Setelah sholat dalam keadaan duduk di bangkar Harlan berdoa dengan khusyuk, ia memejamkan matanya lama.
Dikta melihat itu dari sofa, lalu senyum Harlan ia dapatkan.
"Udah, lu istirahat lagi" ia bangkit dan menyelimuti adiknya sebatas dada.
"Ga boleh tidur Bang abis subuh" ucap Harlan pelan.
"Lu semaleman ga tidur" ucap Dikta setelah menghela nafas singkat.
"Nanti aja ya" dengan sabar Harlan menolak, ia paham betul sifat Dikta yang keras kepala dan selalu ingin Di dengar.
Dikta mengangguk pelan, ia tak ingin membebani adiknya, walaupun ingin rasanya memaksa.
Mata Dikta menoleh ke arah handphonenya yang memunculkan notifikasi.
Ia berdecak.
"Abang pulang aja, Harlan bisa sendiri kok" tau Dikta yang sibuk Harlan tentu sadar diri."Gak, nanti gua pulang" ia mematikan layar handphonenya, lalu memfokuskan perhatiannya pada Harlan.
Dengan sedikit kaku, Dikta mulai memberikan perhatian kecil.
"Ada yang sakit ga?" Tanyanya dengan pelan, Harlan terlihat tersenyum tipis, dengan rasa syukur dalam batinnya."Alhamdulillah ga ada" ucap Harlan, membuat Dikta mengangguk.
Lama mereka sama sama terdiam, Tak ada yang berbicara, lalu ketukan pintu terdengar.
"Permisi, ini sarapannya" ucap seorang pramusaji, membawa troli berisi makanan berat, minuman dan cemilan sehat untuk Harlan.
"Makasih ya buk, semangat" ucap Harlan melambaikan tangan, wanita yang lebih tua itupun membalas.
"Gua suapin" Dikta membuka lapisan plastik wrap, dengan telaten mengaduk bubur hangat dan meniupnya pelan. Ia menyodorkan pada Harlan, tanpa sepatah katapun.
Harlan menerima dengan senang hati, walaupun rasa tak nyaman ia terima dilidah, yang terasa pahit, dan tak nikmat sedikitpun, ia tutupi dengan senyum manis.
Setelah menyuapi Harlan sampai habis, Dikta membantu Harlan minum, ia juga mengupaskan apel untuk Harlan.
Setelah selesai, ia membereskannya lalu dering ponsel terdengar.
Dikta menjauh dari Harlan dan mengangkat telepon.
Pandangan Harlan mengikuti punggung tegap kakaknya yang telah tertelan pintu, lalu ia mengalihkan ke jendela di sisi lain.
Tak lama berselang Dikta kembali, ia mengambil kunci mobil dan barang barangnya yang lain, Harlan tau kakaknya itu akan pergi.
"Nanti gua ke sini lagi" ucap Dikta sembari mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Iya bang" sahut Harlan, ia paham betul jika Dikta sedang sibuk dan tidak sempat menemaninya, bahkan ia tidak berharap, sepertinya.
"Hati hati bang" ucap Harlan sedikit keras saat Dikta hampir menutup pintu.
Dikta hanya mengacungkan jempol.
***
Di sisi lain Gisel yang sedang di antar ayahnya ke sekolah, ingin sekali menanyakan suatu hal perihal Harlan.
Tapi ia urung, ia kembali terbayang betapa marahnya Johan hari itu, karna itulah Gisel sering takut, dan resah tiba tiba saat melihat atau akan melakukan sesuatu yang salah.
"Kamu kenapa melamun sih nak" Johan mengelus rambut putrinya lembut.
Gisel tersenyum pada ayahnya, lalu menggeleng.
"Ga papa kok yah" sahutnya, Johan mencubit gemas pipi putrinya, dan Gisel hanya mengaduh."Belajar yang rajin nak ya, nanti ayah jemput" ucap Johan mencium pucuk kepala putrinya, saat putrinya mencium tangannya.
"Iya ayah, adek pamit ya" lalu mereka saling memberi lambaian tangan.
***
Ternyata ucapan Dikta bukan lah omong kosong belaka, ia benar benar mengunjungi Harlan di sela sela kesibukan yang sangat padat hari ini.Ia bahkan masih harus memandang tablet beberapa saat.
Setelah makan siang bersama ia Lalu mulai menanyakan kondisi adiknya, dan mengecek secara lansung, ia juga memeriksa kulkas yang akan ia isi.
"Lan lu kalo laper, ni ada makanan" Dikta menunjuk ke kulkas yang isinya tidak terlalu banyak.
Harlan mengangguk.
"Nanti lu minta panasin aja sama perawat" lalu Dikta menutup pintu kulkas."Obat udah lu minum?" Tanya Dikta tepat setelah ia melirik jam di tangan kirinya, saat menutup kulkas.
Harlan terlihat berfikir.
"Belum deh kayanya" ucapnya pelan dengan penyesalan, takut Dikta kembali marah."Lupa Mulu" Dikta menghela nafas dan membaca list di handphonenya yang tertulis jadwal dan obat apa saja yang di konsumsi Harlan.
"Ni minum" beberapa obat dengan ukuran cukup besar itu ia terima dan ia telan dengan bantuan Dikta yang memberi air.
"Abis ini lu istirahat"ucap Dikta dengan sedikit penekanan.
Harlan mengiyakan.
***Dering telepon kantor milik johan terdengar, ia awalnya ingin mengabaikan karna sedang sibuk dengan lembaran kertas yang menumpuk, tapi entah kenapa ia mengangkat telepon tersebut.
Pembicaraan singkat tersebut berhasil membuat hati Johan berdenyut nyeri, ia segera menelepon seseorang, tak lama ia mendapatkan akses cctv ruangan seseorang yang ia minta.
Sepanjang hari Johan bekerja di iringi mengawasi seseorang yang yang menghabiskan waktu dengan berbaring.
Tapi saat ia menoleh sejenak, ia kembali memfokuskan perhatiannya pada layar yang menampilkan seseorang yang terjatuh dari baringannya,yang ia duga ingin bangun dari tempat berbaring untuk ke suatu tempat.
Johan terlihat panik, ia segera menelepon staf rumah sakit untuk mengecek keadaan pemuda itu. Yang terlihat dengan santai mendudukkan dirinya dan membantu meluruskan kakinya menggunakan tangan.
Tak lama beberapa perawat datang, membantunya dengan senyum manis ia menyambut perawat yang terlihat buru buru.
"Saya ga papa, makasih ya" ucap pemuda itu seusai di bantu kembali berbaring seperti semula, ia juga telah menjelaskan kenapa ia terjatuh.
Saat perawat memasangkan infus lain di tempat yang berbeda karena terlepas saat ia terjatuh.
"Mas kalo ada apa apa, pencet aja tombol ini" perawat tersebut menunjukkan
Johan menghela nafas lega saat menyaksikan interaksi orang yang ia perhatikan sedari tadi.
****
"Lu ga papa?" Tak berselang lama Dikta menelepon, ia tau kabar Harlan dari perawat yang ia titipkan Harlan.
"Ga papa bang" sahut Harlan seadanya.
"Ga usah bohong" suara Dikta terdengar berbeda nada ketus di bumbui rasa khawatir sangat kentara terdengar."Insyaallah" Dikta menghela nafas, jawaban Harlan membuatnya kembali gusar.
"Gua mau pulang, lu mau nitip apa?" Tanya Dikta menutup ruangan kerjanya lalu berjalan keluar."Ga usah bang, hati hati di jalan" ucap Harlan dengan nada khasnya yang membuat hati Dikta menghangat, walaupun tak bisa ia sangkal tentang perasaannya tapi ia tetap menunjukkan sikap dingin dan acuh tak acuhnya.
"Eum, tunggu gua" ucapnya dan mematikan sambungan sepihak.
Sekitar setengah jam kemudian Dikta membuka pintu, dan disuguhkan dengan Harlan yang terlelap, senyum pun Dikta terbit.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah
Randomcerita seorang putra yang ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan keluarga yang telah lama tidak menerimanya.