Nina bangun dari tidurnya. Biasanya setelah bangun tidur, ia akan masuk dapur untuk membuat sarapan. Namun kali ini Nina memilih melamun menatap atap rumahnya. Nina harap kejadian tadi malam hanya mimpi, karena ketika ia membuka mata tidak ada Juragan Roni di sampingnya.
Nina menyentuh lehernya, ada gelenyar aneh di sana. Nina mengangkat telapak tangannya, memandang lama. Selanjutnya Nina menhendus kasurnya. Tidak, ternyata kemarin malam bukan mimpi. Nina masih bisa merasakan dengan jelas hembusan napas hangat Juragan Roni di lehernya. Nina masih mengingat telapak tangannya yang menangkup wajah Juragan Roni. Nina juga menghirup aroma kayu-kayuan manis dari kasurnya.
Napas Nina memburu. Semalam benar-benar nyata. Nina bangkit tergesa lalu segera masuk ke pawon untuk menyiapkan sarapan untuknya dan neneknya. Setelah makanan siap, Nina memanggil neneknya yang masih tidur untuk sarapan. Nina melanjutkan mandi lalu berkemas pergi ke kebun teh.
"Sudah sarapan Nduk?" tanya Mbah Ami. Nina membalas pertanyaan Mbah Ami dengan anggukan lalu mencium tangan Mbah Ami untuk berpamitan.
Sesampainya di kebun, Nina langsung memetik teh. Namun apa yang Nina lakukan tidak benar-benar bisa dikatakan 'memetik', karena ia hanya memegang tangkai teh dengan melamun.
"Nin!" sapa Gendhis, membuat Nina tersadar dari lamunannya.
"Kau telat," ucap Nina.
"Memang, namun aku ada alasan. Kemarin malam aku habis bertemu dengan Arman," ucap Gendhis, mesem-mesem.
"Sudah berani hanya berdua saja?" tanya Nina.
Gendhis menyenggol lengan Nina, pipinya memerah. "Ada orang tuanya juga," ucap Gendhis. Gendhis menceritakan dengan antusias bagaimana Arman datang ke rumahnya untuk mengajak Gendhis melangkah ke jenjang yang lebih serius. Gendhis tidak tahu Arman akan seberani itu. Arman bahkan tidak memberitahu Gendhis akan datang ke rumah Gendhis bersama orang tuanya.
Tentu saja kedatangan Arman dan orang tuanya membuat orang tua Gendhis kaget. Orang tua Gendhis sempat mendengar bahwa anak perempuan pertamanya dekat dengan pemuda di Desa Uyah, namun mereka belum sempat memastikan hal tersebut pada Gendhis. Saat orang tua Gendhis mengetahui Arman lah orangnya, mereka cukup senang. Arman adalah orang yang baik dan pekerja keras. Beberapa kali Pak Wiro dan Bu Wiro berpapasan dan mengobrol santai dengan Arman. Tutur kata Arman juga sopan, Bu Wiro dan Pak Wiro yakin Arman dapat membimbing dan melindungi Gendhis dengan penuh tanggung jawab.
Saat di rumah Gendhis, Arman dengan sopan meminta Gendhis untuk menjadi pendamping hidupnya. Gendhis bahagia berkali-kali lipat dari biasanya karena sebentar lagi ia akan menjadi istri Arman. Kemarin orang tua Arman dan orang tua Gendhis masih membicarakan tanggal yang cocok untuk pernikahan mereka. Orang tua mereka akan datang pada sesepuh desa untuk mendiskusikan hari baik tersebut.
Nina memeluk Gendhis erat. Mengucapkan selamat berulang-ulang. Air mata bahagia Nina turun, ia membayangkan Gendhis pasti akan sangat bahagia hidup bersama Arman. Ternyata Arman adalah laki-laki yang bertanggung jawab. Arman mempertanggung jawabkan perasannya pada Gendhis dengan menjadikan Gendhis sebagai calon istrinya.
"Ndak usah sedih Nin, aku pasti akan sering ke rumahmu. Aku berencana untuk tinggal di Desa Uyah bersama Arman," ucap Gendhis.
"Aku ndak sedih, aku bahagia karena kau juga bahagia," ucap Nina. Gendhis ikut menangis, ia makin memeluk Nina erat.
"Aku harap kau mendapatkan orang yang bisa menyayangi dan melindungimu juga, Nin," ucap Gendhis.
"Ya Nin, aku pun berharap demikian," ucap Nina.
***
Wih bab 39 ternyata bisa nembus lebih dari 30 vote, walau viewsnya belum 1k. Bab selanjutnya berapa ya? Yuk bisa yuk biar aku makin semangat update 🔥
Kalian bisa bantu merekomendasikan ceritaku ke temen-temen kalian loh 🤗
🌹🌹🌹
Follow akun wp-nya biar nggak ketinggalan update-an!
Terima kasih sudah membaca <3
Jangan lupa tinggalkan komen📱dan bintangnya ⭐
🌹🌹🌹
Pawon = dapur
Nduk = panggilan untuk anak perempuan
Mesam-mesem = senyam-senyum
