41

1.7K 184 9
                                    

Tepat setelah beberapa saat Dikta menelepon, pria itu telah berdiri tegap di depan pintu, dan kini disambut dengan senyum manis Harlan.

"Masuk dulu bang" Harlan membuka pintu lebar, diiringi backsound dari pintu yang mengernyit.

Dikta duduk di sofa tua, Harlan segera bersiap, ia mengunci jendela yang kacanya pecah.

Mengambil kemeja di lemari kecil, dan pintunya patah sebelah.
Memilih kemeja yang paling bagus dari semua, lagi lagi ia menemukan pemberian nyak Imah, yang masih dengan tag harga. Membuktikan jika kemeja tersebut tak pernah ia gunakan.

Harlan segera mengenakan tanpa mengaitkan kancing, ia melipat lengan kemeja.

Saat keluar handphone Dikta berbunyi, Harlan mengira itu telfon dari keperluan kantor Dikta. Karna itulah ia kepikiran jika ia menyusahkan hingga menyita waktu sang Abang yang berharga.

"Abang kalo ada keperluan, cek up nya di tunda aja ga papa" ucap Harlan ia berdiri tak jauh dari Dikta.

Alis kanan Dikta naik. Ia terlihat bingung mempertanyakan maksud Harlan.

Lalu ia sadar dan terkekeh.
"Ini alarm jadwal lu minum obat, karna gua liat ada bungkusnya ni, makanya gua ga jadi ingetin" ucap Dikta menunjukkan ke arah bungkus obat yang harus di konsumsi Harlan.

Harlan beroh ria, merasa bersalah karna telah menduga duga hal yang tak pasti.

"Udah? Yuk" Dikta bangun dari duduknya dan keluar lebih dulu, diikuti oleh Harlan.

"Woi anak muda" panggil babeh Rashid, dari jauh ia telah memberi kepalan tangan untuk pemuda dari kejauhan itu.

Dikta berbalik mendengar seseorang, dan terlihat bingung dengan tingkah pria tua itu, seketika ia bersiaga takut sesuatu terjadi.

Saat Dikta hendak bergerak karna babeh makin dekat, Harlan lebih dulu membalas tos dari babeh Rasyid.

"Lah, gua kira ini elu lan. Sorry ye anak muda babe salah liat, maklum " ia lalu terkekeh, Dikta bernafas lega.

"Makanya Harlan bilang jangan sering nonton tipi, mending tadarusan" gurau Harlan.
"Beh Harlan pamit, mau jjp. Jalan jalan pagi" lalu mereka berdua tertawa kecuali Dikta yang tak paham.

"Iya deh, tihati lu, Anak muda juga ya" lalu mereka berpamitan dan menemui nyak Imah sebelum berangkat.

Di dalam mobil kini mereka berbincang ringan membahas hal hal tak penting.

"Pemborong biasanya beli pas kapalnya sampe, jam jam 2 pagi itu udah rame pelabuhan." Ceritanya, entah pembahasan dari mana sampai mereka berada pada pengalaman Harlan sebagai nelayan.

"Jadi di kapal itu berhari hari" Harlan mengangguk.
"Iya kadang kalo cuaca buruk, ga sesuai perkiraan sampe semingguan lebih di laut. Ya selama itu nafsi nafsi udah. Pada teguh kan Iman semua" Harlan tertawa diikuti tawa Dikta.

"Bener bang, itu lansung yang jarang sholat, kerjaannya mabok pada lansung sholat tobat bang. Padahal berdiri tegak pun ga bisa kalo lagi badai gitu" jelasnya lagi.

"Aneh aneh pengalaman lu lan, udah kaya orang jualan toserba" ia berucap alas, namun Harlan menjawab.

"Kerja di toserba pernah juga, seru tau bang, tiap ada acara apa gitu dapat hampers, biasanya makanan sih." Sahutnya, Dikta malah terbelalak, tak menyangka ternyata benar adanya.

Harlan terkekeh melihat reaksi Dikta.
"Apasih yang lu ga pernah kerjain?" Tanya Dikta tak habis pikir.

"Ga tau, mungkin karna terpaksa ya, jadi semuanya bisa dari hal hal yang ga jelas sampe yang gimana gitu" ucapnya, Dikta menipiskan bibirnya.

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang