45. Lelaki dan Opini

4.4K 366 20
                                    

Musik DJ menghentak seluruh sudut ruangan, memekakkan telinga siapa saja yang ada di tempat ini. Namun semuanya tahu, hampir tak ada yang merasa terganggu dengan suara-suara itu. Sebaliknya, mereka malah menari brutal dan tidak karuan, sama sekali tidak sesuai dengan musik yang sedang dimainkan. Ada pula beberapa orang yang hanya meminum pesanannya tanpa berniat untuk menari, seperti yang dilakukan Ray saat ini. Hanya berdiri sambil terus meminum bir-nya. Berulang kali keempat temannya mengajaknya untuk menari bersama, namun selalu ditolak dengan alasan malas bergerak.

Padahal alasan sebenarnya adalah karena kemampuan menarinya yang payah.

Entah sebuah kebetulan dari mana, mata Ray bertabrakan dengan mata seorang gadis yang dari siluetnya saja sudah dapat diketahui. Ia menyipitkan mata untuk memastikan, dan ternyata dugaannya tidak salah.
Itu Thalia.

Gadis itu menari kecil di antara banyaknya orang, juga menatap intens Ray. Ia tersenyum manis, yang juga dibalas senyuman kecil oleh cowok itu.

Thalia menghampiri Ray yang sedang berdiri sendiri. “Kenapa nggak ikutan?”

Ray menggeleng. “Males,” jawabnya singkat. “Kakak sering kesini?”

“Nggak sih, kalo lagi ada masalah aja.” Thalia meraih sebotol bir yang terletak di atas meja, menuangkannya ke dalam gelasnya, lalu gelas Ray.

“Sama, gue juga ada masalah. Banyak malah.” Dimasukkannya lagi sisi gelas bir itu ke dalam bibirnya, meneguknya tanpa membaca doa. Hei, tentu saja, mana ada meminum minuman terlarang sambil membaca doa?

Kedua alis Thalia terangkat, mulai tertarik dengan topik yang dibahas. “Gue denger lo putus sama Rhea dan nyokap lo udah nggak ada, bener?” Ray hanya mengangguk untuk menjawabnya, berusaha mengusir perasaan muram yang tiba-tiba bersemayam dalam dada.

Tapi siapa yang tahu, diam-diam Thalia tersenyum puas. Akhirnya semua rencananya berhasil. Berhasil membuat Ray jatuh ke posisi paling bawah, kemudian membuat cowok itu putus dengan Rhea. Setelah ini ambisinya untuk memiliki Ray seutuhnya akan tercapai.

Tinggal menunggu waktu.

“Gue turut berduka cita atas hal itu,” ucap Thalia. Diusapnya sebelah bahu bidang Ray lembut seolah menyalurkan kesedihannya yang sayangnya hanya sebuah topeng.

Mendapati juniornya tidak menjawab, Thalia berbicara lagi, “Ikutan nari yuk, biar beban lo agak berkurang.” Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis itu menarik tangan Ray ke tengah-tengah area disko, kemudian menari sekenanya, tak peduli dengan beberapa orang yang mulai memandangnya aneh karena gerakannya yang tak dapat dimengerti.

“Aw!” Thalia meringis merasakan tubuhnya menabrak sesuatu yang membuatnya sedikit oleng. Gadis itu mendongak, mendapati seorang lelaki yang kira-kira sebayanya –atau sebaya dengan Ray- menatapnya dengan seculas seringaian. Thalia yang merasa terganggu akan sorot mata itu berusaha menyingkir untuk mencari Ray yang sudah terpisah dengannya entah kemana. Sayang, tangan cowok itu lebih sigap menahan lengannya.

“Mau kemana, cantik?” tanya cowok itu dengan nada lembut yang dibuat-buat. Dipeluknya Thalia dari belakang, mengusap perut rata cewek itu selembut mungkin. Thalia memberontak, berusaha melepaskan tubuh lelaki yang menempel dengan punggungnya.

“Lepasin!” desis Thalia.

Selow aja, cantik. Nggak akan ada yang bisa menganggu kemesraan kita.” Hembusan napas menyapu pelan leher Thalia tatkala laki-laki itu berbisik tepat di telinganya. Thalia mengerang, merasa jijik dengan perlakuan gila laki-laki yang bahkan tidak dikenalnya itu.

Bugh!

Thalia masih berusaha memberontak tanpa hasil. Beruntunglah seseorang menendang tubuh cowok itu hingga tersungkur. Manik mata Thalia berbinar melihat seseorang yang menolongnya adalah Ray.

Senbazuru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang