Enam Belas

20.3K 940 16
                                    

Hari kedua setelah putusan pernikahan Elea dan Andrew, mereka dipaksa keadaan untuk mengurus pengajuan menikah sebelum Kakek Elea, Adiwilaga akan di sibukkan oleh urusan pemilu. Andrew mau tidak mau harus tetap mengawal kemanapun atasannya itu walau dia akan menikah dengan cucunya.

"Mah izin mau pengajuan." pamit Andrew. Dirinya berangkat dari rumah.

"Iyaa, hati hati ya. Sabar Andrew, harus sabar."

Omongan mamanya kali ini mengartikan banyak makna. Dirinya memang dituntut sabar menghadapi Eleanor Tacenda. Andrew memang tau mamanya tak mengeluh atas sikap diluar dugaan Elea. Tapi Andrew tau mamanya memikirkannya semalaman atas sikap Elea.

Menjemput Elea di Tacenda 1 yang masih banyak para Tacenda stay disini.

"Ck. Elea Elea. Baju kamu itu loh." tegur Adrian. Dirinya ini juga dimiliter. Banyak adik asuh yang meminta pengajuan ke dirinya tapi ia baru liat modelan calon istri pajurit macam Elea. Menter untuk sebuah pengajuan dan beda. Berani pakai tas hitam birkin, padahal bukan itu tas untuk pengajuan. Tas seharga mobil dia bawa.

"Why? cantik kan? nggak usah di protes. Kakekku Adiwilaga." jawabnya sebelum masuk ke mobil Pajero hitam milik Andrew.

"Benar benar unik."

Langsung seketika Elea duduk

"Harus banget gue pake baju kaya gini?" tanya Elea.

"Saya yang harusnya bertanya, kenapa kamu harus memakai baju seterbatas itu?" tanya Andrew kembali. Baju Elea ini sepertinya ia kecilkan jadi tak seperti baju persit hijau pada umumnya. Rambut yang dia tata rapi tapi jepitnya itu yang bikin salfok berkilauan.

"Suka suka lah, mau gue pake baju gimana aja pasti pengajuan kita juga disetujui." ucap Elea percaya diri. Dan itu fakta. Siapa yang akan mengganjal cucu Tacenda?

"Elea, semua sudah ada aturannya. Sebatas apa roknya, seukuran apa baju dengan badannya. Rambut kamu juga, kenapa jepit seperti itu?. Saya tau kamu bakal diterima pengajuan bagaimanapun sikap kamu. Tapi kamu juga harus ingat, saya yang bareng kamu." lanjutnya mengoreksi pakaian Elea.

"Terus kenapa kalau bareng lo? mau kaya Tacenda. Pamor, kekuasaan, hormat yang dipikirin? muak tau nggak hidup kaya gitu gitu terus." balaa Elea.

"Gue nggak mau hidup kaya gitu lagi."

"Kamu bisa pahami kata kata saya tidak? jelas lah saya bilang seperti itu karena kamu bawa nama Tacenda dan sekarang bawa nama saya. Setidaknya kamu menghargai diri kamu sendiri dulu." jelas Andrew, faktanya memang seperti itu. Pandangan orang lain juga penting.

"Ck, lo semua sama aja."

Dirinya sudah cukup tertekan dengan keluarganya yang hanya memikirkan posisi dan posisi. Kenapa kakeknya harus maju pemilu? kalau tidak kan kalau dia sebatas petinggi saja tak mungkin tersorot banyak media.

"Elea bisa berhenti menggunakan kata lo gue? telinga saya sakit mendengarnya." tegur Andrew sudah habis kesabaran. Elea ini akan terbiasa memanggilnya atau bahkan orang lain dengan lo gue kalau tidak ditegur.

"Ck, ngurusin banget sih."

"Kamu memang sudah seharusnya sopan ke saya."

"Makin sering kita debat makin sebel gue sama lo tau nggak? jadi, jangan komentarin apa yang harus gue lakuin. Tenang aja, gue lebih dari paham untuk nggak malu maluin didepan orang luar." balas Elea.

"Terserah." Andrew tak akan bisa menang melawan Elea sekarang karena dia belum punya hak. Kita lihat kalau Elea sudah menjadi bagian dari dirinya tak akan ia biarkan dia berani berucap seperti itu.

𝓗𝓪𝓻𝓶𝓸𝓷𝔂 𝓛𝓲𝓵𝓽  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang