Matanya yang terasa berat ia paksa buka, perlahan ia melihat cahaya yang menusuk mata.
Saat penglihatannya kembali seratus persen, ia dapat menglihat jelas jika kini ia sedang berbaring di suatu ruangan. Tentunya di rumah sakit.
Ditandai dengan ruang yang sangat familiar baginya, dan aroma disinfektan yang menyengat.
Ia mengerjab beberapa kali, suara kulkas tertutup terdengar.
Harlan hanya menatap langit langit, menelan ludahnya yang terasa kering di leher.
"Baik pak, dokumennya akan saya kirim, tinggal persetujuan direksi pak. " Suara Dikta terdengar.
Dikta duduk di kursi di sebabkan Harlan, ia meneguk minuman dan meletakkan di nakas.
"Areanya sudah di periksa oleh rekan saya pak. Baik pak jika seperti itu." Saat sambungan berakhir, dan ia meletakkan ponselnya di nakas, matanya tak sengaja bertemu dengan netra Harlan.
Mata Dikta melotot sempurna.
Dan senyum Harlan terlihat.
Wajah pucatnya yang dihiasi nassal kanula, terlihat lebih baik dari pada saat ia tak sadarkan diri."Gimana bang?" Sapa harlan, pada Dikta yang terdiam.
"Lu oke?" Tanya Dikta, ia menerima anggukan dari harlan, beserta jari jempol nya.
"Lapar ga? Haus?" Setelah menerima gelengan ia menanyakan yang lain.
"Dikit" Dikta berdecak sekaligus tersenyum. Ia merasa lebih tenang saat mendengar suara Harlan.
Apalagi ucapannya yang seakan menjadi kebiasaan, setelah sadar.
"Pelan pelan" ucap Dikta ia membantu Harlan minum, memalui sedotan. Dikta menahan punggung Harlan, yang ia dengar ringisan.
"Lu ga nanya apa gitu lan?" Dikta memulai percakapan.
Harlan tidak menoleh, ia mengerjab beberapa kali dan menelan ludahnya.
"Ga, ga tau mau nanya apa" sahut Harlan dengan nada datarnya, lalu ia kembali memejamkan mata.Dikta tidak melarangnya, lalu Dikta tersadar.
"Oh iya, sampe lupa" mendengar itu Harlan masih belum membuka matanya. Entah apa yang terjadi.Jari jemari Dikta menyentuh smartphone miliknya, tak berapa lama, bunyi notifikasi beruntun terdengar. Lalu Dikta terkekeh.
"Tidur lan?" Tanya Dikta, Harlan menggeleng.
"Pusing?" Tanyanya lagi.
"Engga" sahut Harlan pelan."Oh iya ni sarapan lu, gua suap ya'' Dikta menarik meja makan kecil di bangkar.
Ia membuka penutup bubur yang masih hangat.
"Sini gua bantu" Harlan hanya menatap ke jendela, saat bangkarnya terangkat, sehingga posisinya terduduk.Setelah menekan tombol Dikta mengaduk bubur Harlan.
Harlan hanya melihat, ia tidak tertarik sama sekali."Baca doa lan, bismillah. Aaa" mulut Dikta terbuka, Harlan awalnya tak ingin membuka mulutnya. Namun Dikta tak menyerah ia tetap mengarahkan sendok ke mulut harlan.
"Ga laper" ucap harlan, Dikta melihat wajah lesu harlan, ia lansung berusaha membuat Harlan lebih bertenaga.
"Makan ga harus laper Harlan" ucapnya lembut, lalu mengangguk seakan menyakinkan Harlan.
Dengan malas Harlan membuka sedikit mulutnya.
"Nah gitu dong" Dikta tersenyum cerah saat bubur yang ia sodorkan di lahap oleh Harlan.
"Bang..." Panggil Harlan, dari nadanya Dikta berusaha mengalihkan, ia tau kemana arah pembicaraan Harlan.
"Lan, mau gua paken ini ga?" Dikta menunjuk ke arah udang.
"Boleh" sahutnya, lalu ia membuka mulutnya, saat Dikta menyodorkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah
Randomcerita seorang putra yang ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan keluarga yang telah lama tidak menerimanya.