32

1.5K 121 4
                                    

Anak anak dengan pakaian khusus Jiu Jitsu sedang memperhatikan teori sederhana dan singkat dari sang pelatih muda.
Setelah di anggap mereka paham Harlan menunjuk dua dari mereka untuk mempraktekkan.

Salah satu dari anak itu tidur terlentang, lalu ia menekuk ke dua kakinya, dan anak kecil yang lain melangkah cepat dari sisi kanan ke sisi kiri dari temannya yang berbaring.

Dengan tangannya yang memegang lutut dari temannya.
Tentunya Harlan mengajarkan mereka dari yang paling dasar dan yang paling mudah di pahami.

Setelah mereka melakukan itu secara bergiliran, akhirnya mereka melakukan pendinginan sebelum pulang.

Harlan dengan sabar menunggu anak anak itu dijemput, sampai anak terakhir ia harus menunggu, karna takut jika terjadi sesuatu pada anak anak didiknya.

Seperti biasa ia duduk di halte menunggu bus, lalu memejamkan mata sembari sampai tujuannya.
"Mas maaf mengganggu, masnya mimisan" seorang wanita paruh baya menepuk pundak Harlan beberapa kali, Harlan bangun dan menyentuh bawah hidungnya.

Saat Harlan ingin menggunakan bajunya untuk menghentikan darah ibu itu memberi sapu tangannya.
"Pake ini aja mas" sapu tangan itu Harlan liat, ia menolak dengan sopan.
"Ga usah Bu, nanti kotor, bisa pake ini aja kok" ucapnya, tapi ibu itu memaksa.

"Ga papa pake aja nih" ia memberikan lansung pada telapak tangan kiri Harlan, tangan kanannya yang menahan darahpun sudah penuh.

Sampai menetes di bagian dadanya.

"Makasih Bu" ia segera mengelap hidungnya, entah kenapa kali ini mimisannya sangat banyak, tangannya sampai penuh dengan darah, bahkan darah mengalir hingga siku.

"Duh mas makin banyak, mas nya sakit ya" ucap ibu itu terlihat cemas.
"Lagi ga enak badan Bu" sahut Harlan dengan senyum tipisnya.

"Dicek aja mas di rumah sakit, pake BPJS aja mas" saran ibu itu di iyakan oleh Harlan.

Untungnya sebelum turun dari bus darahnya berhenti, ia lansung berlari ke masjid di seberang jalan.

Membersihkan darahnya dari tangan, hidung dan juga sekitar mulutnya.

Melihat pantulan wajahnya sendiri, Harlan tersenyum getir.
"Gini amat hidup" gumamnya.
Lalu ia membalikkan bajunya memakai bagian belakang baju ke depan agar darahnya tadi tak terlihat.

Ia juga menggulung lengan kemeja.
Karna bekas darah yang susah di bersihkan.

Setelah dirasa cukup bersih, Harlan berjalan pulang ditemani senja yang semakin gelap.

Sesampainya di rumah ia segera mandi, membersihkan diri agar sholat nya sah.

Setelah sholat ia membaca Alquran dan berzikir, sembari menunggu waktu isya.
Saat azan isya berkumandang ia lansung sholat dengan khusyuk.

Setelah sholat ia melihat sejadah, berjalan menuju dapur, membuka kulkas keren miliknya, lalu memasak daging dan sayur dengan porsi sedikit.

Lalu handphonenya berdering kencang, segera ia berlari ke dalam kamar mangangkat telpon.

"Assalamualaikum bang" sapanya pada si penelpon.
"Waalaikumsalam lan, lu ngapain? Udah makan?" Tanya Dikta, ia menyempatkan diri menelepon Harlan di sela kesibukannya, ia sedang libur karna harus bekerja 2 kali lipat, disebabkan ia harus mengerjakan pekerjaan milik Zaki juga.

"Lagi masak ni bang" ucapnya mengaduk, daging dan sayur yang ia masak menjadi tumis daging sapi.

"Jangan lupa minum obat, lansung istirahat lan ga usah begadang" ucapnya tangannya masih mengetik di komputer kantor.

"Iya bang, Abang masih kerja?" Dapat Harlan dengar sayup sayup suara ketukan dan gresak grusuk, karna Dikta menjepit handphone dengan dagu dan bahunya.

"Masih, tapi Bentar lagi pulang, pokoknya lu jangan lupa minum obat" ucap Dikta mengulang perkataannya tadi.

"Iya bang" sahut Harlan.
Tanpa mengatakan apa apa, Dikta lansung mematikan sambungan.

****

Gina duduk di ruang keluarga dengan kedua orangtuanya, menonton film bersama, ia menyendokkan es krim Haagen Dazs dengan pandangan fokus kedepan.

"Ga mungkin si garret yang bunuh, jelas jelas dia udah mau perbaiki rumah tangga dia" pendapat Johan.
"Ya kan tapi masih ada paket narkoba di bawah ranjangnya." Salsa memberi balasan.

"Ih greget banget sama si Lee itu bisa bisanya ya Allah" kesal gina menggigit sendok.
"Bingung ah nontonnya" eluh gina karna film Don't let go yang membuat gina pusing.

Dikta tiba tiba duduk di samping gina bersandar penuh pada sofa.
"Abang, mama udah siapin makan ya di meja makan" ucap salsa, Dikta mengiyakan tapi ia masih belum bergerak mendengar dialog film berbahasa Inggris itu.

"Aaaa" teriak gina saat adegan pembunuhan terjadi.
Lalu Dikta tertarik dan ikut menonton.
"Pasti pelakunya bukan orang lain" sangka Dikta, lalu ia berlalu ke meja makan.

"Bisa jadi, menurut mama sama adek siapa?" Tanya Johan ia setuju dengan dugaan Dikta.

Dikta membuka jasnya, di letakkan di sandaran kursi, lalu menyendokkan lauk ke dalam nasi yang telah salsa siapkan.

Sup daging, sayur tumis, ikan salmon grill, ia masukkan ke dalam piringnya.

Suapan demi siapa ia kunyah, melirik ke arah salah satu kursi dari meja Kana yang cukup luas itu, yang dulunya di kursi itu di duduki oleh adik laki lakinya.

Mata ia pejam membayangkan masa kecil mereka walaupun terkesan cuek pada adik laki-laki nya itu, tapi mereka cukup akrab.

Harlan salah satu dari mereka yang sering bercerita selama makan, ia juga yang paling antusias mendengar cerita dari satu sama lain.

Kehangatan yang lengkap itu telah sangat lama tak Dikta rasa, tapi kerinduannya itu sedikit terobati saat ia makan bersama Harlan akhir akhir ini.

Saat kenangan indah terputar di otak nya, tiba tiba gak mengerikan membuatnya takut, fakta bahwa adiknya tidak sesehat dulu, dimana adiknya perlahan akan semakin sakit dan fakta yang sangat ia takuti benar benar menyiksanya.

"Bang" tegur salsa.
Melihat putranya memejamkan mata dan tertunduk, lalu ia membuka mata, mata merah sepasang bola mata Dikta membuat salsa mengira ia kelelahan.

"Ya Allah bang kamu ketiduran? Udah kamu istirahat di kamar aja, pasti capek abis lembur" ucap salsa ia menangkup wajah Dikta.

Dikta mengangguk, mengambil jasnya dan naik ke lantai dua.
Setelah membuatkan suaminya kopi salsa kembali ke ruang keluarga.

"Abang udah duluan istirahat ya?" Tanya Johan pada salsa, yang diangguki.

"Iya, kasian tadi dia ketiduran di meja makan" ucapnya, sesuai dari apa yang ia lihat.

"Hah yang bener ma?" Gina tentu terkejut, karna selama ini Dikta tak pernah ketiduran di tempat seperti itu walaupun begadang sampai pagi.

"Iya dek, yaudah mama suruh tidur duluan" salsa duduk kembali disebelah Johan, yang merangkulnya.

"Ga papa anak muda emang gitu, namanya kerja keras kan" ucap Johan tapi sebenarnya ia ikut memikirkan, betapa melelahkannya Dikta yang merintis karir di usia muda.

Di dalam kamar Dikta segera mandi membersihkan diri.
Ia mengecek beberapa berkas kantor sebelum menjatuhkan dirinya di kasur empuk.
Menyelami dunia mimpi, sebelum memulai hari kembali di keesokan harinya.

****
Maaf ya kalo telat.
Hidup lagi cape capenya, iman lengah dikit bisa tiada. Hahahhahah

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang