Cordelia merasakan napasnya berdesir di balik masker hitam yang menutupi separuh wajahnya. Malam telah begitu larut, hanya gemerlap bulan dan bintang yang menyaksikan upaya menyelinapnya malam ini. Dengan hati-hati, ia mengikuti jalur yang terbentang di hadapannya, tali yang panjang yang telah dipersiapkannya dengan cermat membantunya menyelinap dari balkon kamar ke bawah.
Sudah satu minggu berlalu sejak berakhirnya pesta perjamuan kacau itu. Tadi sore, Cordelia mendapat sebuah surat rahasia yang dikirim oleh sahabatnya, Everyl, melalui pelayan pribadinya.
Del, gue yakin ada keterlibatan penyihir hitam dalam kasus-kasus penculikan anak yang terjadi belakangan ini. Gue mutusin buat menyelidiki ini lebih lanjut. Karena itu, gue minta bantuan lo. Kita bisa bekerja sama untuk mengungkap kebenaran di balik semua ini. Kita bergerak malam ini, jam 11 malam. Gue tunggu di gang sempit ke permukiman kumuh.
Gue tau lo bakalan menentang rencana gue ini, tapi gue harap lo mau gabung sama gue. Tapi, kalo lo mutusin buat gak datang, gue tetap bakalan ngelanjutin rencana ini.
Eve
Cordelia membaca surat itu dengan perasaan campuran antara kekhawatiran dan keputusasaan. Dia tahu betul bagaimana Everyl-temannya yang keras kepala itu-tidak akan mundur begitu saja dari rencananya. Setiap kali Everyl telah mengambil keputusan, tidak ada yang bisa mengubah pikirannya. Ini adalah salah satu sifat yang membuat Cordelia mengaguminya, meskipun kadang juga membuatnya frustasi.
Sambil menghela nafas dalam-dalam, Cordelia menyadari bahwa tidak ada opsi lain selain ikut dalam rencana ini. Melindungi Everyl dan dirinya sendiri adalah prioritas utama, terlepas dari betapa berbahayanya situasi ini. Dia memutuskan untuk menemui Everyl di tempat yang telah ditentukan, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran akan apa yang mungkin terjadi.
Cordelia berjalan perlahan menuju titik pertemuan yang telah mereka sepakati. Ketika ia tiba di gang sempit menuju daerah pemukiman kumuh, Everyl sudah menunggu. Wajahnya yang biasanya cerah terlihat tegang di balik cahaya bulan yang samar. Di punggungnya terlihat sebuah busur panah lengkap dengan anak panahnya.
"Lo udah datang," sapanya pelan begitu Cordelia mendekat.
Saat sampai tepat di depan Everyl, Cordelia tiba-tiba saja menjentikkan dahi gadis berambut coklat gelap itu dengan jari telunjuknya yang ramping, membuat Everyl terkejut dan mendengus kesakitan.
"Apaan sih?!" bentak Everyl, merengut kesakitan.
"Lo udah gila ya? Mau menyelidiki ini sendirian?! Sebenarnya kenapa lo tiba-tiba pengen cari tau tentang penyihir hitam? Kita kan bisa lapor ke pihak berwenang atau minta bantuan sama kakek lo."
Wajah Everyl menggelap, dan matanya menatap tajam Cordelia. "Gue punya urusan pribadi sama mereka. Dan gue sendiri yang bakalan menghentikan mereka."
Cordelia menggeleng keras. "Tapi-"
"Lo datang ke sini, berarti lo udah setuju sama rencana gue kan. Kalo lo masih mau ngomel, mending lo balik aja. Biar gue yang gerak sendiri," potong Everyl tegas.
Cordelia menatap Everyl dengan intensitas yang sama. "Nggak! Gue bakalan ikut. Gue gak bakalan biarin lo gerak sendirian!"
Cordelia menghela napas, tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah pikiran Everyl saat dia sudah mengambil keputusan. Dia mengangguk pelan, lalu menatap ke dalam gang. "Oke, sekarang kita harus apa?"
"Kita patroli di sekitar pemukiman kumuh. Penculik itu pasti bakalan muncul, setelah itu kita ikutin mereka ke markasnya," ucap Everyl sambil memberikan sebilah pisau belati pada Cordelia.
Cordelia mengernyit. "Kalo mereka nggak muncul-muncul gimana?"
"Kita lanjut besok malam," Everyl menjawab tanpa ragu. "Dasar gila," keluh Cordelia, merasa kelelahan untuk berselisih pendapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVELIA : Behind 'The Secret'
Historical Fiction"Mari kita bertunangan, Your Grace" "Mari kita batalkan pertunangan ini, Your Highness" Kedua gadis yang berada dalam dua kondisi berbeda, membuat mereka bertindak tidak seperti 'diri' mereka sendiri. Ivana dan Adelia menyadari bahwa keduanya masuk...