Baru saja Dikta membawa kembali Harlan ke kamar yang tadi memuatnya cemas karna adiknya yang terhuyung hampir terjatuh.
Sekarang Harlan menggigil kedinginan, suhu tubuhnya meningkat.
"Lan" panggil Dikta, melihat Harlan yang sedang kedinginan. Melihat adiknya yang tak terlalu merespon ia segera menyelimuti Harlan, dan memanggil perawat.Perawat yang datang segera memasangkan infus dengan cairan parasetamol.
"Mas, kalau cairannya habis tolong panggilkan kami ya mas, permisi" Dikta hanya mengangguk ia kembali pada Harlan, yang meracau tak jelas.
" Lu kenapa lan... Ngomong apa lu, yang jelas" suara Dikta seketika bergetar, wajah pucat dan bibir bergetar Harlan membuatnya ketakutan.
Bukan nya menjawab, Harlan malah semakin meracau, Dikta mendekatkan telinganya pada mulut Harlan.
"Shakit, ya Allah tolong" ternyata ia meminta bantuan pada sang pencipta, daripada meminta bantuan pada Dikta yang disisi nya.
Dikta juga melihat tangan Harlan yang meremas lengannya yang lain.
"Sakit ya lan?" Tanya Dikta masih dengan nada bergetar, ia menatap wajah Harlan yang mengangguk samar.Tangannya segera mengurut lengan Harlan yang diakuinya sakit, dengan telaten dan terkesan berhati hati, takut ia semakin menyakiti Harlan.
Di saat seperti itu, Dikta semakin panik saat melihat cairan merah dari hidung Harlan yang mengalir.
"Harlan, ya Allah" Dikta menyambar tisu, ia memangku kepala Harlan, agar darah tidak tersumbat.
Mulut Harlan terbuka menarik udara, ditambah pula paru parunya yang kini terasa tidak dapat bernafas dengan sempurna.
Dikta semakin kelabakan saat melihat Harlan yang susah bernafas, dan infus yang hampir habis.
Melihat tombol untuk memanggil perawat jauh, ia harus meraihnya dengan lebih berusaha, sembari ia mengganti tisu dengan tisu baru karna darah yang terlalu banyak.
Tak berselang lama, perawat datang, ingin rasanya membentak perawat yang memberi obat pada adiknya namun kini adiknya semakin parah.
Saat wajah memerahnya hendak mengeluarkan kata kata, Harlan menggenggam tangannya erat, Sembari menggelengkan kepalanya.
Termasuk agar kakaknya tidak memperburuk keadaan.
Dengan kepala dingin Dikta menjelaskan apa yang terjadi, dengan tangannya yang setia mengusap darah Harlan."Buruan adek gua ga bisa nafas" sentak Dikta saat nafas Harlan semakin memberat, dan perawat tersebut yang terlihat lambat.
"Iya pak maaf" dengan terburu buru, perawat tersebut memasangkan nassal kanul pada hidung Harlan yang darahnya telah terhenti. Namun bercak pada hidung Harlan Masi tersisa.
Lalu ia menyuntikkan obat pada selang infus Harlan, agar obat lebih cepat bereaksi.
"Lan tenang, nafas pelan pelan" walaupun Harlan banyak tau tentang dunia kesehatan, dalam keadaan seperti ini entah dimana pengetahuannya itu.
Untung saja ia memiliki sang kakak yang setia di sisinya.
Tangan Dikta tak henti hentinya mengurut lengan Harlan, yang ia keluhkan sakit, ia juga mengelap peluh di dahi Harlan.
Perawat yang telah memberi penanganan kemudian kembali keluar.
Setelah nafas Harlan yang perlahan semakin normal, kini ia tertidur akibat obat dan juga karna kelelahan.
Dikta menggenggam tangan Harlan yang tertidur, ia masih terbayang saat situasi tersebut telah terjadi beberapa kali, tapi ia masih belum terbiasa, apa lagi kali ini yang paling membuatnya kelimpungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah
Randomcerita seorang putra yang ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan keluarga yang telah lama tidak menerimanya.