10

3.2K 199 7
                                    

Hari hari yang sulit, telah Dikta jalani, saat malam hari sepulang bekerja ia memilih beristirahat di taman belakang dari pada membaringkan tubuhnya di ranjang empuk miliknya.

Ia menghela nafas panjang, memandang langit yang cerah dengan taburan bintang dan bulan yang berbinar terang.

Saat matanya terpejam untuk beberapa saat, ia sadar seseorang duduk di sampingnya.

Dikta tak langsung membuka matanya, ia memilih diam seolah ia sendiri.

Johan yang paham akan kekesalan putranya sedang merangkai kata agar keadaan tak semakin memburuk, kejadian tadi pagi di kantor ia duga menjadi alasan tambahan mengapa sang putra mendiaminya.

Karna terlalu sibuk dengan pikirannya, Dikta yang sudah kepalang kesal menunggu ayahnya berbicara terlebih dahulu hendak pergi.

Namun..
"Bang, ayah minta maaf" tangannya yang menggenggam tas yang akan ia bawa masuk, ia lepas kembali. Dan duduk seperti semula, matanya memandang lurus tanpa menoleh sedikitpun.

"Maafin ayah bang" Johan mengulangi permintaan maafnya, ia cukup tenang saat ucapannya mampu membuat Dikta kembali duduk di tempatnya.

Dikta tak menjawab, ia menunggu kalimat selanjutnya. Yang ia harap akan ayahnya sampaikan.

"Ayah ga bermaksud untuk mengabaikan kamu tadi pagi, tadi pagi ayah benar benar sibuk bang, ayah tau Abang pasti paham" Johan memandang putra disampingnya yang masih belum bergeming.

"Sekarang ayah udah ga sibuk lagi, jadi kamu bisa bilang apa yang mau kamu sampaikan tadi ke ayah" Johan masih membujuk anaknya yang satu ini, Dikta mendongak melihat bulan yang cerah perlahan tertutup awan.

"Sibuk banget sampe ga ngubris anaknya sendiri" sindiran pedas Dikta layangkan pada Johan yang sudah tau hal ini akan terjadi.

"Bukan maksud ayah buat ga peduliin kamu bang, Abang bisa ngomong sekarang sama ayah apapun yang mengganjal di hati Abang" kalimat lembut itu membuat perasaan Dikta merasa semakin sakit.

"Andai kalimat lembut yang aku dengar kali ini, adalah kalimat yang ayah ucapkan ke Harlan." Dikta menoleh pada ayahnya, menangkap mata ayahnya.

Bagaimana irisan pisah yang mengiris hatinya, Johan mau tak mau menerima kalimat yang benar adanya.

Bibir tipis Johan menampilkan senyum tipis.
"Ayah juga berharap seperti itu bang" bukannya menyangkal ataupun mengalihkan, Johan memilih mengakui kesalahannya beberapa tahun lalu.

Mata Johan beralih ke arah lain, ia tak sanggup menerima tatapan dari Dikta, yang semakin membuatnya teringat pada putranya yang lain.

"Aku cape yah, saat aku berusaha buat ngebujuk Harlan berobat, dan menebus kesalahan aku, ayah malah ga bertindak apa apa, ayah juga nolak pertemuan aku tadi pagi lewat sekretaris ayah, yang katanya ada metting penting itu" ucap Dikta yang kini mulai melepas uneg-unegnya.

Johan mendengar dengan perasaan sesal.
"Ayah juga ga berusaha buat memperbaiki keadaan, bahkan ayah masih menutupi kabar ini dari mama sama gina, padahal ayah kepala keluarga-" saat kalimat yang seharusnya menjadi lebih menyakitkan ia hentikan karna tak ingin menyakiti pria yang berstatus ayah kandungnya.

Ia menghela nafas.
"Ngapain Dikta ngomong panjang lebar, buang buang tenaga Unjung ujungnya ayah tetap ga peduli" Dikta berdiri dengan tak yang ia tenteng.

"Aku kira ayah bakal benar benar berubah dan menyesali perbuatan ayah, ternyata ayah bohong, lagi" Dikta berbalik badan dan pergi dari sana.

Johan terdiam, tak sepenuhnya yang Dikta ucapkan salah, ia mengakui dirinya yang pengecut, dan menggerutuki dirinya yang tidak mengambil langkah untuk memperbaiki hubungannya dengan sang putra yang telah ia ketahui sedang menderita. Dan dengan teganya mengabaikan Dikta pagi tadi.

Tetesan air mata mengalir, Johan. Segera mengusap dengan lengan bajunya.

Lalu masuk ke dalam rumah dengan pikirannya yang kacau.

****
Dikta yang masih belum puas, amarahnya ia lampiaskan pada kertas kertas di meja kerjanya, ia lembut sampai pagi untuk mengalihkan pikirannya, tapi tak bisa ia sangkal Harlan tetap ada dalam otaknya.

Dikta mengetikkan sesuatu pada keyboard komputernya, ia menghubungi dokter luar negri yang telah ia lihat pencapaian dan hasil dari dokter tersebut yang sangat baik.

Ia mengirim email, tentang keinginan mengundang dokter tersebut ke rumah sakit milik ayahnya, untuk menangani sang adik, dengan akan ia beri imbalan yang sangat banyak, dak hanya imbalan ia juga membujuk dokter terkenal tersebut yang pasti akan sibuk.

Tak hanya itu Dikta mengirim pesan pada pemilik layanan cleaning service di rumah sakit, agar memberi keringanan untuk Harlan dalam bekerja dan mempersingkat waktu kerja Harlan yang semulanya 6 jam menjadi 3 jam saja, ia juga telah meminta pemilik rumah makan untuk memberhentikan Harlan, dengan amplop berisi imbalan, pemilik rumah makan setuju.

Saat hendak beristirahat, pintunya diketuk seseorang, Dikta membuka pintu.

Menemukan adik perempuannya, yang terlihat habis menangis.

"Kamu kenapa dek?" Dikta terkejut menemukan adiknya yang menangis di depan pintu, ia membawa adiknya masuk.
"Abang" adiknya merengek dengan manja.

"Iya kamu kenapa?? Sakit? Mana yang sakit? Ayo Abang anterin ke rumah sakit" Dikta meneliti wajah adiknya, dan menarik lembut tangan sang adik yang berniat ia.bawa ke rumah sakit.

"Adek ga papa bang" dengan sesegukan gina menjawab dan Dikta bernafas lega, ia membawa adiknya duduk.

"Ga mau cerita?" Tanya Dikta menunggu adiknya tenang dengan coklat panas di depannya.

Gina tak langsung menjawab, ia mengusap pipinya yang teraliri air mata.

"Aku kangen kakak" lirihan gina terdengar jelas di telinga Dikta, Dikta tersenyum tipis lalu mengusap kepala adik perempuannya itu.

"Kakak dimana bang? Adek pengen ketemu sama kakak" tangis yang semulanya telah reda kembali pecah.

"Iya nanti ketemu, Abang cariin kakak yaa, kamu jangan sedih" Dikta menenangkan, kejadian ini tidak terjadi sekali, dulu awal awal Harlan di usir, gina yang sering Harlan temani sebelum tidur tak bisa tidur dan menangis pada Dikta, ia tak berani menangis atau mengadu pada ayah atau mamanya.

Takut akan membuat keadaan memburuk, apalagi ia sempat tidak berbicara pada Johan beberapa Minggu karna takut.

"Abang selalu ngomong gitu, tapi sampe sekarang ga pernah bawa kakak pulang" gina menutup wajahnya menangis sesegukan, ingatan manisnya dengan Harlan kakak yang Baik hati dan lembut membekas di ingatannya.

"Aku kangen kakak bangg" gina terus meracau, Dikta mengusap kepala gina sebagai penenang, lalu ia tertidur di meja kerja Dikta.

Dikta tersenyum miris dan mengelus lembut wajah adiknya, keakraban Harlan dan gina benar benar membuat gina tak bisa hidup tanpa Harlan, untuk beberapa saat.

Ia juga tau betul bagaimana Harlan dengan baiknya memperlakukan gina bak seorang ratu, yang tak bisa ia lakukan pada adiknya karna sifat mereka yang jauh berbeda.

Lalu dengan hati hati ia memindahkan gina ke kasur miliknya, dan ia tidur di sofa semalaman.

****


langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang