"Ayo kita batalkan pertunangan ini, Your Highness."
Netra merah pekat itu menatap lekat pada sosok tegap di hadapannya. Tatapan tak gentar menjelaskan betapa ia serius pada perkataannya. Pria itu masih belum membalas dan kembali menyeruput teh hambar yang sudah mendingin. Surai sehitam malam itu bergerak mengikuti arah angin yang membuat keindahan sosok tersebut semakin terpancar. Gadis itu menelan ludah dengan kasar, tanpa sadar ia menggenggam erat gaun dibawah meja dan membiarkan teh yang juga disajikan untuknya mendingin tanpa disentuh sedikitpun.
"Jika ini adalah salah satu caramu untuk menarik perhatianku, maka kau berhasil. Sayangnya ini saja tidak cukup untukku bisa melihat kearahmu." Pria itu berujar tajam. Netra keemasannya memandang datar pada gadis itu, lalu meletakkan cangkir teh yang sudah habis di atas meja bulat di depannya.
"Aku sama sekali tidak akan memaafkan candaan ini, Cordelia."
Gadis bernetra merah pekat itu mengangkat cangkir tehnya, kemudian menuangkan seluruh isi didalamnya ke tanah.
"Saya sudah mengatakan hal yang harus saya katakan. Karena teh saya sudah habis, saya pamit undur diri, Your Highness."
Tanpa menunggu jawaban dari pria yang ada di depannya, gadis bersurai ungu gelap itu memberi salam terakhir sembari tersenyum tipis lalu melenggang pergi begitu saja.
"Cordelia!"
Tak ada jawaban dari sang gadis, ia terus melangkah pergi mengabaikan panggilan dari arah belakang. Ia tersenyum, lalu berbisik tanpa ada satupun orang yang dapat mendengar selain dirinya.
"Lagipula... Pemeran utama tidak ditakdirkan bersama penjahat."
"My Lady, saya mohon untuk berhenti melakukan ini. Saya tidak ingin merepotkan Anda." Pria dengan surai silver serta netra ungu itu mencoba protes dengan lembut pada seorang gadis yang terus-terusan berusaha mendekatinya secara terang-terangan bahkan meski sudah ia tolak.
Sudah beberapa minggu sejak gadis itu tiba-tiba mengatakan ingin bertunangan dengannya. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah sama sekali berbicara atau bahkan bertemu selain karena ketidaksengajaan ataupun untuk acara formal saja.
Dengan wajah lembut, surai cokelat gelap seperti batang kayu yang kokoh dan netra hijau muda layaknya tunas daun, seharusnya tidak sulit untuk gadis itu mendapatkan pasangan. Namun, mengapa ia sangat ingin bersamanya?
"Apa maksud Anda, Your Grace? Saya sama sekali tidak merasa direpotkan. Memasak adalah kegemaran saya akhir-akhir ini. Jadi saya ingin membagi cita rasa yang sudah saya buat kepada orang-orang termasuk Anda. Anda juga dapat membaginya pada para ksatria. Saya pikir ini cukup banyak jika hanya dimakan seorang diri."
Senyum simpul tercipta. Namun pria itu masih juga memandang dengan penuh perasaan tidak nyaman. Bukannya biskuit-biskuit yang ia bawa ini tidak enak, tetapi hatinyalah yang tidak enak karena seorang gadis terus berusaha mendapatkan perhatiannya, namun sama sekali tidak dapat ia balas.
Ia menghembuskan nafas pelan, lalu memberikan keranjang itu pada seorang pelayan untuk dapat dibagikan pada kesatria lainnya.
"My lady, saya sungguh berterima kasih atas kemurahan hati Anda selama ini. Tetapi saya tidak dapat terus-terusan menerima ini ataupun perasaan Anda. Saya tidak bisa bertunangan dengan Anda." Ia berujar pelan dengan ekspresi kelelahan. Kedua alis tebal itu bertaut seperti seekor anak anjing yang memohon pada tuannya. Ia juga merasa bersalah telah mematahakan hati dari sang gadis. Sungguh ia tidak bermaksud seperti itu.
Di luar perkiraan gadis itu malah tertawa.
"Anda tidak perlu merasa sungkan, Your Grace. Bahkan jika tidak sekarang, saya akan memastikan perasaan Anda itu untuk saya. Seiring berjalannya waktu, itu pasti akan terjadi."
Tatapannya berubah serius.
"Lagipula... Anda bukan pemeran utama prianya."
17/08/22
KAMU SEDANG MEMBACA
EVELIA : Behind 'The Secret'
Ficción histórica"Mari kita bertunangan, Your Grace" "Mari kita batalkan pertunangan ini, Your Highness" Kedua gadis yang berada dalam dua kondisi berbeda, membuat mereka bertindak tidak seperti 'diri' mereka sendiri. Ivana dan Adelia menyadari bahwa keduanya masuk...