Seven

2.1K 78 0
                                    

Devdanendra :
Gantian kan sekarang lo yang ngilang dari kemaren, kemana aja? Abis jadi abu di film aladdin?

Sabrina masih terbaring lemah di atas kasur kamarnya. Cukup semalam ia berada dirumah sakit sebelum pagi harinya memaksa semua orang agar ia pulang hingga akhirnya pagi ini iya sampai berbaring nyaman pada kasur miliknya sendiri.

Senyumnya memaksa terbut meskipun ketir setelah membaca pesan yang baru saja muncul pada layar notifikasi ponselnya.

Suara pintu yang perlahan mulai dibuka membuat Sabrina menoleh kearah sumber suara, menampilkan sosok Tania yang membawa senampan sarapan untuknya.

"Habis makan, kita minum obat" ujar Tania setelah duduk dikasurnya.

Jika bukan karena ucapannya sendiri yang memaksa keluar rumah sakit semalam dan berjanji untuk benar-benar menjadi anak yang baik dengan rutin makan dan meminum obat sampai tuntas.

Ponselnya segera ia sembunyikan dibalik selimut bahkan sebelum sempat ia membalas pesan dari Devdanendra, karena Tania juga membatasi penggunaan ponsel untuknya selama beberapa hari kedepan.

***

"Hobi sakit banget sih" celutuk Devano, lirih, melirik kearah bangku disebelahnya yang sudah kosong dua hari belakangan.

"Siapa?" Tanya Evan yang ternyata mencuri dengar atas lirihan Devano yang hampir tak bersuara.

"Apa lo?" Bentak Devano, sialnya telinga Evan lebih berbahaya dari ciuman komodo.

"Hmm gitu" Evan bersedekap, bahagia saja melihat Devano tiba-tiba aneh. Ia tersenyum penuh ejek terhadapnya kini. "Yang lo cari ada disono noh" tunjuknya kemudia menunggunakan dagu, kearah beberapa kawan mereka yang sedang bergerombol ditengah pintu.

Devano segera beranjak dari kursinya. Baru saja berdiri, sosok itu masuk ke dalam kelas. Kali ini penampilan sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya, dia mengikat rambutnya kuda.

"Duh, lo gak papakan?" Titha bertanya kepada Sabrina yang kini mereka mulai dikerubungi. Mau tau sebabnya? Tidak lain, dan tidak bukan. Sabrina mulai menjadi Bintang terbaru di sekolah, selain dengan modal kepintarannya--dia juga cantik.

'Sempurna'.

***

"Gue pikir lo gak bakal masuk lagi" lirih Devano seraya mengemas barangnya untuk pulang, mengeluarkan ponsel dari lokernya.

Sabrina yang baru memasukkan bukunyapun kedalam tas spontan menoleh, matanya yang sayu menatap lesu kearahnya.

"Oh, bahagia lo kan emang pas gue gaada ya" Tanggap Sabrina seraya melanjutkan aktifitasnya.

"Sotoy. Emangnya tau darimana gue seneng?"

"Ya, keliatan aja dari tampang-tampang orang jelek kayak lo"

"Padahal gue khawatir ini" tekan Devano membuat Sabrina mengusap kedua telinganya dengan cepat berharap itu hanya suara angin.

"Oh God! Kuping gue gatel ini gak bisa denger omongan buaya jelek. Tenang aja, gue gak bakal kemakan sama rayuan picisan lo itu!" Kedua manik matanya kini melotot, meski kepalanya condong mendongak mengingat Devano lebih tinggi darinya.

"Ck. Kualat lo sama gue!" Devano mendekatkan wajahnya. "Sumpahin cinta mati mau gak ni?"

"Ish, kuping gue infeksi lama-lama!" Sabrina merogoh headphone ditasnya, dan segera menyumbat kedua telinganya agar tak mendengar ocehan Devano lagi.

Devano hanya tertawa geli melihat kelakuan gadisnya itu. Gadisnya? Sorry, tapi memang benar. Devano mengikuti langkah Sabrina keluar dari kelas yang terburu.

Brukkk!

Seseorang tak sengaja menabraknya. Dengan wajah sedikit kesal mulut Devano siap untuk menghujat—oh Devano, yang menabraknya seorang gadis.

"Lo gak ngeliat ada orang jalan gak sih!?" Bentaknya, meski dengan separuh emosi yang masih ditahan.

Gadis itu menatap serius.

Ekspresi yang sudah tertebak oleh respon Devano yang berdecak menatapnya.

Cukup cantik. Tapi persetan. Tatapannya saja sudah tergila-gila dengan Devano pada pandangan pertama.

"Mati suri? Gak minat minta maaf?" Celutuk Devano seraya menjentikkan jarinya dihadapan wajah gadis itu. Membuatnya tersadar dari tatapan kosongnya.

"Eh—maa-maaf"

Puas—mendengar kata itu, membuat Devano melengos dan melanjutkan langkahnya lagi untuk mengejar Ssbrina yang baru saja berbelok pada salah satu belokan didalam lorong.

***

Evan masuk ke dalam kelas dengan buru-buru. Langkahnya gopoh karena ingin segera memberitahukan sesuatu pada teman kelasnya.

"Kalian tau gak!?" Teriaknya memenuhi kelas, saat ia baru sampai dan berdiri didepan bangku Devano. Semua pandangan tertuju padanya.

"Kenapa?" Tanya Juno mewakili.

"Gue baru dapet info nih, anget-anget tai ayam masih"

"Apaan dah cepet!?" Bentak Lala yang sudah lelah melihat kealayannya.

"Sabar dah Lala teletubbies" cibir Evan sebelum melihat situasi luar kelas lalu duduk diatas meja paling pojok depan dekat pintu.

"Anak kepsek! Yang dari Singapore sekolah di sini!"

"Lo kata siapa?"
"Lo gak boong kan?"
"Cewek apa cowok?"
"Kalo cowok ganteng apa kagak?"
"Kalo cewek cantik gak?"

Semua bergantian bertanya. Kebiasaan raqyat milenial. Super kepo.

"Kalo nanya satu-satu napa, set dah! Gue bingung nih mau ngejawab yang mana"

"Evan?" panggil Sabrina seraya melepaskan headphonenya. "Dia cewek apa cowok? Udah kelas berapa?"

"Nah, gini dong kalo nanya! Singkat jelas padat anggun dan juga sopan. Jadi gue gampang ngejawabnya"

"Udah buruan abdul dijawab!" Bentak Ricky dengan melempar bolpoin kearahnya.

"Udah jangan banyak bacot jawab!" Tegur Titha segera.

"Iya iya. Dia cewek! Namanya Dhea salsalova, katanya sih di panggil Dhea, dia udah kelas XII alias sama kayak kita, tapi dia masuk kelas IPS 5"

"IPS 5!?" Sesuai dengan ekspektasi Evan, pasti semua temannya tak menyangka. Heran mengapa gadis itu masuk ke kelas tingkatan terendah di sekolah milik Bapaknya.

"Katanya sih, otaknya cetek. Dia cuma menang cantik aja, jadinya kepsek sendiri yang nyuruh guru masukin dia ke kelas ips 5"

"Ooh..." ucap sekelas kompak.

"Eh Devano! Jangan sampe lo jadiin dia pacar ke 100! Bisa mampus lu di makan sama kepsek!"
Teriak Titha yang disambut tawa semuanya.

"Rese' lo. Lagian gue udah insyaf" jawab Devano seraya bersandar satu lengan diatas meja, yang langsung mendapat sorakan dari teman-temannya.

***

Because You..Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang