24. Hujan Pemanggil Kenangan

5.8K 446 47
                                    

"...Gue udah bisa ngehapus rasa cinta gue ke lo sebagai cinta pertama gue."

Ray, pernah menyukai saudara kandungnya sendiri?

"Ray..," panggil Rhea sangat pelan, bukan lagi nyaris seperti bisikan, tapi ia memang berbisik, sampai tidak mencapai rongga pendengaran Ray.

"Lis, gue pernah cerita kan kalo Mama koma? Sekarang Mama udah sembuh, udah bisa bangunin gue, masakin makanan, dan melakukan aktivitas kayak biasanya. Gue seneng, Lis, gue harap lo juga seneng di sana." Ray mengusap batu nisan yang menancap di dalam tanah dengan penuh penghayatan. Ia tersenyum terluka.

"Maaf, gue belum pernah bahagiain lo. Maaf dulu gue sering jahilin lo sampe nangis. Maaf gue pernah suka sama lo. Maaf juga, gue gagal jadi kakak yang baik." Tepat ketika Ray menyelesaikan kalimatnya, setitik cairan bening dengan mulusnya meluncur melewati pipi laki-laki itu. Rhea merasa hatinya terombang-ambing melihat Ray meneteskan air mata, di depannya. Ia ingin air mata itu berhenti mengalir, tapi dirinya bisa apa? Menghibur? Atau menghapus air matanya? Oh ayolah, Rhea bukanlah tipe gadis yang dengan mudahnya menyentuh laki-laki.

Sekarang, Rhea merasa ada sesuatu yang aneh. Setitik air jatuh mengenai rambut legamnya. Ia mendongak, terkejut mendapati cuaca sudah tak lagi bersahabat layaknya beberapa menit lalu.

Akhirnya, dengan mengumpulkan segenap nyalinya yang tidak seberapa, Rhea berkata pelan, tapi masih bisa terdengar, "Ray, udah mendung, bentar lagi pasti hujan. Pulang yuk, nanti Lisa marah kalo lo sakit."

Rhea menelan ludahnya sendiri kala mereka bersitatap. Mata laki-laki itu merah, sorotnya terlihat sangat mengenaskan. Ray menoleh lagi menatap tempat peristirahatan Lisa. Sekali lagi ia tersenyum terluka. "Lis, gue balik ya. Kalo ada waktu gue kesini lagi." Dielusnya kembali nisan tepat di nama 'Lisa Talitha Mahardika' dengan sayang, lantas berdiri.

Rhea juga berdiri, namun alisnya bertaut, dahinya berkerut kala Ray mengulurkan tangan padanya. "Yuk, katanya pulang," ucap Ray seolah mengerti apa yang akan ditanyakan Rhea.

Raut wajah Rhea semakin berkerut. "Gue bisa jalan sendiri, kenapa harus pegangan. Emang gue nenek-nenek," jawabnya sewot. "Udah ah, keburu hujan nih. Gue juga ngeri ada disini lama-lama." Rhea berjalan mendahului. Ray hanya tersenyum tipis sambil menggeleng beberapa kali, heran dengan tingkah gadis yang satu ini.

"Oh ya? Padahal aku lebih suka disini, lebih rame," ujar Ray ngasal setelah langkah mereka sejajar. Ia sengaja berkata begitu untuk mengerjai Rhea.

"Plis deh, Ray, ini kuburan bukan pasar malem." Sesuai dugaan, Rhea menjawab dengan nada cueknya, membuat Ray sekali lagi tersenyum manis. Apa pun kalimat yang dilontarkan gadis ini selalu bisa menjadi obat baginya. "Ini kenapa lagi senyam senyum. Jangan bilang lo lagi kesurupan."

"Iya, kesurupan cintaku padamu."

"Mending lo diem deh gak usah gombal, geli tauk." Rhea bergidik ngeri. Bukan rekayasa, ia bersungguh-sungguh kalau dirinya sangat anti dengan sesuatu yang berbau 'gombal'.

°°°

Hujan rintik-rintik yang semula membasahi kota Jakarta berubah menjadi guyuran air yang deras. Karena hujan berhasil membasahi tubuh mereka dalam waktu singkat, pengendara motor memutuskan untuk berhenti menunggu hujan reda. Ada yang sekadar menunggu di pondok kecil, ada juga yang menunggu di dalam kafe sembari menyesap kopi panas yang membantu menghangatkan badan.

Begitu juga dengan dua remaja yang sudah memarkirkan motor di depan sebuah warung kopi kecil. Suasana hening terus mendominasi mereka selama beberapa menit. Hanya terdengar suara pengunjung lain yang sedang bercengkerama, juga suara radio butut yang terletak di atas meja kasir. Radio tersebut terus memutar lagu-lagu dangdut zaman dulu.

Senbazuru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang