Tengah malam, sosok yang meringkuk dengan desisan menyakitkan terdengar lirih.
Harlan menahan rasa sakitnya, walaupun ia sudah meminum obat rutin sesuai dengan jadwal, apalagi ia punya Abang yang selalu mengingatkannya.
Ia tidak bodoh tentu ia tau, mau obat yang ia minum sebanyak apapun tidak akan menjamin penyakit itu pulih, ataupun mendingan, setidaknya ia sedikit terbantu dari rasa sakit.
Setelah beristighfar perlahan desisan menahan sakit berganti dengan dengkuran halus, ia tertidur dengan jejak air mata, saat ia mari matian menahan rasa sakit yang menjalar sekujur tubuhnya.
Keesokan harinya, Dikta datang sangat pagi, bahkan Harlan belum sempat memasak.
"Loh Abang" Harlan bingung melihat kakaknya yang seharusnya memakai pakaian formal kini tidak.
"Ngapain pagi pagi kesini bang? Abang ga kerja?" Tanya Harlan heran, Dikta malah masuk tidak menjawab.
Dikta tidak mungkin mengatakan jika ia khawatir semalaman, ia memikirkan Harlan di sini.
"Lagi pengen aja, kenapa lu ga suka?" Dikta duduk lalu mengeluarkan handphonenya.
"Masak buruan" ucap Dikta, Harlan mengangguk.
Dikta melihat lihat sekeliling.
Lalu ia teringat pada sesuatu."Lan lu besok check up, gua temenin" bukannya menanyakan persetujuan ia lebih ke memberi pernyataan.
Harlan mengiyakan, ia juga tak bisa menolak.
Dikta sering mengunjungi Harlan bahkan sepulang lembut ia menyempatkan diri mengunjungi Harlan, ia membawa bahan makanan dan minuman yang sehat, ia juga memberi vitamin berbagai macam untuk adiknya itu.Ia tidak memilih mengirimkan Harlan uang, Dikta tak ingin merendahkan harga diri adiknya, apalagi adiknya pasti akan menolak karna masih bisa bekerja.
Setelah makan bersama Dikta pulang, Harlan melihatnya dari atas dan melambai, Dikta hanya melihat dan masuk ke dalam mobil.
****
Saat sedang bekerja Dikta mendapat balasan email dari dokter yang ia hubungi beberapa hari yang lalu, ia awalnya senang, lalu kekecewaan ia dapatkan.
Dokter tersebut menolak karna telah ada seseorang yang memintanya menangani orang lain.
Dikta mengurut pelipisnya.
Lalu ia mendengar dering telepon.Ayahnya menelpon, ia hendak mengabaikan namun Dikta mengubah pikirannya.
"Assalamualaikum bang" suara di seberang terdengar.
"Wa Alaikumsalam yah" sahut Dikta."Kamu sore ini bisa pulang lebih awal? Ada yang mau ayah bicarakan" ucap Johan, Dikta terlihat berfikir, apa yang ayahnya rencana.
Lalu Dikta mengiyakan.
****Saat mereka sudah duduk di ruang keluarga, Dikta menunggu ayahnya membahas apa yang ia anggap penting itu.
Setelah menarik nafas panjang dan berfikir lama akhirnya johan bersuara."Jadi gini, ayah mau bilang sama kalian-" dering ponsel Dikta terdengar berbeda, Dikta sontak berdiri lalu berlari keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah
Randomcerita seorang putra yang ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan keluarga yang telah lama tidak menerimanya.