03. Kepala Desa

318 45 0
                                    

Ibu Rei sedang berkumpul bersama para ibu lainnya di sumur untuk mengambil air bersih. Ia menimba air sembari diam mendengarkan ibu-ibu lain membicarakan sesuatu yang katanya sedang ramai dibahas di desa.

"Kalian tahu putri pedagang manisan di pasar, yang tokonya dekat penjual gelang. Dari yang aku dengar, gadis itu melarikan diri bersama lelaki yang bukan jodohnya kemarin malam." Seorang wanita memulai pembicaraan.

"Benarkah? Bukankah dia tinggal setahun lagi untuk dikirim ke seberang menuju rumah jodohnya?" tanya yang lainnya. Wajah-wajah mencemooh terlihat jelas dipasang beberapa wanita yang mendengarkan.

"Iya, dan kalian harus tahu dengan siapa dia pergi. Mujin, putra adiknya Kepala Desa. Dasar gadis sial, bisa-bisanya dia pergi bersama lelaki yang baru saja kehilangan jodohnya," sambung yang lainnya.

"Aku rasa peraturan yang dibuat seluruh Kepala Desa yang ada di Dineshcara 6 tahun lalu justru membawa petaka. Masih lebih baik peraturan sebelumnya yang mengharuskan para gadis langsung pergi ke rumah jodoh setelah dinikahkan."

"Kau benar, dari pada sekarang. Lihat? Banyak gadis yang melarikan diri bersama lelaki yang bukan jodohnya. Atau yang bersama jodohnya pun banyak karena tidak tahan menunggu. Itu lebih buruk, sungguh, bisakah kita mengajukan pengembalian aturan lama sebelum semua semakin buruk lagi tentang gadis-gadis kita."

"Kau benar, ayo. Kita harus memberitahu suami-suami kita. Biar mereka yang pergi nantinya, karena jika kita yang datang, pasti tidak akan didengar Kepala Desa."

Wanita-wanita itu berbondong-bondong pulang ke rumah untuk mengadukan apa yang mereka dengar dan pikirkan. Sementara Ibu Rei masih diam di tempat, pikirannya berkelana ke 10 bulan lalu, putrinya baru saja dijodohkan waktu itu.

Ia merasa sedikit tenang ketika masih ada waktu 5 tahun sebelum ia harus melepas putri satu-satunya itu. Namun, mendengar pembicaraan para ibu barusan, ia menjadi khawatir.

Bagaimana jika para suami setuju dan mengadukannya ke Kepala Desa, lalu Kepala Desa merasa itu perlu dipertimbangkan, lalu setelahnya akan diadakan rapat untuk membahas ini, apakah? Apakah jika disetujui, ia harus melepas putrinya secepat ini?

Ia bergegas memenuhi kendi yang dibawa, dan segera berjalan pulang. Semoga suaminya sudah ada di rumah, ia harus membicarakan ini, berharap suaminya tidak sependapat dengan para ibu lain nanti.

Ibu Rei sampai di rumah, di teras depan ada Rei yang sedang memainkan boneka hasil buatan dirinya. Tanpa mengatakan apapun, ia langsung menyeret Rei ke dalam rumah, jelas hal itu membuat putrinya bingung.

"Ibu, ada apa?" tanya Rei, wajah imut gadis itu tampak panik karena ditarik. Biasanya hal itu terjadi jika ada penjahat, atau, oh, penagih hutang. Ibu temannya sering begitu pada putrinya.

"Ibu? Apa ada penagih hutang?" tanya Rei lagi. Ibu segera memeluk putrinya tanpa menjawab satupun pertanyaan yang diajukan.

Rei kebingungan, ia mencoba mendongak guna melihat wajah Ibunya yang terdengar sedang menangis itu. "Ibu? Ibu menangis? Ada apa? Ibu?" cercanya.

"Tidak, putriku tidak boleh pergi secepat itu," racau Ibu, membuat Rei semakin bingung.

Gadis 13 tahun itu mengernyit. "Siapa yang akan pergi? Kenapa aku harus pergi?" tanya Rei.

"Ibu! Kenapa aku harus pergi? Aku akan pergi kemana?" tanya Rei, gadis kecil itu menangis seiring Ibunya yang tidak juga menjawab.

Pintu rumah terbuka menampilkan Ayah yang baru pulang dan dikejutkan dengan istri dan anaknya yang menangis tersedu di ruang tamu. Ayah segera mendekati keduanya.

"Istriku, ada apa? Kenapa kalian berdua menangis?" tanya Ayah sembari coba menenangkan.

"Ayah," panggil Rei. Ayahnya berdeham dan segera mengambil alih memeluk Rei. "Ibu kenapa? Ibu menangis saat pulang dari mengambil air.."

METANOIA | Jake x Rei [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang