CHAPTER 15

323 41 4
                                    

Warna langit yang semakin gelap menunjukkan bahwa tengah malam benar-benar akan datang. Itulah saat menerbangkan lampion yang ditunggu banyak orang.

Everyl menarik tangan Aeron hingga keduanya sampai di tengah jembatan yang dibawahnya terdapat air yang mengalir seperti sungai kecil dengan beberapa gondola berisikan pasangan dengan lampion di tengah mereka. Begitu Pula dengan Everyl dan Aeron. Tepat sebelum mereka tiba di jembatan, keduanya— atau lebih tepatnya Everyl memaksa untuk membeli lampion agar bisa diterbangkan bersama.

Everyl dan Aeron masing-masing memegang selembar kertas dan pena serta sebuah lampion untuk mereka terbangkan saat waktunya tiba. Menurut tradisi, hanya kekasih atau orang terdekatlah yang menggunakan lampion satu untuk berdua. Namun karena hubungan mereka bukanlah salah satu dari keduanya, mereka akan menerbangkan lampion itu sendiri-sendiri. Yah, meski tentu saja Everyl sangat ingin mengatakan bahwa seharusnya mereka menerbangkannya berdua. Tapi kali ini ia memutuskan untuk mengalah dan mulai memperlambat langkahnya. Bagaimanapun ia harus bisa menahan diri. Bisa-bisa bukannya jatuh cinta, pria itu justru takut dan memandangnya aneh.

"Lad— maksud saya... Eve." Aeron berdehem singkat, menepis rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menghampiri tenggorokannya kala ia memanggil nama depan gadis itu. Ya mau tidak mau ia menuruti permintaan Everyl karena mereka sedang dalam penyamaran.

Everyl menoleh sambil tersenyum, menunggu kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan pria yang ada di hadapannya itu.

"Anda bisa menitipkan lampion Anda pada saya dan menulis surat permohonan dengan nyaman," ujarnya.

"Ah, terima kasih, Ron."

Tanpa berpikir panjang, ia segera memberikan benda itu karena ia akui memang sulit memegang semuanya seorang diri.

Tanpa sadar Aeron tenggelam dalam senyuman manis milik gadis itu yang tak kunjung hilang sedari tadi. Ia terus memperhatikan wajah manis itu kala sang gadis mulai menunduk untuk menuliskan permohonannya di sebuah kertas dengan tumpuan pegangan jembatan. Beberapa helaian rambut coklat tua itu jatuh menutupi sebelah wajahnya. Satu terpaan angin yang sedikit kuat menyibak tudung di kepala gadis itu hingga terbuka, membuat rambut yang terurai itu semakin terkibas terkena angin. Kini seluruh rambut gadis itu terbawa mengikuti arus angin malam, menambah indah rupa miliknya.

Lengan yang ditutupi sarung tangan hitam perlahan terangkat untuk mencoba menyelipkan beberapa helai rambut itu ke belakang telinga sang gadis. Hal itu tentunya membuat keduanya sama-sama tersentak kaget dan membeku di posisi masing-masing. Netra hijau cerah itu bergerak beriringan dengan pergerakan kepalanya untuk menatap lekat pemilik tangan yang sudah menggantung di belakang telinganya.

Cukup lama keduanya saling bertatapan, hingga salah satu dari keduanya tersadar kembali. Aeron. Pria itu tersadar dari lamunannya dan segera menyingkirkan tangannya sembari meminta maaf.

"S-saya mohon maaf. Saya tidak bermaksud unt—"

"Tidak apa-apa."

Everyl berdehem singkat dan kembali menghadap ke arah pegangan jembatan dengan perasaan berbunga yang masih menyelimutinya. Tidak ia sangka Aeron akan melakukan itu. Ia menunduk pelan dan segera melipat kertas permohonan yang kebetulan sudah selesai ia buat untuk kemudian diikatkan pada lampion yang saat ini dipegang oleh Aeron.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pria itu segera mengembalikan lampion tersebut kepada pemiliknya. Lalu mulai menuliskan permohonan miliknya sendiri. Baik keduanya tidak ada yang berani memulai pembicaraan karena rasa canggung. 

Waktunya telah tiba. Semua orang mulai menerbangkan lampion masing-masing begitu pula dengan Everyl dan Aeron. Namun keduanya hanya berbicara dalam hati sambil menatap kemana lampion milik mereka pergi.

EVELIA : Behind 'The Secret'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang