34

1.6K 153 4
                                    

Dikta dan Harlan kini duduk di pos ronda, dengan posisi menunduk, memegang ke dua lutut mereka.

Nyak Imah menarik nafas panjang mulai mengintrogasi kedua lelaki tampan itu.

"Kenapa ga bilang?" Tanya nyak imah. Keduanya saling melirik.
"Nyak.. Harlan kan-" Dikta segera menyela,nyak Imah mengalihkan pandangannya dari wajah memelas Harlan ke wajah kaku Dikta.

"Jadi seperti ini nyak, saya kira nyak sudah di beritahu Harlan, dari yang saya lihat sikap nyak memperlakukan saya, saya kira nyak sudah tahu, maaf karna tidak memberi tahu nyak" bahasa formalnya didengar seksama oleh nyak Imah, lalu ia menatap dengan ujung mata Harlan, wajah memelasnya membuat nyak menghela nafas.

"Napa lu kaga bilang?" Tanya nyak kini pada Harlan seorang.
"Ya kan, Harlan lupa nyak maafin Harlan ya nyak, gara gara Harlan nyak jadi ikut ikutan kena fitnah" tatapan penuh sesal dari Harlan dapat nyak Imah rasakan.

"Au ah males gua, duduk lu bedua disini awas aja kalo begerak gua kepret lu bedua" dengan ancaman itu ke duanya mengangguk patuh.

"Maaf bang, gara gara gue lu kena fitnah, mana fitnah nauzubillah banget" Harlan tak menoleh pada dikta yang mengangguk ia masih berada pada posisi yang telah nyak Imah perintah kan.

"Gua ga pernah ngebayangin bakal kena fitnah ga jelas gini" ucap Dikta pelan.
"Tapi ga papa, biar ada pengalaman" ucapannya disambut kekehan Harlan.
Kini banyak kata kata harlan yang sering diucapkan Dikta, membuat Dikta seorang pekerja kantoran dengan bahasa formalnya terdengar aneh berbicara bahasa gaul, dan tidak diikuti dengan nada khas.

"Shuttt" Harlan lansung diam, nyak Imah datang membawa dua piring dengan porsi besar.

Mulut Harlan baru saja terbuka ingin mengatakan sesuatu nyak Imah lebih dulu menghentikannya.
"Jangan dimakan dulu" ucapnya melihat kedua mata mereka. Lalu mereka mengangguk patuh.

"Enak tuh bang" bisik Harlan melihat, soto Betawi dan nasi panas dihadapannya.
Dikta masih diam, ia sungguh paruh pada ucapan nyak Imah.

Ke dua tangan nyak Imah penuh dengan nasi di dalam mangkok.

"Nyak, maafin kita ya" melihat wajah kedua lelaki itu ia tak menjawab.
"Habisin kalo lu pada mau gua maafin, awas kalo ga abis lu bedua gua pukul, " nyak Imah mengancam lagi, keduanya mengangguk patuh.
"Kalo ga abis nyak?" Tanya Harlan dengan suara kecil.

Dikta menyenggolnya agar tidak bertanya lagi.
Mata nyak Imah melotot.
"Iya nyak iya" Harlan segera makan begitu juga dengan Dikta.

Harlan akhir akhir ini tidak nafsu makan entah kenapa kini, ia bisa menghabiskan semuanya, mungkin karan masakan nyak sangat enak ataupun karna ia makan bersama sang Abang, obrolan random mereka menemani sampai nasi keduanya habis.

"Kalo ga pake kluwek ga bakal hitam lah" mereka mulai berdebat perihal rawon salah satu makanan kesukaan mereka saat kecil, biasanya dibuat oleh IRT berumur, tentu rasanya lebih khas.

"Mana mungkin buah doang bisa bikin hitam gitu" Dikta meneguk air.
"Bisa lah, ga percaya ni gua tanya nyak ya" Harlan ingin memanggil, Dikta mencegah.

"Jangan lan, takut gua nyak marah lagi" Dikta ternyata menganggap ucapan nyak tadi benar benar sedang marah, padahal nyak memang gaya berbicaranya seperti itu.

"Berarti bener ya yang gua bilang" Harlan memberi tangannya meminta jabatan tangan sebagai persetujuan.
Dikta menerima saja.

Tetangga yang lewat melihat mereka bersalaman, bersuara.
"Udah kaya penghulu sama penganten aja, ngapain lu bedua?" Tanyanya, ia memegang semprotan air, beliau gunakan untuk memandikan burung.

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang