35

2.1K 179 18
                                    

Innalilahi wa innailaihi Raji'un.
Telah kembali ke Rahmatullah ayah saya hari ini, tanggal 24, Maret,2024. Hari Minggu jam 4 pagi.

Chapter ini aku tulis jauh sebelum hari ini.
Mohon doanya ya...
Tolong jika sempat kirimkan Al Fatihah, terimakasih.





Johan dan salsa telah menunggu Dikta di pintu masuk, lansung menyambut putra mereka setibanya di rumah.

"Mama khawatir banget tadi bang, takut Abang kenapa Napa katanya" gurau Johan salsa tak marah, ia menggandeng Dikta untuk duduk di sofa ruang keluarga.
"Ya Allah di cuekin" Johan berjalan cepat mengejar mereka, salsa hanya cekikikan.

Seperti biasa jika berkumpul di ruang keluarga sudah pasti banyak obrolan, diiringi film yang tidak terlalu dihiraukan oleh keluarga itu.

Gina memijit lengan Dikta yang memejamkan mata.
"Enak banget dek, mungkin karna tangan gendut kamu ya" Dikta menarik pelan jari telunjuk gina, yang sebenarnya tidaklah gendut.

"Ih" kesal gina, ia menepuk lengan Dikta, disambut aduhan dramatis Dikta.

"Dek jangan kuat kuat, kasian Abang cape'' tegur salsa, gina hanya tersenyum, jari telunjuk dan tengahnya diacungkan.

"Ga papa ma, tangan gendut gini empuk" Dikta terkekeh lagi, membuah gina kesal lalu menggigit pundaknya.

"Akk dek" Dikta tidak berteriak ia hanya terkejut lalu tertawa lepas melihat rawut kesal gina.

"Ayah" adu gina, Johan menoleh lalu menatap Dikta nyalang.
"Abang, jangan di ganggu si gemoyyy ayah" mendengar itu tawa Dikta kembali pecah.

"Ih males ah" gina lalu membalikkan badannya memunggungi kedua pria itu yang tertawa pelan.

"Dek, udah malem sana tidur" salsa mengusap rambut gina, lalu ia berjalan pergi diikuti oleh gina yang naik ke atasnya.

Tinggal lah Johan dan Dikta disana lalu hening tercipta.
"Yah, tadi Abang bohong'' Dikta tiba tiba mengaku.
"Kamu bohong apa bang?" Tanya Johan Santai ia masih fokus pada tayangan film pada televisi berukuran besar itu.

"Tadi Abang jawabnya pas ayah telpon kan di jalan, ya bener sih di jalan tapi ga lagi di dalam mobil."lanjutannya.

"Dimana juga?" Johan masih santai, ia sudah mengerti jika putranya bukan lagi anak anak yang harus ia pantau, apalagi kini Dikta sudah berpenghasilan sendiri.

"Tadi nongkrong Dikta sama Harlan" saat nama anaknya yang lain tersebut ia menoleh, dan matanya tak lagi fokus pada film.

"Maaf ya ayah Dikta bohong" sesal Dikta, dia sebenarnya bukan tipe anak yang selalu mengaku kesalahannya, tapi kebiasaan itu adalah milik Harlan.

Tentu Johan teringat momen saat Harlan masih bersama mereka.

"Ya kan ga papa dek, nanti ada kakak tenang aja" Harlan memakai seragam SMA, menggandeng adik perempuannya yang memakai pakaian sekolah dasar, menenangkan sang adik.

Sebelum masuk ke dalam rumah Harlan berlutut pada adiknya, gina masih sesegukan, Harlan tersenyum lembut mengusap pipi gina dengan jempolnya.

"Ada kakak" ia berucap lagi, lalu ia menggenggam kedua tangan adiknya dan mengangguk meyakinkan gina, dengan ragu gina mengangguk.

"Oke, ayo kita masuk" suara Harlan yang ia buat riang membuat gina sedikit lebih berani.

Setelah berhadapan dengan sang ayah di sore hari Harlan dengan berani berdiri tegap.

"Muka kamu babak belur gini kok masih ngeles, mau jadi apa sih, udah di kelas ga fokus, kerjaan kamu melukis hal hal ga guna, ngapain? Buang buang waktu" suara bariton Johan terus terdengar, Harlan menunduk tak melawan, karna ucapan sang ayah benar adanya.

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang