25. Memori Menyayat Hati

5.9K 442 40
                                    

"Tapi itu semua terlihat dari sorot mata kamu, Rhea sayang."

Apa katanya? Sayang?

"Rhe, pipimu kok merah? Sakit ya?" tanya Ray penasaran sekaligus khawatir. Ditempelkannya tangan besar itu ke dahi perempuan di depannya untuk memastikan. Rhea yang merasakan tubuhnya semakin memanas sampai menjalar ke pipi sontak menggeleng keras. Apa dirinya semalu itu sampai pipinya merah dalam waktu singkat?

"Oh, berarti blushing dong." Ray melepaskan tangannya yang menempel di dahi Rhea dan manggut-manggut mengerti. Sedetik kemudian matanya membulat, senyum lebarnya mengembang. "Kesayanganku makin gemesin deh kalo pipinya merah."

Rhea hanya bergeming, bahkan ketika Ray mencubit kedua pipinya dengan gemas. Sepertinya laki-laki itu memang sengaja menggodanya tanpa henti. Namun, otaknya sibuk berpikir, apa yang terjadi? Apa yang terjadi dengan jantungnya? Mengapa jantungnya menghasilkan debaran-debaran yang menyenangkan sekaligus memalukan?

"Apaan sih, Ray." Dengan sekuat tenaga Rhea melepas tangan Ray yang sebelumnya masih setia menarik pelan pipinya. "Terus, apa yang membuat kalian musuhan sampai sekarang?" tanyanya berusaha mengganti topik pembicaraan menjadi sedia kala.

Ray mengubah ekspresinya menjadi lebih serius. Dan tak lama, rangkaian kata demi kata yang merupakan sebuah pengakuan menyakitkan meluncur mulus dari mulutnya, tanpa ada satu pun yang terlewatkan.

Ray yang sedang berkumpul dan tertawa bersama teman-temannya, menghentikan aktivitasnya sejenak, merasakan ponselnya bergetar di dalam saku. Ia menggeser tombol hijau mendapati seseorang yang dicintainya meneleponnya. "Halo, Lisa?"

"Ray.." Dahi Ray berkerut samar mendengar suara isak tangis di seberang sana. "Tolong.."

Secara refleks, tubuh Ray menegang. Jantungnya mulai menghasilkan debaran-debaran yang tidak mengenakkan hati. Ia menaruh botol alkohol yang baru akan dituangkannya ke gelas. Beruntunglah ia sedang tidak mabuk, jadi dirinya masih mampu memahami apa maksud lawan bicaranya."Kenapa, Lis?"

"Papa, dia dateng ke rumah.. mabuk," jawab Lisa terbata-bata. "Dia mau.. Pa, jangan!"

PRANG!

"Lis!" Suara Ray yang cukup keras membuat suasana yang semula ramai berubah hening. Ray tidak mengacuhkan teman-temannya yang menatapnya dengan sorot mata bertanya. "Lisa, Lis, jawab gue! Lisa!" Tak ada jawaban. Suara benda pecah yang seperti dilempar, bertepatan dengan itu ponsel yang digunakan Lisa mendadak tidak ada sambungan.

Ray memasukkan ponselnya ke dalam saku. Perasaannya mulai tak enak, otaknya memutar kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Baru saja dirinya akan melangkah keluar dari kafe, Adam menahannya. "Mau kemana?"

"Dam, Lisa dalam bahaya! Gue mau nolongin dia."

"Bentar lagi acaranya mulai, Ray. Lo salah satu anggota inti, jangan pergi dulu kalo lo nggak mau dikeluarin."

"Lisa sendirian di rumah, Dam! Siapa yang jagain? Gue nggak ada disana, Mama ke luar kota, Papa..." Ray menjeda kalimatnya sejenak. Tidak, ia tidak boleh terlalu frontal mengatakan kalau ayahnya sedang dalam keadaan kurang waras. "Papa masih di kantor."

"Lisa bukan anak bayi, dia bisa jagain dirinya sendiri."

"Tapi dia dalam bahaya, Dam!"

"Kalo Lisa kenapa-napa harusnya dia nelepon gue. Gue pacarnya."

"Gue saudaranya, bego!" Hening lagi. Semua pasang mata mengarah pada Ray dan Adam yang melontarkan argumen masing-masing. Ray yang khawatir saudari sekaligus seseorang yang dicintainya dalam bahaya, dan Adam yang tidak ingin Ray menjadi bulan-bulanan karena meninggalkan kafe saat acara mereka akan dimulai.

Senbazuru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang