45

3.7K 321 53
                                    

Kini hari hari gina menjadi lebih baik karna Harlan, walaupun jarang bertemu karna jarak dan kesibukan.

Harlan selalu menyempatkan diri untuk mengangkat telpon dari gina, yang selalu menghibur Harlan dengan cerita cerita dan curhatan gina, walau ada Dikta rasanya tak akan sama dengan Harlan, dari cara menanggapi dan reaksi mereka sangatlah berbeda.

Setelah memastikan sambungan telepon dengan suara manisnya gina, turun kebawah.

"Ma, ayah ga makan siang di rumah?" Gina menarik kursi di meja makan.
"Mama ga tau dek, ayah lagi sibuk banget. Ngurus rumah sakit yang di alih kepemilikan" salsa duduk di kursi seberang gina.

"Di alihkan kenapa ma?" Tanya gina.
"Mama juga kurang tau, tapi kata ayah, ada rumah sakit yang ga menjalankan tugas sesuai prosedur gitulah. Mama lupa lanjutannya, intinya sekarang ayah yang jadi pemilik rumah sakit itu. Rencananya mau jadiin cabang" jelas salsa, gina mengangguk.

"Kalian ga nunggu ayah?" Tiba tiba Johan berucap dengan dramatis.
"Loh yah, adek kirain ga pulang" Johan mengusap rambut putrinya dan berjalan, duduk di sebelah salsa.

"Pulang lah, ayah takut kalian kangen" gina memberi ekspresi datarnya.

"Oh ya mas, Abang semalam pulang ga?" Tanya salsa, ia teringat putranya yang akhir akhir ini jarang dirumah. Dari pemahamannya Dikta sibuk di kantor.

"Abang ga pulang semalam, kayanya dia nginep di kantor" sahut Johan, ia sebenarnya tau jika Dikta rutin mengunjungi Harlan, tapi ia merasa agak aneh karena akhir akhir ini tingkahnya lebih aneh.

"Kasian Abang ya ma, pasti cape apalagi sampe lembur, ga pulang kerumah pula" ucap gina, membuat salsa kepikiran.

"Apa mama telpon aja ya" salsa mengeluarkan ponselnya dari saku, Johan menahannya.

"Abang udah besar ma, ayah yakin Abang mampu. Kita makan aja dulu ya, nanti malam sekalian kita bahas sama Abang" salsa menurut.
Johan tak mau jika salsa meminta Dikta pulang, ia berfikir mungkin saja Dikta sedang bersama harlan, atau sedang bekerja.

****

Dikta tidak pernah jauh dari Harlan, ia terus saja menjaga adiknya bahkan saat harakn sudah tidak lagi merintih kesakitan, Harlan malam itu kesakitan bahkan lebih dari dua kali.

Saking sakitnya Harlan sampai menangis, Dikta melihat itu ikut panik, ia tak merasa matanya telah di timbun embun pada kelopak matanya.

"Lan... Jangan lan, biar Abang urut ya jangan ya..." Dikta dengan sabar berucap bahkan saat ia panik. Dikta melepas tangan Harlan yang memukul lengannya yang lain karna kesakitan.

Dikta masih membayangkan saat Harlan seperti itu.
Walaupun kini Harlan sudah tenang, ia masih terjaga, apalagi ia rasa nafas Harlan tidak teratur.

Ia dengan setia memegang pergelangan tangan Harlan, untuk mengecek nadi Harlan.

Dikta sudah cukup lama belajar hal itu, tidak lain dari harlan.

"Gini bang kalo ada pasien yang sakit, dalam kondisi ga kondusif, ga ada alat media atau apapun, cara paling mudah untuk di pantau, adalah dengan cek nadi." Harlan mempraktekkan cara menemukan denyut nadi, dan menjelaskan bagaimana cara memahaminya.

Tak hanya itu, Harlan mengajarkan bagaimana cara memantau pernapasan dengan mudah, dan cara menghitungnya Harlan jelaskan. Dengan kepintaran Dikta, memahami itu bukanlah hal yang sulit.

"Memang ini bukan solusi yang terbaik, tapi ini cukup membantu" Dikta mengangguk.

"Ternyata maksud lu ajarin gua hari itu untuk disaat begini ya lan? Keren gaya lu" Dikta berucap pelan, ia tatap wajah pucat Harlan yang tadinya jadi ketakutan terbesar bagi Dikta.

Tak banyak yang bisa Dikta lakukan, dimana posisinya yang jauh dari rumah sakit, dan di tengah malam.

Untungnya ia tidak gegabah dan dapat berfikir di saat Harlan tanpa sadar menggigit bibirnya sendiri dengan kuat guna menahan rasa sakit sekaligus isakannya.

Kini luka akibat gigitan sendiri yang berhasil Dikta cegah, Dikta menggantinya dengan tangannya sendiri, tepat saat ia mengganti dan Harlan sadar itu tangan Dikta, Harlan tidak lagi menggigit.

Ia memukul tangannya sendiri dengan brutal. Dikta malah kewalahan ia berusaha membujuk harlan, tak mungkin di saat seperti ini ia dapat memberikan obat pereda nyeri atau apapun itu. Dikta tidak bisa berfikir lebih jauh.

"Gua ga mau ninggalin lu lagi lan, ga mau gua. Gimana kalo lu gini tiap malam" gumamnya.
"Sekarang lu sendiri lan, dulu gua bisa agak tenang pas Masi ada nyak Imah. Sekarang... Gua sendiri yang bakal jaga lu" Dikta mengelus lengan Harlan, dan mengurut nya pelan.



****
Setelah gejolak di hati Johan semakin menyiksa dirinya sendiri.
Kali ini ia mengambil langkah lagi, untuk menemui harlan di rumahnya.

Ia sudah menyiapkan diri walaupun tidak Sematang saat ia pertama kali ke rumah Harlan.

Yang terpenting ia sudah tidak tahan untuk menemui anaknya.

Namun saat berada di ujung gang, keramaian oleh para warga sekitar membuatnya curiga dan ikut penasaran.

Ia semakin menerobos saat melihat seorang pria membawa bendera kuning untuk di pasang di ujung gang.

Saat ia berhasil menerobos, ia belum mendapatkan jawabannya, ia masih harus menerobos orang di lantai dua, Johan tak menyerah ia terus melangkah hingga tangisan orang dan ucapan berisi kata kata bela sungkawa menyadarkannya.

Saat pintu rumah yang pernah ia tatap Berjam jam hanya untuk menemui seseorang, kini terbuka lebar, orang orang penuh di sana dengan suara lantunan Yasin yang menggema di telinganya.

Johan menggeleng kepalanya ribut.
"Enggak, ga ga ga" ia tak percaya, langkahnya tak dapat ia bawa lebih dekat.

"Ga mungkin'' perlahan langkahnya ia paksa, tepat saat ia melihat ke dalam, tanpa ia sadari matanya mengeluarkan air mata, dan mulutnya terbuka tak percaya.

"Gak Harlan, harlan.... Harlan... Jangan tinggalin ayah nak.... Ayah belum bisa menebus kesalahan ayah nak... Jangan pergi" Johan menangis sesenggukan, ia lansung memeluk tubuh putranya yang telah terbujur kaku di ruang yang telah di tata oleh para tetangga agar lebih luas.

Tubuh anaknya telah di tutup dengan kain batik sederhana. Bagian wajah Harlan di tutup dengan kain berwarna putih.

Saat kulitnya merasakan tubuh sang anak di balik kain, ia semakin menangis. Johan bahkan tak mampu membuka penutup wajah putranya.

Orang orang hanya melihat adegan itu, mereka ikut merasakan apa yang Johan rasakan lewat tangisan pilu.

Saking sedihnya akan kehilangan Johan tak bisa mengeluarkan kata kata lagi, rangkaian kata yang telah ia siapkan telah sirna begitu saja.

Seluruh kekuatannya hilang tak tersisa. Seakan dirinya ditikam berkali kali, Johan tak bisa melakukan apa apa lagi.

"Pak, udah pak. Harlan udah tenang di sisi Allah" pak RW menyentuh bahu bergetar Johan yang setia memeluk tubuh kaku Harlan, Johan menggeleng.

"Ikhlaskan pak, kasian Harlan." Ucap orang lainnya yang Johan tak kenali, ia menggeleng ribut.

Perlahan Johan menggerakkan tangannya di tubuh sang anak, ia meraba tangan Harlan yang di lipat, di dadanya. Tangis johan semakin pecah.

Dengan sangat lembut seakan Harlan akan terluka jika ia sembarangan, Johan mengelus tangan putranya dari balik kain batik dengan penuh kasih sayang.

Tatapannya tak lepas sedikitpun dari Harlan.

Johan menyandarkan kepalanya di tubuh Harlan ia belum bisa menerima, semuanya terlalu tiba tiba.

****

Haiii
Makasih udah menghargai aku dengan vote.
300 vote lanjut ya...

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang