Six

2.1K 76 0
                                    

"Permisi" sapa Indri . Gadis berambut lurus sepundak dan selalu memakai anting panjang itu muncul dari ambang pintu kelas Devano.

"Kenapa, Ind?" tanya Kenken yang bertepatan hendak keluar dari kelas.

Tak kunjung menjawab, Indri malah masih sempat melirik kearah Devano yang sibuk beradu argumen dengan Sabrina. Yah, Indri adalah salah satu mantan Devano, tepatnya mantan ke 35 pada periode pertama.

"Oh ya. Disini ada siswi baru ya?" Tanyanya akhirnya. Kenken beroh ria sebelum menunjuk kearah Sabrina yang sedang membelankangi mereka.

"Itu, yang duduk bareng Devano. Brina?" Panggil Kenken membuat gadis itu menoleh ke arahnya.

Sebelum beranjak, Sabrina masih melempar tatapan membunuh pada Devano yang sedang tersenyum menang.

"Kenapa?" Tanyanya setelah berada dihadapan Indri , disusul dengan Kenken yang meninggalkan mereka tuk meneruskan langkahnya menuju toilet.

"Mau gabung ke ekskul kita gak?" Tawarnya dengan senyum mengembang.

"Ekskul apa?"

"Cheerleaders. Gimana? Kan sayang lo cantik, tinggi proposional, juga gue tau udah cari info kalo lo dulu sempet ikut cheers disekolah lo yang dulu" jelasnya.

Sabrina memicingkan satu matanya, seperti ada tanda bahaya jika iya mengiyakan permintaan itu. Siapa lagi jika bukan Tania sang Mama yang akan marah besar nanti, wajar, ia tak boleh kelelahan.

"Gue dulu ikut sebentar doang kok"

"Gapapa, kan disini kita latihan lagi? Please mau ya, apalagi bulan depan ini kita banyak ngisi event" Wajah Indri memelas, sangat kentara dengan wajah mengemis harapannya akan kata iya.

"Jadwalnya gak padet kan?" tanya Sabrina.

"Enggak kok biasa aja, kita latihan setiap hari senin sama rabu, jam pulang sekolah di Aula sekolah. Gimana?"

Maaf mama.

Sabrina mengangguk, membuat Indri seakan menang dan segera mengucapkan banyak terima kasih kepadanya sebelum ia pamit kembali kekelasnya.

"Wih, kurang hebat apalagi coba sahabat gue ini. Cantik, pinter, tinggi, sempurna—." Puji Titha dengan wajah yang tiba-tiba muncul berekspresi mabuk.

"Idih apaan sih alay" celutuk Sabrina yang segera menarik gadis itu keluar kelas tuk diajaknya menuju kantin.

"Iya iya, yang ikutan cheers buat nyemangatin babang Devano maen basket" godanya membuat Sabrina menghentikan langkah.

"Gue gajadi ikut kalo gitu"

***

Sia-sia Sabrina berusaha sekeras apapun untuk menolak, karena ternyata gadis bernama Indri tadi menjebaknya dengan dalih bisa makan bersama dikantin dengan Devano. Membuat Sabrina harus terperangkap didalam Aula sekolahnya.

Devano sengaja menyuruh Indri melakukan hal itu, siapa juga yang tidak mengetahui hal-hal tentang Sabrina kecuali seorang Devano Danendra—Devdanendra yang selama ini Sabrina kenal. Sabrina saja yang tidak tahu rencana si buaya itu.

Inginnya, adalah sebuah kobaran semangat tersendiri saat melihat Bidadarinya sedang menyemangatinya dipinggir lapangan saat sedang berlomba. Indah bukan khayalan Devano.

"Please, formasi kita bakal ngebutuhin lo banget" pinta Indri penuh harap sore tadi.

Sialnya lagi ia tak mungkin bertahan dalam ekskul itu kecuali saat ada seorang yang cidera saat latihan kemarin. Mengalibatkan para anggotanya memaksa Sabrina untuk ikut serta.

Ya sudah, anggap saja Devano makhluk gaib yang tak bisa dilihatnya. Toh, cheers adalah kesukaannya, sejak kecil ia sudah jatuh cinta pada kegiatan itu.

Beruntung sore ini tidak ada anggota basket yang sedang berlatih dilapangan. Jadi setidaknya, emosi Sabrina tak terpancing sepenuhnya.

***

Sabrina menatap bayangan tubuhnya di cermin yang sangat besar yang terletak di kamar, tepatnya di samping rak penuh alat medis miliknya yang sering digunakan tiba-tiba saat Sabrina sedikit mulai kambuh.

Sabrina memerhatikan tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Memperhatikan kaos merah yang dikenakannya yang sepadan dengan rok mini hitam.

Rambutnya yang tadi dikunvir kuda ditariknya, membuat rambut coklat bergrlombang itu jatuh indah dibalik punggungnya.

"Sabrina Dhea Safira. Lo kenapa harus mengalami fase kehidupan kayak gini? Kata orang lo cantik, sempurna?" Ia tertawa miris mengucap kata itu sendiri. "Tapi kenyataannya? Gue gak se sempurna mereka bilang. Lebih baik tidak cantik saja jika disuruh memilih daripada harus memiliki penyakit kronis seperti ini" wajahnya menekuk, memicingkan mata terhadap pantulannya dikaca.

"Tuhan adil ya, manusia gak ada yang sempurna, kekurangan manusia saja yang jarang disadari"

Ucapnya sebelum rongga dada kirinya kembali deperti tertusuk, apa ini!? Jangan sekarang ku mohon.

Dada Sabrina mulai sesak, selalu begini saat iya stress memikirkan sesuatu yang berlebihan. Padahal ia hanya sedang memikirkan ucapan teman-temannya sekolahnya yang selalu memujinya sempurna. Tapi tidak, itu adalah beban bagi pikirannya. Dan jantungnya tak siap menerima adanya beban itu.

"M—mama" ucapnya lirih, sebelum tergeletak dilantai.

***

Because You..Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang