19

2.2K 208 9
                                    

Terkejut dari tidurnya ia segera bangkit dan berlari keluar kamar, tanpa berfikir apa apa selain Harlan.

Ia tak peduli pada keluarganya yang memanggil di meja makan.

Dalam perjalanan pikirannya penuh.

Sebenarnya ia sangat ingin menjelaskan dengan baik baik pada Harlan, dan memberi pengertian.

Dari buku yang Dikta baca, akan ada fase dimana seseorang yang sedang dalam keadaan sakit akan lebih sensitif, dan tidak bisa mengendalikan emosi.

Di buku tersebut juga menjelaskan jika seseorang yang sedang dalam fase tersebut, tidak bisa ditinggal sendiri, karna pasti pikirannya akan kemana mana bahkan pada sesuatu yang belum tentu terjadi.

Sampai nya di rumah sakit, ia lansung berlari, tak peduli pada orang orang yang mengantri dan keramaian.

Fokusnya tetap pada Harlan.
Sampai disana ia mendapatkan kekecewaan, ruangan sudah kosong dan rapi, ia berjalan pelan masuk.
Semuanya sudah sangat rapi, ia menduga pasti Harlan yang membersihkan karna jadwal bersih bersih 1 jam lagi.

Dikta membuka kulkas, yang melihat masih banyak makanan disana, saat matanya menangkap paperbag yang persis seperti hari itu, dan masih terbungkus rapi.

Ia membawanya ke meja, dan membukanya.
Sama seperti beberapa hari yang lalu, disana berisi salad sayur, dan jus berwarna merah, buah beet.

Saat semuanya telah ia keluarkan, ia melihat secarik kertas di dalam.

'sehat sehat anak ayah, besok ayah kesini lagi ya nak' -ayah.

Dikta seketika menunduk dalam.
****

Salah satu penumpang bus, menyenderkan kepalanya dan memejamkan mata.

Hingga ia sampai di halte yang ia tuju, langkahnya ia bawa cukup jauh, masuk ke dalam gang, yang semakin masuk semakin beda pula suasananya yang menjadi sisi lain dari kota.

"Kaga ada bang, bener dah" ucap bocah membela dirinya yang sedang interogasi para pemuda berandalan.

"Ada apa ni?" Dengan santainya Harlan menghampiri.

Para berandalan menoleh, dan tersenyum ramah, segera menyalim tangan Harlan dengan sopan.

"Bang dan lama ga keliatan"ucap seorang pemuda dengan penampilan urakan.

"Kalian apain dia?" Bukannya menjawab ia malah bertanya.

"Jadi gini bang, dia buang sampah noh di sana, gua ama anak anak lagi piket ni, makanya gua tanya" jelas pemuda dengan rambut kekuningan.

"Ga lu kasarin kan" Harlan semari tersenyum menarik anak tersebut ke sisi nya.

"Kaga bang sumpah" mereka menyahut serentak.
"Bagus, yaudah yuk mampir ke tempat Abang" ucap Harlan, mereka saling melirik satu sama lain.

"Yok lah bang" sahut mereka.
Harlan sedari dulu selalu memberi nasehat pada mereka dengan berbagai cara, bahkan ia menceritakan pengalamannya yang berakhir seperti ini, perlahan pemuda yang terkena pengaruh lingkungan yang keras kini semakin membaik.


Di rumah Harlan yang sempit mereka berdesakan duduk lesehan.
"Tunggu bentar ya gua bikinin kopi" ucap Harlan, tapi pemuda yang ia tegur tadi menahan.

"Kaga usah bang, buat gua bikinin aja sama si ebel, tu dia juga bawa kopi mahal" ucap Cecep, Harlan terkekeh dan mengiyakan.

Kopi mahal yang mereka maksud adalah kopi bubuk nyak Imah, yang mereka sebut mahal karna berbagai alasan.

"Ngitung lu pada biar gua bagi arata ni kopi" ucap Cecep membawa air kopi dalam panci.

Mereka yang sudah menunggu dengan plastik bekas gelas air mineral, mereka berhitung.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan" ucap mereka.
"Sembilan, sepuluh" ucap Cecep menambahkan dirinya dan ebel.

"Lah si Abang kaga lu bagi" ucap ebel karna Cecep telah menuangkan habiskan kopi.

"Tenang aja lu, ada yang spesial buat si Abang" ucap Cecep.
Lalu ia kembali membuat kopi saset, dan menuangkan pada gelas plastik.

"Nih spesial buat si bos yang comeback" Harlan menerima dengan senyum sumringah dan tawa dari para pemuda lainnya.

Obrolan mereka yang mengalir, membuat mereka hampir lupa waktu.
Saat mereka sedang saling mengobrol, suara ketukan pintu terdengar. Harlan hendak membukakan tapi Cecep telah lebih dulu melakukannya.

"Siapa lu" ucap Cecep dengan gaya berandalnya.
"Kamu yang siapa, minggir" Dikta ingin masuk kedalam, tapi orang yang tidak dikenal malah menghalangi.

"Ngapain lu kesini? Nagih utang? Abang gua ga pernah ngutang, asal lu tau" ucap Cecep masih sangat songong.

"Saya ga ada urusan sama kamu" sahut Dikta tak peduli.
"Jangan lu kita lu kaya gua takut" Cecep perlahan maju, Dikta tidak gentar sedikitpun, melihat orang yang ia anggap bocah itu.

"Minggir bocah ingusan" ucap Dikta menyingkirkan bahu Cecep, hampir terjadi perkelahian, untungnya Harlan datang.

"Cecep, udah Abang bilang kan jangan mudah kebawa emosi" Harlan memberi Cecep yang menunduk.

"Iya bang maaf" Harlan menepuk bahunya pelan.

"Udah sama piket sama anak anak, harus bersih, jangan cuma nongkrong nongkrong ga jelas" ucap Harlan tak hanya pada Cecep, Dikta hanya melihat bagaimana interaksi adiknya dengan bocah urakan itu.

"Siap bang" sahut mereka serentak dengan gerakan hormat.

"Udah sana buruan" ucap Harlan,
Sebelum pergi Cecep kembali karna mengingatkan sesuatu.

"Bang di panggil sama nyak Imah tadi si warung, katanya ada perlu, buruan ke sana " ucap Cecep, dan pergi dari sana.

Tanpa memperdulikan Dikta yang masih diam disana Harlan pergi ke tempat dimana nyak Imah berjualan.

"Assalamualaikum nyak" ucap Harlan saat sampai di tempat tujuan.
Tentu saja Dikta ikut, sedari tadi ia memandang bangunan tua di sana, bagaimana bagian yang retak, cat ya g luntur loteng yang bocor dan berbagai permasalahan lainnya.

"Waalaikumsalam, anak enyak, kemana aja lu" Harlan mencium tangan wanita tua itu, yang di balas ciuman di pucuk ke pala Harlan.

"Biasa nyak bisnis" sudah pasti Harlan tidak jujur.
"Oh iya, nyak manggil Harlan buat apa?" Tanya Harlan sebelum nyak Imah membahas hal lain yang ia tak ingin Dikta tau.

Dikta si belakang Harlan, sibuk melihat lihat seisi warung, dan bagaimana interaksi mereka berdua.
"Enyak kemaren baru pulang dari rumah anak enyak, trus nyak liat baju cakep di pasar ya udah Mak beli" ucapnya memperlihatkan baju kaos berwarna biru tua, dengan motif simple.

"Nyak liat kok cakep apa lagi kalo lu pake, ni" ucapnya dengan senyum sumringah.

"Yang bener nyak" ucap Harlan di angguki oleh nyak imah.
"Pake nanya ni bocah, oh iya nyak bawa pulang lu kue juga nih buruan makan ntar dingin" ucapnya memberikan sekantong kue.

"Aaa enyak" ucap Harlan dengan suara lembut dan manjanya, memeluk enyak Imah, dan di balas oleh beliau.

"Sana buruan pulang, tu liat jam, ntar lagi lu kerja" bi Imah mengingat harlan, yang terlihat tersenyum tipis.
Lain hal nya dengan Dikta yang tertegun sedari tadi, sejak awal melihat tingkah mereka berdua bak seorang ibu dan anak.

***
Kalo suka di vote ya, maaf kalo membosankan

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang