8

3.1K 236 19
                                    

Dikta membangunkan Harlan yang tertidur, lalu membawa barang belanjaannya untuk Harlan agar makanan yang Harlan konsumsi lebih sehat, ia juga membawa obat obatan Harlan yang telah ia tebus.

"Mampir dulu bang" Harlan menerima barang yang Dikta berikan.

"Ntar pulang kerja Abang kesini, istirahat" masih terdengar dingin dan kaku tapi Harlan senang saat mendengar bagaimana kakaknya memperhatikan dirinya.

Senyumnya merekah, dan anggukan kepala terlihat.
"Makasih banyak bang, hati hati" Dikta mengangguk dan berlalu pergi.

Didalam mobil Dikta tidak lansung pergi ia menunggu Harlan masuk ke dalam.

Setelah melihat adiknya masuk bukannya melaju ia malah menunduk, memukul kesal stir mobil.

"Aghh... Gua harus apa, kasian adek gua" kalimatnya yang semulanya keras dan penuh kesal melemah di akhir.

***
Malam harinya tepat setelah Harlan sholat isya, ia membuka pintu karna seseorang mengetuk pintu.

Saat pintu terbuka, pria dengan pakaian formal berdiri disana dengan kantong belanjaan, Harlan mengembangkan senyumnya.
"Masuk bang" Harlan mempersilahkan abangnya masuk.

"Ni" Dikta menyerahkan belanjaan yang saat Harlan intip berisi bahan makanan yang sangat fresh dan bergizi.

Ia tersenyum tipis.
" duduk dulu aja bang, Harlan mau-" belum sempat melanjutkan Dikta menyela.

"Lu udah minum obat?" Tanya Dikta ia ingat betul jadwal adiknya minum obat.

Harlan terlihat berfikir, lalu dengan kaku menggeleng.
Dikta menghela nafas.
"Bego, minum buruan" ia merebut belanjaanya tadi, ia tau adiknya akan menyusun belanjaan yang ia bawa, dan melupakan jadwal minum obat.

Dikta mengarah ke dapur, yang berukuran sangat sempit, lalu melepas jas dan meletakkan di kursi meja makan, dan menarik lengan kemejanya, dan mencari cara membuka kulkas, ia berusaha mengingat dan mempraktekan bagaimana adiknya membuka kulkas.

Saat Dikta hendak melancarkan aksinya, Harlan datang.
"Abang ngapain?" Tanya nya dengan wajah polos, saat melihat yang lebih tua dengan posisi ingin mengangkat kulkas, tepat seperti maling kulkas.

Dikta menoleh dan berdiri tegak, mengembangkan wajah dinginnya.

"Ekhem" ia mendehem dan mengerahkan matanya ke belanjaan, dan Harlan ber oh ria.

"Biar Harlan aja bang" Harlan menahan pintu kulkas, tangannya yang kalian membuka ikatan kulkas yang berasal dari ban dalam motor kemudian ia jadikan ikatan kulkas.

Lalu perlahan membuka ikatan dan menurunkan pintu yang terlepas itu, menyandarkannya di dinding.

Dikta memperlihatkan tingkah Harlan, lalu dengan telaten memasukkan barang barang tergantung dengan kategorinya.

"Lu beli dimana sih ni kulkas, aneh bener selera lu" ucapnya sembari memasukkan sayur kedalam kulkas.

"Ga beli, di kasih sama nenek nenek di bawah, katanya mau dibuang, yaudah gua minta,dari pada dibuang kan sayang" Harlan tidak menoleh sama sekali ia terlalu fokus pada perkejaannya.

Dikta diam mendengar cerita singkat itu, rasa tak nyaman didadanya kembali hinggap.

Saat memasukkan bahan makanan, dibantu oleh Dikta yang sesekali membantu karna Harlan selalu mengagalkannya.

Saat bagian freezer yang berukuran kecil penuh dengan daging, ia bingung mau ia bawa kemana sisa daging lainnya.

Dikta melihat Harlan yang bingung.
"Kepada?" Tanya Dikta, Harlan mendongak.

"Ini ga muat" ucapnya menunjukkan sisa daging.
"Ya udah di masak aja, lu bisa kan?" Tanya nya.

Harlan mengangguk.
"Bisa"
Dikta mengangguk dan duduk di kursi.

"Ga kebanyakan?" Harlan yang agak ragu kembali bertanya.

"Gak, masak aja, ga usah ngirit ngirit makan yang banyak" ucap Dikta santai ia mengetikkan sesuatu di layar ponsel.
Harlan berfikir bagaimana kakaknya tau jika ia sering mengirit atau yang ia sebut berhemat.

"Buruan gua laper" ucap Dikta menyadarkan Harlan.

"Oh iya" Harlan segera memasak dalam jumlah yang cukup banyak.

Dalam diamnya ternyata Dikta sedang mempelajari penyakit adiknya, pola hidup yang baik untuk adiknya dan pengalaman dari pasien yang sudah berhasil melawan kanker, ia baca artikel itu dengan seksama.

Karna itu juga Dikta membeli banyak makanan Fresh, sesuai dengan apa yang ia baca dan rekomendasi dokter.

Saat makan bersama Dikta mulai menasehati adiknya.
"Jangan terlalu forsir badan lu" Harlan mengangguk.
" Kalo cape istirahat jangan maksa, kerja di satu tempat aja, yang paling ringan menurut lu, atau lu pindah tempat kerja aja" Dikta berusaha membujuk adiknya, tadi adiknya menyangkal sarannya untuk berhenti bekerja.

Harlan sontak mendongak, saat mendengar ucapan kakaknya.
'dari mana dia tau' Harlan bingung tentunya.

"Denger ga?" Melihat Harlan yang kurang fokus.
"Hah? Iya iya denger kok" Harlan menjawab dengan gugup.

"Makanan juga harus sehat, jangan kebiasaan manasin makanan, ga sehat, jangan makan makanan sembarangan, abis masak lansung dimakan jangan di diemin nanti terkontaminasi sama udara kotor." Dikta kembali menasehati sesuai dengan artikel yang ia baca tadi.

"Iya bang iya" Harlan tentu mendengarkan. Hatinya menghangat saat kata demi kata yang kakaknya ucapkan terdengar tulus dan penuh perhatian padanya.

Setelah cukup lama diam Dikta memejamkan mata dan menghela nafas.

"Harlan..." Mendengar panggilan dengan nada yang berbeda yang terkesan lirih dan memohon, Harlan menatap mata kakaknya.

"Jalanin pengobatan... Dek..." Dikta akhirnya mengeluarkan panggilan masa kecil mereka, ia telah frustasi sedari kemarin ia terus gelisah tidak fokus pada pekerjaannya, karna memikirkan Harlan.

Harlan berhenti menyendok, ia menatap wajah kakaknya mencari letak kebohongan dan ia tak menemukan, yang terlihat malah tatapan tulus dan putus asa dari mata kakaknya.

"Di luar negri pengobatannya terjamin lan... Kalo alasan lu ga mau disini, gua juga bakal jagain lu, mau ya dek..." Dikta seolah memohon pada adiknya yang hanya terdiam sedari tadi.

Kepala Harlan yang semulanya menunduk perlahan menatap mata abangnya lalu tersenyum teduh.

"Bang... Harlan pikir pikir dulu ya" dengan nada yang lembut ia berusaha memberi pengertian.

"Lan, kalo lo masih mikir, lo malah makin lama dapat penanganan, Lo tau sendiri kan kondisi tubuh Lo udah ga kaya dulu lagi dek..." Nada Dikta malah semakin tak bertenaga, ia dengan susah payah menahan air matanya.

"Harlan tau bang, Abang tenang aja Harlan bakal minum obat yang rajin, makan makanan yang sehat, jaga kebersihan juga. Harlan janji" mendengar suara kakaknya dan matanya yang menyiratkan ketulusan yang mendalam, Harlan menjadi tak tega untuk menolah dengan kasar, atau tegas.

Dikta meremas sendok di tangannya.

"Abang ga usah khawatir, insyaallah Harlan bisa sendiri" entah kenapa ucapan Harlan, terdengar sebagai sindiran di telinga Dikta.

****

Jadi, cerita ini terinspirasi dari kisah nyata, yaitu dari ayah aku sendiri, dari sebagai dari kisah Harlan adalah pengalaman ayah aku.

Mohon doanya ya teman teman semoga ayah aku sehat dan sembuh secepatnya. Aaamiiin

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang