Bab 5

7.1K 69 0
                                    

Sejak dini hari Desa Arang diguyur hujan lebat. Hujan berhenti tepat pukul enam pagi. Penduduk yang bekerja di kebun berbondong-bondong memasuki area perkebunan teh. Seorang gadis dengan kaos biru usang dan celana panjang kedodoran berjalan masuk ke area kebun teh. Gadis itu membetulkan capingnya yang miring karena kebesaran. Di belakangnya ada keranjang besar yang ia pinjam dari rumah Gendhis.

Gadis itu sebenarnya ogah melakukan pekerjaan ini. Sejak bangun tidur ia bertarung hebat dengan batinnya. Bukan, bukan bermaksud merendahkan pekerjaan yang memang mayoritas dikerjakan orang-orang yang hanya lulus Sekolah Dasar. Melainkan ini bukanlah pekerjaan yang cocok untuknya, gadis dengan lulusan terbaik di universitas yang sama dengan Gendhis. Harusnya ia menjadi guru, memakai sepatu pantofel hitam, bukan malah sandal jepit.

Tadi pagi neneknya melepas kepergian Nina dengan khawatir. Neneknya tahu betul cita-cita Nina adalah mengajar. Nina senang betul dengan anak-anak, juga senang belajar. Namun apa boleh buat, perjanjian tetaplah perjanjian. Perjanjian yang dibuat lima tahun lalu disaksikan para sesepuh desa. Bapak Nina, Pak Winto melakukan kesalahan yang berakibat fatal. Ia hampir membakar habis pabrik gula milik Juragan Aryo. Rumah yang dulu Nina tempati bersama orang tuanya harus direlakan ke tangan Juragan Aryo. Bapak Nina tidak mampu membayar kerugian yang begitu besar. Alhasil Nina harus pindah bersama nenek dan kakeknya di Desa Uyah.

Awalnya Nina juga diminta menjadi abdi dalem keluarga Juragan Aryo. Bapak Nina menolak mentah-mentah. Sebagai gantinya ibu dan bapaknya harus menjadi abdi dalem seumur hidup, tidak diperbolehkan pulang walau hanya satu hari. Saat itu Nina sudah SLTA, di usianya saat itu ia paham betul orang tuanya menderita. Saat Juragan Aryo masih hidup para abdi dalem diperlakukan kurang baik. Nina bahkan tidak leluasa mengunjungi orang tuanya. Nina hanya diberi waktu bertemu seminggu sekali, itupun diam-diam.

Kebebasan yang Nina dapatkan harus mengorbankan kebebasan orang tuanya. Dengan upah abdi dalem dari orang tuanya, Nina dapat meneruskan hingga sarjana. Hanya itu yang bisa Nina lakukan agar membuat orang tuanya bangga. Pada semester dua di bangku kuliah Nina harus menerima kepahitan, ibunya meninggal. Kata bapaknya, ibunya meninggal karena kelelahan. Nina sedih, ia hampir berhenti kuliah, ingin membantu dan menemani bapaknya menjadi abdi dalem. Bapak Nina tentu saja menentang keputusan Nina.

"Jangan jadikan kepergian ibumu sebagai pemutus cita-citamu Nin. Kamu harus tetap melanjutkan hidup. Aku dan almarhum ibumu tak ingin melihatmu sebagai babu. Pergilah Nin, lanjutkan hidup dan mimpimu."

Ucapan bapaknya masih terngiang-ngiang di kepala Nina. Ucapan itu juga yang menjadi ucapan perpisahan antara Nina dan Pak Winto. Seminggu setelah bertemu Nina, Pak Winto dikabarkan melakukan bunuh diri. Tentu saja Nina tidak percaya. Nina bahkan tak bisa melihat langsung jenazah bapaknya. Ada yang tidak beres dengan kematian bapaknya, pun ibunya. Semua terasa dirahasiakan. Nina merasa hidup dalam tipuan keluarga Aryo. Ia tak pernah mendapatkan penjelasan atas kematian orang tuanya. Abdi dalem juga ikut bungkam.

Nina kira ia akan melanjutkan hidupnya. Ya, ia melanjutkan hidupnya dengan perjanjian bahwa setelah lulus sarjana harus menjadi pekerja keluarga Aryo. Nina menolak menjadi abdi dalem, ia juga tak mungkin berada di pabrik gula. Pabrik gula membutuhkan pekerja dengan fisik yang kuat, mayoritas pekerja di sana laki-laki. Nina tahu diri, ia memiliki badan yang kurus dengan tinggi sekitar 160 cm. Pada akhirnya Nina menyetujui perjanjian sebagai pekerja kebun teh. Menyia-nyiakan ijazah sarjananya.



***


Mari berteman ❤️
Ig baru netes: jiahuha (profil bebek kuning)

Follow akun wp-nya juga biar nggak ketinggalan update-an!

Terima kasih sudah membaca <3

Jangan lupa tinggalkan komen📱dan bintangnya ⭐

Sang Penggoda (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang