Dikta duduk di kursi taman belakang Rumah, ia kembali menikmati senja dengan udara sejuk yang menenangkan.
Tak lama ayahnya duduk di sana. Dikta masih fokus pada suara kicauan burung di langit senja yang membentuk huruf V, ia juga melihat tupai yang masuk ke lobang pada pohon besar di dekatnya.
"Bang" panggil Johan pada Dikta yang terlihat sangat tenang dengan pandangan yang disuguhkan alam.
"Iya" sahutnya seadanya, ia masih terlalu fokus pada senja.
"Kamu sibuk akhir akhir ini?" Tanya johan pada Dikta yang terlihat menarik nafas panjang.
"Iya" singkat dari Dikta.
"Kamu masih marah sama ayah bang?" Karna sudah tak tahan Johan pun bertanya."Enggak" lagi lagi sahutan singkat yang Johan dapat. Ia tersenyum tipis akan jawaban menggantung dari Dikta.
"Ayah tau ayah salah, maafin ayah bang..." Ucap Johan tulus dari hati, perasaan tak enak selama ini karna Dikta dan satu orang lain.
"Iyaa yah" mendengar jawaban yang sedikit lebih baik dari sebelumnya Johan sedikit tenang.
Lama mereka dalam keheningan sampai akhirnya Dikta memancing.
"Ada yang mau ayah omongin?" Dikta menatap sepasang mata dari ayahnya.
"Ada bang banyak" ucap Johan terus terang, ia telah memikirkan dengan matang selama ini, ia akan merubah sikapnya yang tinggi ego menjadi terus terang dan tidak mementingkan ego.
Dikta memberi ruang untuk ayahnya.
"Dari beberapa hari lalu ayah pengen ngobrol sama kamu bang" ucap ayahnya lagi.Dikta mengalihkan pandangannya kembali pada senja yang perlahan semakin pekat.
"Lansung aja yah" Dikta hanya melirik ayahnya sesaat.
"Kamu kemana aja sibuk selalu? Ayah tanya sama pak timo, kamu ke kantor kaya biasanya, trus katanya kamu sekarang sering makan siang diluar trus kadang baliknya telat" ucap Johan dengan kekehan diakhir, teringat saat pak timo atasan dari Dikta memberi jawaban pada Johan tentang pertanyaan bagaimana anaknya di sana.
"Oh itu. Aku lagi ngurus penyesalan aku 7 tahun terakhir" ucap Dikta dengan santai, tapi terkesan sarkas dan menyindir, Johan tidak bodoh ia lansung tau maksud Dikta.
Johan bertanya hanya sebagai percakapan pada anaknya, yang selama ini semakin menjauh darinya, ia sebenarnya tau semuanya dari rekaman cctv, ia terharu melihat anaknya yang mengurus sang adik dengan telaten.
Johan hanya tersenyum mendengar jawaban sang putra yang menyentil perasaannya.
"Gimana kabar Harlan?" Dengan langkah mantap dan hasil dari pikirannya selam ini ia pikirkan, Johan akhirnya mengatakan hal ini.
"Harlan... Cukup baik" ucap Dikta dengan helaan nafas pendek.
Lalu tersenyum.
"Senja emang bikin candu pantes Harlan suka" ucap Dikta yang kemudian melirik ayahnya disamping yang mengangguk setuju."Kalo ayah mau tau kabar Harlan, jenguk aja dia yah, ga usah ayah rawat ga papa ada Dikta, jenguk aja, kalo ayah gengsi ayah bisa jenguk dia pas dia tidur." Ucap Dikta panjang, dengan nada yang terdengar lesu nan sedih.
Johan menunduk ia menatap rerumputan yang ia injak.
"Ayah selama ini cuma ngasi harapan ke Dikta, bukan ke Harlan. Dikta selalu nunggu ayah buat nemuin Harlan walaupun sebentar, tapi ayah ga pernah datang." Dikta mengungkapkan kekesalannya selama ini.
Johan menggenggam tangannya seiring suara Dikta yang terdengar menyakitkan mengalun di telinganya.
"Gimana perasaan ayah sebagai seorang ayah selama ini? Anak ayah yang ayah buang bertahun tahun, terbaring sakit di rumah sakit ayah cuman diam ga peduli, bahkan ga ada niatan buat perbaiki kesalahan dimasa lalu. gimana yah?" Kini suara Dikta terdengar bergetar, Johan mengangkat pandangannya pada Dikta yang memejamkan mata.
"Dan apa maksud ayah ngirim Harlan makanan tadi siang? Ayah terlalu pengecut yah" ucap Dikta dengan perasaan yang sakit.
"Pikirkan lagi yah, Dikta harap ayah segera berubah, sebagai seorang Abang Dikta siap merawat adik Dikta kalo ayah ga mau" Dikta berdiri dan mengambil nafas panjang.
"Asalkan ayah tau, Harlan nolak pengobatan, dia takut kesakitan sendirian, takut makin lemah, makin ga berdaya sendirian. Dikta ga pernah bosan bujuk dia buat pengobatan, tapi dia ga mau yah. Karna ayah belum bertindak apa apa, Dikta ngambil keputusan buat ajak Harlan tinggal sama Dikta di apartemen." Dikta berbalik pada ayahnya. Yang memandangnya dengan tatapan yang sulit ia Artikan.
"Untuk gina, Dikta harap ayah ga gagal lagi, kasian gina. Kalaupun ayah ga bisa ngerawat gina dan buat gina nyaman Dikta bakal bawa gina juga. Kasian dia hidup disini mendam rindu sama kakaknya selama ini" lalu Dikta masuk kedalam rumah tanpa menunggu sepatah katapun dari Johan, yang terlihat ikut bangkit.
****
Saat sedang berbaring Henda terlelap dengan sang istri di lengannya, pikiran Johan masih tentang putra tengahnya.
Ucapan Dikta sore tadi berhasil membuat Johan menangis sesegukan di dalam kamar mandi.
Ia juga harus menghadapi suasana canggung di meja makan, saat ia menatap wajah cantik istrinya yang tak lekang oleh waktu, ia meminta maaf berkali kali atas kesalahannya yang semakin tak sanggup ingat.
Air matanya kembali berlinang, saat bayangan putranya yang kesakitan dan Dikta yang berusaha menenangkan di sampingnya.
Dan rintihan tertahan di tengah malam dari Harlan menghantuinya, sampai lelehan air mata mengalir, buru buru Johan mengusapnya.
****
"Abang" gina mengetuk pintu kamar Abangnya, dengan selimut berwarna pastel di pelukan.
Senyum manisnya merekah saat sang Abang menyambutnya dengan sangat baik.
Tanpa di beri tahu Dikta sudah tau maksud adiknya.
"Lansung tidur ya dek, Abang masih harus kerja" ucapnya menutup kembali pintu kamar."Oke bang" jari telunjuk dan jempol nya menyatu dengan senyum cantik miliknya, Dikta tersenyum tipis ia mengusap sayang rambut adiknya.
Fokus Dikta pada layar laptop buyar saat gina menangis lagi dalam tidurnya, ia segera menenangkan.
"Ga papa dek... Ada abang di sini" ia mengusap rambut adiknya dan mencium.
"Kakak.." gumaman gina dalam tidurnya membuat Dikta semakin sedih.
"Nanti Abang bawa gina ketemu kakak yaa..." Mencium lama pucuk kepala adiknya.
Dikta kini malah memikirkan Harlan yang ia tinggalkan sendiri di sana. Ia sedikit was was takut jika adiknya kembali kesakitan dan tak ada orang mendampingi.
Walaupun dengan yakin Harlan menjamin jika dirinya akan baik baik saja tapi Dikta tidak dengan mudah dapat tenang.
Tak lupa Dikta juga meminta bantuan dari perawat agar memantau adiknya setiap 3 jam, tak lama saat permintaan Dikta, makanan dengan merek ternama dan amplop berisi imbalan datang pada perawat disana, yang disambut dengan keterdiaman, lalu suara girang mereka terdengar."Emang enak jaga di bagian VVIP, Alhamdulillah ga sia sia begadang." Ucap pegawai pria lalu menyantap makanan dan minuman dari Dikta itu.
***
Haii ini double up yaa, jangan lupa di vote, ga di vote juga ga papa.Wkwkwk

KAMU SEDANG MEMBACA
langkah
RastgeleMemperbaiki hubungan yang telah lama memudah, berusaha agar kembali berwarna seperti sedia kala.