Saat makan malam, gina heran melihat Abang dan ayahnya diam tidak seperti biasanya.
"Ma ayah sama Abang berantem?" Gina agak berbisik namun suaranya jelas terdengar.
"Ga tau tu, coba kamu tanya" sahut salsa, ia juga curiga pada ke dua pria di depannya itu.
"Siapa yang berantem, ga berantem kok" lebih dulu Johan menjawab, sebelum terjadi sesuatu.
"Kok diem dieman sih? Ga biasanya" gina masih tak percaya.
"Gina udah makan? Yuk kita nonton bareng" Dikta bangun dari duduk nya mengajak gina ke ruang keluarga.
Salsa menghela nafas.
"Kalian ada masalah?" Suara lembut salsa terdengar.
"Ga ada, mungkin Dikta lagi cape di kantor" ucap Johan apa adanya, salsa menatapnya tak percaya.
"Serius sayangku, mas kapan bohong sih sama kamu" salsa mengangguk saja."Nyusul anak anak yuk" ajak Johan, sebelum salsa kembali bertanya.
Dikta hanya diam ia tak fokus pada tantangan dihadapannya.
Kepalanya penuh te yang sang adik, yang tidak ada seorang pun disisinya.
Johan melihat putranya itu, merasa tak enak.
Ia yang meminta Dikta pulang, agar salsa dan gina tidak curiga, Dikta awalnya menolak, namun apa boleh buat.Bukan hanya itu, Dikta juga kesal pada ayahnya yang tidak memberitahu gina dan salsa perihal Harlan.
Tengah malam, Dikta diam diam pergi ke rumah sakit, sedari tadi hatinya tak tenang, apalagi ia mengingat betapa lemasnya Harlan tadi.
****
Saat membuka ruangan Dikta heran ia tak melihat Harlan, saat mendekat pada kamar mandi ia bernafas lega.
Pintu terbuka Harlan tertarik dengan mendorong tiang infusnya.
Ia mendesis sakit di punggung nya menjalar ke pinggul, ia juga tak sadar ada seseorang disana.
"Eh Abang" saat mendongak matanya bertemu dengan mata sang kakak.
"Sakit?" Dengan bodohnya Dikta bertanya.
'anjing bego bener udah jelas dia sakit ngapain gua nanya' Dikta megerutukan kebodohannya.Harlan mengangguk, dan perlahan duduk di bangkar, ia mengernyit saat sakit seakan tersetrum.
Dikta sontak membantunya.
Memberi bantal pada punggungnya agar Harlan nyaman."Makasih bang" dengan senyum manis khas Harlan.
Dikta mengangguk cukup canggung saat ia salah tingkah, tak tau bagaimana menanggapi senyum manis adiknya itu.
Ia tak sengaja melihat ke meja, disana terdapat makanan dari rumah sakit yang belum Harlan sentuh.
"Lu belom makan?" Dikta menoleh pada Harlan, Harlan mengangguk.
"Kenapa ga makan, lu lagi sakit butuh makan" Dikta mengambil makanan itu dan membuka lapisan plastik wrap.
"Ga selera bang" sejak tadi rasa sakit di punggungnya tak kunjung mereda, terkadang seperti terbakar.
"Mau ga selera tetap harus makan" Dikta tanpa sadar telah memberi perhatian pada Harlan, hari Harlan menghangatkan.
'saking lamanya kita pisah, gue sampe lupa rasanya punya keluarga, dan diperhatikan gini' ucap dalam hatinya Harlan.
"Buka mulut lu" walau nadanya datar, Harlan dengan senang hati membuka mulutnya.
Setengah mati Harlan mengunyah makanan lembek dan hambar itu, saat rasa mual menyerang.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah
Randomcerita seorang putra yang ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan keluarga yang telah lama tidak menerimanya.