11. Obsesi dan Introspeksi

8.8K 607 55
                                    

"Ray, lepasin gue!"

Thalia terus meronta karena tangannya ditarik paksa. Tanpa memedulikan Thalia dengan suara cemprengnya yang memekakkan telinga, Ray terus membawa cewek itu keluar dari gedung sekolah. Langkahnya terhenti di halaman belakang yang kebetulan sepi, lantas menghempaskan tangan Thalia yang sedari tadi ia cengkeram. Thalia memegangi pergelangan tangannya yang sakit.

Ray menatap Thalia tajam. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, menunjukkan video yang beberapa jam lalu diunggah oleh Sierra. "Lo apain Rhea?" tanyanya tanpa basa-basi.

Thalia mengangkat kepala. Ia melihat sekilas layar ponsel Ray, lalu tersenyum sinis. "Lo nggak bisa liat? Gue labrak dia supaya sadar diri!"

"Kenapa lo lakuin ini ke dia, setan!? Lo yang harusnya sadar diri!" Thalia terkejut mendengar pertanyaan kedua dari Ray yang amat menusuk. Lebih tepatnya bentakan, ditambah dengan embel-embel kata "setan". Tanpa ia sadari, air matanya mulai menetes.

"Lo bilang gue 'setan'? Oke, thanks buat panggilan baru lo untuk gue. Gue suka." Thalia tersenyum tipis. "Gue ngelakuin itu karena gue cinta sama lo! Gue nggak mau ada cewek lain yang deket sama lo kecuali gue. Bahkan gue pake baju kayak gini demi lo." Thalia meremas ujung roknya sambil menggigit bibir bawahnya pelan.

"Lo bilang pake baju yang kelewat batas itu buat gue?" Ray mendecih. "Gue bukan om-om di bar yang demen sama cabe-cabean kayak lo, Thal. Gue sama sekali nggak nafsu sama lo."

Plak!

"Dasar cowok brengsek!" Thalia menatap Ray dengan sorot mata berapi-api, kemudian tertawa geli. "Mikir dong Ray, mikir! Gue udah ngejar lo lama. Gue perawatan disana sini sampai habis berjuta-juta, gue diet mati-matian biar nggak gendut, itu semua gue lakuin buat lo. Gue harap lo bisa tertarik sama gue. Tapi apa yang gue dapet? Nggak ada. Lo sama sekali nggak pernah ngelirik gue sedikitpun. Lo malah deketin cewek ganjen nggak jelas itu."

Kening Ray berkerut heran. "Lo perawatan, diet ketat, sama pake baju kurang bahan, semua itu lo lakuin buat gue? Kalo gitu cara lo salah, Thal." Ray menatap Thalia prihatin. "Lo boleh berjuang, nggak salah cewek mengejar. Tapi lo juga nggak boleh terlalu maksain keadaan. Kalo lo kayak gini terus, lo sama aja nyiksa diri sendiri. Kalo nyatanya cowok yang lo kejar nggak bisa suka balik sama lo, mau dipaksa sampe kiamat pun nggak bakalan bisa. Cowok itu banyak, bukan cuma gue. Cinta itu nggak bisa bisa dipaksa. Lo tau sendiri sesuatu yang dipaksa itu nggak baik hasilnya. Sebaiknya introspeksi diri lo dulu sebelum ngehujat orang lain. Lo itu udah kelas dua belas, bentar lagi lulus. Beri teladan yang baik buat adik kelas lo."

"Lo enak ngomong gitu, Ray. Lo nggak pernah ngerasain sakitnya jadi gue. Lo cowok terbrengsek yang pernah gue kenal!"

"Udah tau brengsek, kenapa masih cinta?" Ray berkata dengan nada sedingin sembilu. Diam-diam ia tersenyum samar. Setetes air mata kembali meluncur bebas sampai ke pipi mulus Thalia. Cewek itu mendudukkan dirinya begitu saja di atas tanah, tak peduli dengan seragamnya yang kotor.

"Pergi lo, Ray. Gue benci sama lo." Ray mengangkat bahunya cuek, lantas berlalu meninggalkan Thalia yang masih berlinang air mata.

°°°

Pulang sekolah. Setelah berdoa, murid-murid berhamburan keluar dari kelas untuk pulang ke rumah masing-masing. Mungkin tidak semuanya, karena OSIS dan anggota ekskul lukis dilarang pulang terlebih dahulu.

"Yuk pulang, Rhe!" Diva menggendong tasnya dan sudah bersiap-siap keluar kelas.

"Hari ini kita kan piket," kata Rhea santai seakan melupakan kejadian tadi pagi. Beruntunglah bekas tamparannya sudah tidak terlalu mencolok.

Diva menepuk keningnya dengan ekspresi syok. "Gue males. Kita melarikan diri aja."

"Apa? Gila lo, tau sendiri kan sekejam apa Rizqi sama Raihan kalo menyangkut piket." Rizqi dan Raihan sebagai pasangan ketua di XI-3 sangat ketat dalam hal piket kelas. Mereka menganggap piket adalah salah satu peraturan sekolah yang harus ditaati. Mereka selalu menahan anak-anak yang piket hari itu untuk tidak pulang terlebih dahulu, bahkan pernah menahan Adam yang berniat tidak piket dengan alasan kebelet beol. Rizqi dan Raihan tidak segan memarahi anak buah mereka jika ada yang tidak piket. Mereka juga mengancam akan melapor ke wali kelas jika tiga kali tidak piket. Bagi anak kelas XI-3 lainnya, itu memang sungguh kejam. Tapi bagi Rizqi dan Raihan, itu adalah tugas sebagai ketua yang baik.

"Udah kita kabur aja, mumpung mereka nggak ngeliatin kita." Rhea menoleh menatap Rizqi dan Raihan yang masih membereskan barang-barang mereka. Biasanya Raihan akan berjaga di ambang pintu untuk menahan anak-anak piket yang ingin kabur.

"Oke. Kapan larinya?"

"Sekarang!" kata Diva cukup keras. Kurang dari satu detik kemudian cewek itu berlari keluar kelas, diikuti Rhea yang ikut berlari dengan kondisi belum siap.

"Rizqi, Raihan, Diva sama Rhea gak piket!" teriak Adam yang ada di luar kelas. Rizqi dan Raihan merespon cepat. Mereka segera berlari keluar, melihat Rhea dan Diva sudah menuruni tangga. Mereka mengejar dua anak buah mereka dengan langkah lebar. Rhea dan Diva harus lebih cepat tentunya, terlebih ketua dan wakil mereka adalah anak basket.

"Div, kita lari kemana?" tanya Rhea tegang ketika mereka sampai di halaman tengah. Ia mengedarkan pandangan ke koridor yang berisi lab fisika, lab kimia, dan kelas XI-6. Untungnya pasangan ketua yang sudah mirip iblis itu belum terlihat.

"Ikut gue!" Diva menarik tangan Rhea memasuki sebuah ruangan.

Sementara itu, Rizqi dan Raihan sampai di koridor lab fisika. Mereka berhenti berlari seraya mengatur napas. Mereka menyapu pandangan ke semua murid yang berlalu lalang. Raihan memberi sebuah isyarat pada Rizqi, yang segera dibalas anggukan oleh ketua kelasnya. Mereka berjalan dari satu kelas ke kelas lainnya untuk mencari Rhea dan Diva yang menghilang entah kemana.

"Hah, itu Rizqi sama Raihan!" Rhea berbisik pada Diva yang bersembunyi disebelahnya.

"Lo jangan gerak-gerak, nanti kita ketahuan," balas Diva ikut berbisik.

"Kalian ngapain disini?" Rhea dan Diva mendongak serentak. Anggi menatap mereka heran, tapi nadanya terlihat biasa saja. Rhea dan Diva cengengesan. Mereka masih bersembunyi di balik meja guru.

"Lo pergi aja deh Nggi, kita lagi sembunyi nih." Diva mengibas-ibaskan tangannya mengusir Anggi secara halus. Matanya masih fokus pada luar ruangan dimana Rizqi dan Raihan masih memeriksa seluruh kelas.

"Tapi ini ruang OSIS, dan OSIS mau rapat, harusnya kalian yang pergi." Rhea dan Diva mendongak lagi, mereka menyapu pandangan ke seluruh ruangan. OSIS berhilir mudik di ruangan ini, tak sedikit yang menatap mereka dengan alis bertaut.

Rhea memukul Diva pelan. "Kenapa lo bawa gue ke ruang OSIS?"

"Mana gue tau kalo ini ruang OSIS. Gue kan asal masuk." Diva sedikit memanjangkan leher untuk melihat situasi di luar. Rizqi dan Raihan memutar arah, sepertinya akan kembali ke kelas lagi. Diva menghembuskan nafas lega. Ia berdiri diikuti Rhea yang belum tahu kalau situasi sudah aman.

"Anggi, makasih ruangannya." Diva menarik Rhea untuk segera keluar dari ruang OSIS. Saat mereka akan keluar, Rhea mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Sur, lo sebagai ketua kelas harusnya tegasin Ray. Dia nggak piket hari ini, alasannya nggak jelas banget, katanya lagi galau."

Huuaaaa akhirnya setelah lama nggak update, aku update lagi. Kenapa cerita ini jadi slow update ya? Entahlah, aku sibuk bener sih :'v *gaknanya*. Btw ini juga chap yang pendek, chap yang terinspirasi dari DN, terus nggak ada momen Ray-Rhea nya. Sengaja aku buat gitu sih wakaka :v Oh iya, di mulmed ada Ray sama Rhea. Cocok nggak kalo mereka yang jadi visualnya? Cocokin aja dah yaa abisnya gak ada lagi :'v

9 September 2016

~baebaesohye

Senbazuru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang