Johan yang berjalan tergesa gesa ke tempat di mana ia lihat pemuda itu kemarin, ia malah bertemu dengan seseorang.
Di bangku taman yang menyuguhkan pemandangan desa yang masih asri, johan dan seorang pemuda duduk dengan keheningan.
"Ayah ngapain kesini?" Dikta mengawali percakapan, ia sudah tak bisa menahannya lagi, setelah keterdiaman keduanya.
Lama akhirnya johan menjawab.
"Ayah ada keperluan" jawab johan ia tak menjawab dengan yang sebenarnya."Kamu ngapain kesini?" Kini johan yang bertanya, pertemuannya yang tidak sengaja dengan putranya membuatnya terkejut.
"Aku lagi nyari adik aku" sahut Dikta pelan, ia tak kuasa mengeluarkan suara.
Mereka lagi lagi terdiam.
"Apa keperluan ayah?" Dikta kembali bertanya, siapa yang bodoh, tidak mungkin Dikta percaya apa yang ayahnya ucapkan, apalagi ia melihat wajah risau ayahnya yang menuju ke arah bangkar adiknya.Johan tak menjawab.
"Ayah udah tau ya?" Dikta tidak lagi menunggu pernyataannya tadi.Johan menunduk, ia memejamkan matanya.
"Kamu udah lama tau?" Bukannya menjawab pertanyaan johan malah balik bertanya.
Dikta menjawabnya
"Iya, udah lama, aku Nemu dia beberapa bulan yang lalu, abis itu dia ngilang, dan aku malah Nemu dia disini" jelas Dikta jujur, ia menoleh pada ayahnya."Kenapa kamu ga bilang?" Tanya johan, Dikta tersenyum sekilas.
"Buat apa aku bilang, ayah juga selama ini ga nyari dia, bukannya dulu-" belum sempat ia menghabiskan ucapannya.Johan memotong.
"Ayah menyesal bang" Dikta dengan sadar mendengar suara lirih ayahnya. Hatinya terenyuh saat mendengar itu."Ayah dulu gelap mata, ayah merasa bersalah bang, ayah sekarang harus apa" baru kalo ini Dikta melihat sisi lain ayahnya, ayahnya yang ambisius dan perfeksionis dengan sikap tegas juga emosian yang ia kenal, bukan ayahnya yang berada di hadapannya saat ini.
Dikta menghela nafas
"Semuanya belum terlambat, kita perbaiki permasalahan ini yah, Abang yakin semua akan baik baik aja" ucap Dikta, awalnya ia ingin membuat ayahnya sadar dan menyesal, namun tanpa ia lakukan ayahnya telah lebih dahulu mengakui.****
Harlan terbangun ia hanya mampu membuka matanya setengah, karna pihak rumah sakit tidak memberikannya obat analgesik yang baik, karna harganya mahal, Harlan harus merasakan siksaan dari penyakitnya.Dengan mulut terbuka Harlan berusaha bernafas dengan baik, akhir akhir ini ia merasa, nafasnya semakin berat. Namun tak ada yang bisa ia lakukan.
Saat suara langkah kaki terdengar Harlan tidak menoleh sama sekali, ia tak berharap ada yang menjenguknya saat ini, ia berfikir pasti itu orang yang menjenguk pasien di samping nya.
Walau saat kursi disampingnya di tarik, ia masih tidak bergeming ia kira itu kerabat pasien lain yang mengambil.
Tapi suara Dikta terdengar
"Udah bangun?" Harlan membuka matanya lagi. Ia menoleh pelan ke samping, ia melihat Dikta dengan wajah cemas yang tak bisa ia tutupi.Ia juga melihat sosok lain di belakang Dikta, tapi tak bisa ia lihat dengan jelas karna sakitnya dan lemas luar biasa.
Harlan menjawab dengan deheman.
"Gua cape nyari lu" dikta kembali berbicara. Harlan tak menanggapi.
"Kenapa ga ada kabar?" Lagi lagi Dikta berusaha mengungkapkan betapa ia mencemaskan adiknya itu.Bukannya menjawab Harlan malah mengernyit, ia menggigit bibirnya, sedari tadi sakitnya tidak mereda, ia berusaha menutupinya namun pertahanannya runtuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
langkah
RandomMemperbaiki hubungan yang telah lama memudah, berusaha agar kembali berwarna seperti sedia kala.