43

1.9K 255 14
                                    

Satu pekan telah berlalu, 7 hari bukan lah hal yang mudah bagi Harlan untuk melewati kejadian yang menimpanya.

Disaat terpuruknya Harlan, beruntungnya Dikta setia berada disisinya, didukung oleh gina yang rutin melakukan video call, untuk menghibur sang kakak setelah di cerita kan oleh Dikta.

Bayangkan nyak Imah terus terbayang di benaknya, saat ia melakukan semua kegiatan seperti hari hari yang lalu, ia masih merasa ada nyak Imah yang mewarnai harinya. Namun masa itu telah berakhir.

Tak ingin sang adik melakukan hal yang tak diinginkan karna keterpurukan dan kesedihan yang mendalam, Dikta sampai menginap di rumah Harlan, sampai beberapa hari.

Saat tidak menginap ia datang pagi buta untuk mengecek keadaan harlan.

"Telor udah abis, Lu pake Unagi aja ni" Dikta membawa beberapa kotak makanan dari rumahnya.
Harlan tak menyahut, ia hanya diam. Dikta tidak bosan bosan pula mengajaknya berbicara.

"Gua suapi aja gimana?" Tanya Dikta, saat tak melihat pergerakan dari Harlan didepannya.

"Oke gua suapi" Dikta Bagun dari kursinya, ia menyuapi Harlan yang tak bergeming dengan sabar.

"A... Buka mulut Lo" tuturnya.
Awalnya Harlan tak menurut, tapi Dikta tak menyerah, tangannya masih melayang di udara menunggu Harlan membuka mulutnya.

Mata sayu Harlan menatap mata Dikta, seketika ia menangkap senyum manis, tidak sekaku beberapa bulan yang lalu.

Perlahan mulutnya terbuka.
Dikta terlihat senang, ia segera menyuapi Harlan sembari mengoceh hal hal yang tidak didengar dengan seksama oleh Harlan.

Hingga waktunya Dikta harus berangkat kantor.

"Lu kapan mulai kerja?" Tanya Dikta membereskan rumah Harlan yang tidak ia bersihkan selma seminggu.

Tak kunjung mendapat jawaban Dikta melihat ke arah Harlan yang melamun ke arah jendela pecah.

"Hati hati disini ya, gua pamit" ucap Dikta, sebelumnya ia masih mengoceh namun kini ia harus pergi sebelum terlambat.

Setelah pintu tertutup, harlan bangun dari duduknya mengambil obat obatan anti nyeri dengan asal.
Dan meminum dengan asal asalan dibantu dengan air.

Diluar Dikta selalu menitipkan Harlan pada tetangga, ia yang biasanya sangat malas berbicara dengan orang baru, tidak dikenal bahkan meminta tolong seperti saat ini.

Hal ini telah ia lakukan beberapa kali.
Tak hanya pada tetangga dekat, Dikta juga meminta beberapa warga yang ia temui dijalan, bahkan mencari Cecep dan teman temannya yang sedang piket. Untuk menitipkan Harlan.

Dengan senang hati mereka semua melakukan sesuai permohonan Dikta.

Setelah merasa cukup tenang meninggalkan Harlan di sana, ia masuk ke mobil. Menatap pintu rumah Harlan dari bawah, lalu keluar dari gang tersebut.

Tidak berselang lama, seseorang mengetuk pintu, Harlan perlahan bangun melangkah kakinya yang terasa berat ke arah pintu.

"Samlekom lan, babeh minta gula dong dikit, babeh mau bikin kopi" Harlan mengangguk, ia masuk kedalam membawa satu bungkus gula berisi 1kg.

Dan menyerahkan pada pria tua dengan kaos putih dan sarung bercorak kotak kota dihadapannya.

"Ya Allah lan, babeh minta dikit buat kopi bukan buat bolu"
"Ga papa bawa aja beh"
Melihat wajah Harlan babeh Rashid tidak memperpanjang perdebatan yang tidak berguna itu.

Harlan kembali menutup pintu setelah babeh berpamitan.

Baru saja Harlan duduk dan mulai melamun pintu kembali di ketuk, suara wanita yang sangat ia kenal terdengar.

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang