26

1.5K 137 1
                                    

Mereka bertiga hanya diam tak ada yang bersuara, sampai ucapan salam dari Dikta membuat mereka menoleh.

"Lagi pada ngapain?" Tanya Dikta lalu matanya tertuju pada tv yang menayangkan berita kecelakaan bus dan mobil di jalan raya, terpampang jelas wajah Dikta disana, namun satu orang lagi hanya terlihat punggungnya dan sekilas dari bawah pemuda itu.

Lalu Dikta tersenyum tipis, salsa menepuk sofa disisinya.
"Duduk bang, itu Abang kan?" Tanya salsa, Dikta mengangguk.
"Waw keren banget Abang" puji gina, membuat Dikta sedikit malu.

Sedangkan Johan menatap mereka dengan pandangan kosong.
Dikta melihat itu cukup sedih, lalu ia kembali mengobrol dengan mereka.

"Abang selamatkan semua penumpang sendiri?" Tanya gina memancing, ia ingin memastikan siapa pemuda yang terlihat sangat familiar.

"Ga lah, mana sanggup Abang sendiri" sangkal Dikta, ia mengambil makanan ringan dan melahapnya.
"Sama siapa juga bang?" Kini salsa yang sangat penasaran, ia sebenarnya ingin menanyakan secara terang terangan.

"Ada, orang sana" sahut Dikta seadanya, ia ingat ucapan Harlan tentang ia tak ingin dirinya diketahui, dan Dikta menghormati keinginan Harlan, ia hanya menunggu waktu yang tepat.

"Ohhh" gina paham, tidak dengan salsa yang masih dengan firasat bahwa itu bukan orang lain.

"Ayah" panggil Dikta, Johan seketika sadar dan mengangkat pandangannya.

"Dikta perlu tanda tangan ayah untuk berkas persetujuan klien dari Jerman" ucap Dikta, Johan mengangguk, Dikta melihat Johan yang sangat lesu membuatnya semakin sedih sekaligus kesal karna Johan belum mengambil langkah untuk memperbaiki hubungannya dengan Harlan.

Disisi lain Johan merasa berdosa karna pesan yang ia titipkan pada Harlan tak pernah terbalas, padahal ia telah memberanikan dirinya untuk mengirim makanan sehat sekaligus surat yang ia tulis tangan, dibalik surat tersebut ia menulis nomor teleponnya, berharap sang anak menghubunginya.

Namun sampai saat ini Harlan tidak pernah melakukan itu.
Ia tentu tak tenang, ia kira anaknya sudah benar benar tidak dapat ia gapai lagi, tadi pagi ia menelepon detektif swasta untuk mencari alamat Harlan.

"Ya udah kalo gitu, Abang ke kamar dulu ya" ucap Dikta ia berlalu naik ke lantai dua, Johan dan salsa melihat dari bawah, Dikta masuk ke kamarnya lalu mereka melihat kamar di sebelah kamar Dikta, lalu mata mereka terlihat sendu.

****
"Woi bocah, kemana aja lu?" Nyak Imah berteriak memanggil Harlan yang berjalan ke arah warung, senyum cerah Harlan terbit.

"Nanya nanya, pasti kangen" Harlan mulai menggoda nyak Imah yang berdecak.
"Halah, mana bener lagi" lalu mereka tertawa lepas.
"Nyak rokok satu" seorang pelanggan datang.

"Gua kaga Nerima utang" ucap nyak Imah dengan mata memicing.
"Tenang nyak, gua udah gajian" pria itu menerima rokok dan membayar.

Harlan memperhatikan pria itu, lalu nyak Imah kembali bersuara.
"Apa lu liat liat? Mau ngudud lagi lu? Gua lides lu kalo berani" nyak Imah memberi ancaman ia mengepalkan tangannya, Harlan tersenyum lalu menggeleng.

"Ga lah nyak, Harlan kan anak baik" ia berpose seolah olah anak lugu.
"Dih, gaya lu" ucap nyak Imah, lalu Harlan menutup wajahnya malu.

"Nyak mantap Harlan gitu lama lama falling in love" ujar Harlan, pada nyak Imah yang memperhatikan wajahnya.

"Lop lop pala lu, gua liatin lu kayanya pucat dah, sini lu" nyak Imah menarik tangan Harlan agar lebih dekat, lalu ia menyentuh dahi Harlan dengan punggung tangannya.

"Agak anget, buruan masuk, nyak bikinin teh anget" nyak Imah segera membawa Harlan masuk, memberinya selimut, dan membawakan teh hangat.

"Makasih nyak" nyak Imah mengangguk dengan senyum lembut, dibalik sikapnya yang terkadang agak laen.

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang