Happy Reading
"Lo kayaknya pulang dulu deh, Bi. Pucat banget itu muka. Atau mau gue pesenin kamar di sini?" suara Indah terdengar lembut, tapi penuh dengan kekhawatiran. Pandangannya terpaku pada Bintang, yang sudah sejak kemarin terus berada di rumah sakit. Ia tak tahu kapan terakhir kali laki-laki itu benar-benar beristirahat atau makan sesuatu. Wajah Bintang terlihat kusut, dengan lingkaran hitam menghiasi bawah matanya. Namun, seperti biasa, laki-laki itu hanya menggeleng pelan tanpa berkata apa-apa.
"Aku nggak apa-apa," jawabnya singkat. Suaranya terdengar serak dan lemah, seperti suara orang yang kelelahan, baik secara fisik maupun batin.
Indah hanya bisa menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Bintang sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Belum selesai ia memutar otak untuk mencari cara agar temannya itu mau beristirahat, matanya menangkap sosok Angkasa yang datang bersama dokter. Langkah mereka tegas, tetapi ada kesan berat di wajah mereka.
"Bi, Mas mau ngomong sama kamu," suara Angkasa terdengar datar, namun cukup untuk membuat Bintang mendongak. "Kamu juga, Rin," lanjutnya sambil melirik Rini yang duduk di sudut ruangan.
Rini terdiam sejenak, lalu berdiri tanpa banyak bicara. Tanpa ragu, ia mengikuti Angkasa dan dokter menuju ruangan lain. Bintang dan Indah juga mengikuti di belakang, meninggalkan ruangan Bulan yang sepi. Saat mereka tiba di ruangan baru itu, pemandangan di dalam langsung membuat dada mereka semakin sesak. Ibu, Ayah, dan Awan sudah menunggu di sana, duduk dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Ada apa ini, Mas?" Bintang akhirnya membuka suara. Nada suaranya tegas, hampir menuntut.
Tak ada yang langsung menjawab. Keheningan menyelimuti ruangan, membuat udara terasa berat. Semua orang yang ada di sana menunduk, menghindari tatapan Bintang yang penuh dengan kebingungan dan kecemasan.
Rini, yang merasa suasana semakin aneh, langsung bergerak ke arah ranjang Bulan. Ia meraih tangan adiknya yang terbaring lemah, penuh dengan kabel dan alat medis. Perlahan, ia mengelus tangan itu, lalu menunduk sambil berbisik, "Lan, please bangun. Kakak-kakak lo serem banget ekspresinya sekarang."
Suara kecil Rini terdengar lirih, nyaris tenggelam dalam suara mesin monitor detak jantung. Namun, itu cukup untuk menusuk hati siapa pun yang mendengarnya.
"Trauma di otak Bulan semakin parah," suara Angkasa memecah keheningan, suaranya berat, penuh beban yang jelas tak mudah ia utarakan. Kalimat itu terasa seperti bom yang meledak di tengah ruangan. Semua orang tercengang.
Bintang menatap Angkasa dengan pandangan tak percaya, matanya memerah, dan rahangnya mengeras. "Apa maksudnya, Mas?" tanyanya dengan suara yang bergetar di antara emosi dan ketakutan.
Angkasa menelan ludah, mengalihkan pandangan sejenak sebelum kembali menatap adik-adiknya. Ada jeda panjang, seperti ia sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk menyampaikan kabar buruk ini. "Mas nggak bermaksud menyembunyikan ini dari kalian," katanya pelan, hampir seperti bisikan. "Tapi Mas tahu, Bulan nggak bakal mau terapi, apalagi melanjutkan pengobatannya kalau dia tahu kalian ikut khawatir. Dia nggak mau jadi beban buat kita."
Ruangan itu kembali hening, bahkan suara alat medis di ruangan Bulan pun terasa jauh di telinga mereka. Bintang mengepalkan tangan erat-erat, kuku-kukunya menekan telapak tangannya sendiri, mencoba menahan luapan emosi. Rini, yang sejak tadi hanya terdiam, mengelus tangan Bulan yang dingin, seolah berharap adiknya itu tiba-tiba bangun dan menjelaskan semuanya sendiri.
"Terapinya sudah berjalan sekitar tiga bulan ini," Angkasa melanjutkan dengan suara yang mulai bergetar. "Tapi tadi dokter bilang, hasil terapinya... hanya memperlambat sedikit dari risiko yang ada. Kondisinya semakin memburuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA DARI LANGIT
Teen FictionBulan Putri Galaksi, adalah seorang gadis biasa dengan kemampuan spesialnya yang selalu ia anggap sebagai anugerah tuhan namun menjadi aib di mata orang lain. setelah 3 tahun terkurung oleh masalalu akhirnya ia kembali menghirup Udara bebas, tentu...