rei. Ia meraih wajah Reo yang basah karena air mata, mengusap beberapa bagian yang paling basah. Membelai pipi menunjukkan kasih sayangnya yang sangat besar.

Jake mendekatkan wajah mereka. Mengecup kening Rei agak lebih lama dari biasanya. "Maaf jika ternyata tindakanku membuat kamu terluka. Tolong maafkan aku."

"Sekarang kamu mengerti apa yang aku maksud dengan memberikan surat-surat itu?" Rei yang masih menatap dalam Jake mengangguk kecil tanda dia sudah mengerti maksud Jake.

"Kalau begitu, sekarang apa?" tanya Jake penuh harap. Rei tidak langsung menjawab, wajah imutnya sangat terlihat jika sedang berpikir keras.

"Rei," panggil Jake. Rei menolah tetapi tetap tidak membuka mulutnya untuk bicara.

"Aku akan terus memberikan surat-surat itu, jika kamu mau, aku akan mengajarimu membacanya," kata Jake.

Rei menunduk singkat, tangannya mungilnya bergerak memeluk Jake lagi. Yang tentu tidak akan ditolak oleh Jake.

"Aku ingin belajar membaca Jaeyun, aku akan membaca semua suratmu nanti."


***
Hihi, gemas, ya?
Tengkar dikit, biar semakin dekat.












Bersambung...

METANOIA | Jake x Rei [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang