26. Ketahuan

6K 449 38
                                    

"Mampir ke rumah dulu, mau?" tanya Ray ketika mereka masih duduk manis di atas motor. Kira-kira sudah sepuluh menit motor besar itu membawa dua insan ini menyusuri jalan raya kota Jakarta. "Ketemu camer."

Rhea menahan tawa mendengar tawaran menarik yang baru saja didengarnya. Camer katanya?

Tapi karena gadis itu juga penasaran dengan semua cerita Ray beberapa menit lalu, ia tersenyum dan mengangguk. "Boleh." Ray ikut tersenyum di balik helm fullface-nya. Ia tidak tahu gadis yang sedang diboncengnya ini kemasukan jin jenis apa, tapi Ray merasa Rhea sudah mulai meresponnya.

Ray membelokkan motornya memasuki gerbang yang sudah dibuka oleh seorang supir. Mata Rhea membulat, menyadari betapa megahnya rumah seorang Reynando Prasraya Mahardika. Halaman depannya memang tidak terlalu luas, namun seakan tertutupi dengan berdirinya rumah besar bernuansa putih disana.

Rhea turun dari motor, masih dengan matanya yang tidak lepas dari rumah di depannya. "Ini bener rumah lo?"

Ray tersenyum geli melihat ekspresi Rhea yang terlihat menggemaskan. Dengan santai ia mengacak rambut Rhea, membuat fokus gadis itu terganti. Lagi, jantungnya mulai memompa dengan lebih cepat untuk kesekian kalinya. "Ayo masuk." Ray membuka pintu dua sisi yang juga berwarna putih, memperlihatkan ruang tamunya yang bernuansa Eropa.

Lengang. Itulah kata pertama yang Rhea pikirkan melihat suasana rumah ini. Seperti tak berpenghuni. Seperti tak ada yang peduli dengan rumah sebagus ini, tapi masih bersih dan terurus. Bahkan lantai ruang tamu ini dingin, seperti tak pernah dipijak selama beberapa bulan. Ruang tamu itu tertata rapi. Meja dan sofa terletak pada tempatnya, bingkai-bingkai kecil berjajar rapi di atas laci. Seakan tidak pernah terjadi sesuatu yang buruk di ruangan ini.

Ketika Ray membawanya keluar dari ruang tamu, yang tampak adalah ruang keluarga. Ada tiga sofa hitam panjang yang disusun membentuk huruf U, dengan meja di tengah-tengahnya. Terdapat TV besar yang menghadap ketiga sofa untuk melengkapi isi ruangan. Ada juga lemari besar di samping TV, berisi benda-benda antik maupun souvenir dari luar negeri.

Rhea berjalan dengan takjub mendekati lemari kaca tersebut. Ia memainkan vas berisi bunga imitasi yang terlihat sangat cantik di matanya. "Ini koleksi lo?"

"Bukan, itu punya Papa." Ray menjawab tanpa melirik lemari yang sedang menjadi objek fokus Rhea. Mungkin laki-laki itu tidak ingin mengingat masa lalunya yang memang tidak bagus untuk dibahas. Rhea mengembalikan benda yang baru ia mainkan ke tempatnya semula.

"Ma." Rhea memutar tubuh mungilnya. Seorang ibu paruh baya tapi masih terlihat cantik turun dari tangga dengan anggunnya. Wanita itu tersenyum menyambut kedatangan putra semata wayangnya. Senyumnya semakin mengembang melihat sosok lain di antara mereka. "Pacar kamu, Ray?"

"Amin," jawab Ray santai. Rhea hanya tersenyum, walaupun dalam hati mengomeli Ray yang seenaknya berbicara. Ia berjalan menghampiri pasangan ibu dan anak itu ketika Ray mengisyaratkannya untuk mendekat.

"Ma, ini Rhea." Rhea membungkukkan badan dengan sopan mengetahui Ray memperkenalkan dirinya pada ibunya. Ini ibu-ibu masih umur tiga puluhan ya? Kok keliatan muda banget.

"Wah, cantik, ya," komentar ibu Ray sambil mengelus lembut rambut panjang Rhea.

Rhea tersenyum tersipu. "Makasih, Tante."

"Kelas berapa?"

"Sebelas." Rhea baru akan menjawab ketika Ray sudah menyambar dengan santainya. Posisinya yang semula berdiri di dekatnya berubah duduk di sofa bermotif bunga yang terletak di dekat tangga. Dua sofa pendek dan dua sofa panjang yang disusun melingkar, dengan meja di tengah.

"Mama tanya Rhea, bukan kamu." Ibu Ray mendelik pada Ray yang malah asyik bermain ponsel, membuat Rhea tertawa kecil. "Sudah, kamu mandi dulu. Bau."

Senbazuru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang