47

3.6K 323 37
                                    

Jantung Johan terasa terhenti dan dunia seakan bisu, ia terpaku melihat kejadian itu.

Bahkan langkah ringannya tadi kini berat seberat batu.

Ia hanya bisa melihat saat Dikta dan sepasang suami istri membawa putranya ke rumah sakit.

Johan terpaku di sana cukup lama, hingga tetangga Harlan, yang menegurnya dulu saat ia ketempat itu menepuk bahunya.

Kesadarannya kembali.
"Permisi pak, bapak yang kemaren cari Harlan kan?" Tanya ibu dari Naila.

Johan mengangguk.
"Harlan baru aja di bawa ke rumah sakit pak, sama abangnya." Ucap ibu Naila, tentunya Johan tau.

"Bu, jika saya boleh tau. Gimana ceritanya Harlan sampe seperti itu Bu?" Tanya Johan pelan, ia telah memikirkan kita kita pertanyaan itu bisa ia tanyakan atau tidak.

"Maaf pak, saya rasa saya ga punya hak untuk cerita." Ucap wanita itu, tentu ia lebih memilih jalan aman, mungkin saja pria didepannya bukan orang baik, atau entah lah ia juga bingung.

"Baik jika seperti itu, saya permisi" wanita itu hanya mengangguk. Johan segera masuk mobil, ia mengendarai mobil keluar dari gang.

Sembari menelepon seseorang.
"Periksa IGD, kabarkan kalau ada pasien atas nama Harlan...." Entah apa kalimat lain yang Johan ucapkan.

Ia segera ke rumah sakit, menunggu di parkiran khusus, hingga ia menarik nafas panjang dan keluar.

Johan menekan tombol lift, ia menerima telepon dari orang yang ia telepon tadi.

"Baik, tolong di pantau. Kasi dia pelayanan terbaik." Johan lalu mematikan sambungan sepihak.

****
Sampai tengah malam pun, Harlan masih belum tersadar, Dikta khawatir.

Ia sering memanggil dokter yang berjaga di IGD, pastinya mereka tidak bisa menolak walaupun Dikta tidak henti hentinya meminta adiknya di periksa.

Saat malam semakin larut, Dikta semakin risau akan Harlan yang masih belum sadarkan diri.

Hingga perasaan tak nyaman dihatinya, membuat Dikta berfikir untuk mengabarkan seseorang, yang sekiranya bisa membantu khawatirannya.

Saat ia hendak menelepon, Harlan tiba tiba mengerang kesakitan.
Dikta tersentak, ia melihat Harlan sedang menangan sakit, matanya masih belum terbuka.

Saking terburu burunya, ia hampir menabrak apapun di hadapannya.
Saat seorang dokter muda wanita, dengan rambut pendek, ia temukan Dikta segera meminta tolong.

Dengan sigap wanita itu memberi penanganan, ia menyuntikkan anti nyeri ke bagian infus di punggung tangan Harlan.

Ia juga membenarkan posisi masker oksigen di wajah Harlan, terlihat embun di masker oksigen yang hilang dan kembali sesuai dengan irama pernafasannya yang sedang cepat.

Wanita itu juga mengecek lajunya oksigen.

"Pak, pasien masih belum sadar, tolong di awasi pak ya" ucap wanita itu, ia menunggu hingga Harlan kembali tenang.

Dikta mengangguk dengan sangat pelan.
"Terima kasih, dok" wanita itu tersenyum, walaupun tatapan Dikta pada Harlan.

"Tidak masalah pak, permisi" ia pamit, Dikta kembali duduk.

Untungnya, Dikta tidak memaksa masuk ke ruang. Karna Harlan belum cukup stabil, ia juga merasa lebih baik berada di IGD sementara.

Tangan Dikta mengusap rambut lepek Harlan, ia juga menggenggam tangan Harlan.
Rasa hangat menjalar di tangannya, seakan penawar rasa khawatirnya, ia kini merasa lebih baik.

langkah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang