Ray mengusap kasar pipinya yang sedikit basah karena setetes air yang lolos dari pelupuk mata. Tangannya mengenggam erat tangan dingin yang terbaring lemah di atas ranjang. Ada banyak sekali perasaan menyesal dan bersalah yang timbul bersamaan, membuat dada Ray semakin sesak dan ingin meledak. Jika bisa, ingin hasratnya memutar ulang waktu untuk menebus semua kesalahannya pada wanita itu. Hanya ada suara elektrokardiograf yang naik dan turun yang mengisi ruangan penuh keheningan itu. Harapan Ray untuk elektrokardiograf tersebut adalah, jangan sampai alat itu menunjukkan garis lurus.
"Bentar lagi pasti Tante Linda bangun, Ray...." Farah dengan lembut mengusap bahu Ray yang sedikit bergetar karena tangis yang mati-matian ia tahan. Farah tahu betul bagaimana menyenangkannya Linda, karena beberapa waku lalu dirinya pernah berkunjung ke rumah Ray untuk kerja kelompok. Bahkan ia berpikir Ray adalah anak yang beruntung karena memiliki ibu sebaik Linda. Linda adalah sosok ibu idaman yang Farah inginkan, bukan seperti ibunya sekarang yang tidak terlalu mengurusnya dan lebih mementingkan karir.
"Gue anak durhaka. Gue udah bentak Mama tanpa berpikir kalo dia punya penyakit mematikan. Harusnya gue bersyukur dan lebih jagain Mama setelah dia sembuh dari komanya," racau Ray tanpa menatap lawan bicaranya. Matanya hanya terus terfokus pada wanita yang paling disayanginya di dunia yang fana ini.
"Lo emang salah, tapi itu bukan salah lo. Gue tau gimana keadaan psikologis lo karena emosi lo nggak terkendali, efek dari obat yang selama ini ada dalam diri lo." Farah menarik kursi untuk duduk tepat di sebelah Ray. "Jangan salahin diri lo sendiri, karena itu percuma. Itu semua hanya akan membuat lo dirundung rasa bersalah. Senyumin aja, karena itu takdir dari Tuhan."
Seperti gerakan slow motion, Ray menoleh, menatap lekat manik netra Farah yang tersenyum padanya. Mungkin sekitar lima detik dua anak manusia itu saling melempar sebuah tatapan berarti, berusaha mencari-cari arti dari tatapannya masing-masing. "Makasih, karena lo selalu ada buat gue."
Baru Farah akan menjawab, tangan dingin yang sedang digenggam Ray itu bergerak perlahan, membuat keduanya menoleh. Mata mereka sama-sama membulat mendapati kelopak mata itu sedikit demi sedikit mulai terbuka dan bergerak. "Ma, Mama bisa denger Ray?" Ray bangkit dari posisi duduknya, semakin menggenggam tangan rapuh itu. Senyum penuh kebahagiaan terpancar jelas dari wajah dinginnya, benar-benar bahagia akan mukjizat Tuhan yang menyelamatkan malaikat pelindungnya untuk kedua kali.
"Far, lo panggil dokter." Farah yang ikut tersenyum bahagia mengangguk, mengambil langkah seribu keluar dari ruangan.
"Mama sabar ya, bentar lagi Dokter datang," kata Ray lembut.
"R-Ray...," panggil Linda dengan ringkihan yang terdengar sangat jelas. Untuk berbicara saja wanita itu harus bersusah payah memaksa pita suaranya. "Ambi-lin hape... Ma-ma...."
Dahi Ray sedikit berkerut. Mengapa Linda malah menyuruhnya mengambilkan ponsel? "Hape Mama ada di rumah. Kalo Ray tinggal, nanti Mama sendirian."
"Ng-nggak pap-a...."
Ray mengangguk paham. "Oke, Ma, tunggu bentar." Kakinya dibawa lari secepat mungkin keluar rumah sakit menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Sampai disana, ia menepuk keras dahinya, mengingat kunci motornya tertinggal di nakas dengan ranjang ibunya. Tanpa membuang waktu dengan kembali ke ruangan, Ray berlari menuju rumahnya. Beruntunglah jarak rumah sakit dengan rumahnya tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 2,5 km.
Selesai mengambil ponsel Linda, Ray kembali berlari menuju rumah sakit tanpa memedulikan tempo napasnya yang terengah-engah karena lelah. Tidak peduli bagaimana fisiknya yang mulai lelah untuk berlari. Yang terpenting sekarang adalah keadaan ibunya.
Langkah Ray perlahan memelan melihat ruangan tempat ibunya dirawat semakin dekat. Senyum haru kembali menghiasi wajahnya. Tak apa meskipun Lisa sudah meninggalkannya dan Arya sudah mendekam di dalam penjara, setidaknya ia masih memiliki Linda yang akan ia jaga sampai akhir hayatnya.
Senyum Ray memudar melihat dokter dan beberapa suster berkumpul di ruangan ibunya, juga Farah yang berdiri di sisi ranjang. Air mata mengalir deras membasahi pipi mulus gadis itu. Tubuh Ray semakin menegang mendapati tubuh ibunya sudah tertutup kain putih. Pandangannya kosong. Waktu terasa berhenti. Dunia seperti berputar, membuat kepalanya semakin pusing dan semuanya terlihat membingungkan. Ponsel Linda yang digenggamnya, jatuh begitu saja.
Mendengar suara benda jatuh, Farah menoleh. "Ray...," panggilnya parau.
Pandangan Ray memudar karena tertutup sesuatu yang basah. Dipaksanya kakinya melangkah kaku berdiri di samping Farah. "Mama kenapa?" tanyanya nyaris tak terdengar. Suaranya bahkan terdengar menyedihkan.
"Dia... udah nggak ada, Ray. Tadi Tante Linda bilang dia mau nyusul Lisa," desis Farah tak kalah pelan.
Ray mengayunkan kepala ke kanan dan kiri beberapa kali. "Nggak, nggak mungkin." Disibakkannya kain putih itu untuk melihat ibunya. Wajah pucat itu terpejam dengan tenang, seolah tak ada yang terjadi dengannya. "Ma, bangun, Ma. Ray udah disini." Ray terus menggocang tubuh Linda tanpa arti, tanpa hasil. Karena akhirnya tetap sama. Wanita itu sama sekali tidak membuka mata.
Mata Ray beralih ke dokter yang berdiri di sisi kiri ranjang. Dokter itu hanya diam membisu, tidak berani mengucap apapun. Sorotnya berubah marah, lantas mengambil langkah lebar mendekati dokter tersebut. "Kenapa Dokter nggak nyelametin Mama, hah!? Kalo aja Dokter nggak telat datang, pasti Mama masih selamat! Pasti Mama nggak bakalan berakhir kayak gini!" bentak Ray berapi-api sambil menarik kerah baju dokter itu penuh amarah. Air matanya mulai menetes, antara marah, sedih, terpukul, dan kecewa.
"Ray, udah, Dokter itu nggak salah. Dia dateng tepat waktu." Farah menarik tubuh Ray dan berusaha menenangkannya. "Gue udah bilang tadi. Ini semua takdir Tuhan. Dia nyiapin banyak sekali hikmah buat lo di semua ini. Dia pengen lo lebih kuat dan mandiri ngejalanin hidup. Mereka udah pergi, lo harus ikhlas."
Saking tidak kuatnya mengetahui kenyataan hidup yang sangat menyesakkan dada, Ray terkulai lemas, terduduk pasrah. "Tuhan jahat, Far. Dia udah ngambil Lisa dan Mama. Mungkin bentar lagi dia bakal ambil gue."
Farah ikut duduk di lantai, memeluk laki-laki yang sedang rapuh itu dari belakang. "Tuhan nggak pernah jahat sama hamba-Nya. Ini ujian, lo harus berusaha untuk bangkit, jangan pernah menyerah. Tuhan sayang sama nyokap lo, makanya Dia ambil Tante Linda lebih cepat."
"Tapi gue udah nggak punya siapa-siapa. Mama harapan terakhir gue. Setelah ini, gue gimana?"
Farah meletakkan dagunya di bahu kiri Ray, berbisik lembut di telinga cowok itu. "Semuanya akan baik-baik aja. Lo masih punya gue, Ray. Gue bisa jadi sahabat lo, atau apapun itu. Tadi Tante Linda juga sempet bilang, dia titip lo ke gue."
Akhirnya, Ray menangis sejadi-jadinya, tidak peduli dengan dokter dan para suster yang menjadikannya pusat perhatian. Memang, apa lagi yang lebih menyakitkan selain kehilangan seorang ibu yang bagaikan seorang malaikat sekaligus wonder woman untuk anaknya? Seorang ibu yang rela bangun pagi demi membangunkan anaknya untuk sekolah. Seorang ibu yang rela tidak tidur semalaman untuk menjaga dirinya yang kala itu masih bayi dan suka rewel. Seorang ibu yang membersihkan kotoran anaknya di waktu bayi tanpa ada rasa jijik. Seorang ibu yang rela tidak makan demi anaknya yang juga sedang kelaparan. Seorang ibu yang rela mempertaruhkan nyawanya yang sudah di depan mata ketika melahirkan anaknya. Seorang ibu yang rela bangun di tengah malam untuk mendoakan anaknya sampai air matanya tak berhenti mengalir. Seorang ibu yang rela melakukan segalanya demi kebahagiaan anaknya.
Ray menatap sendu ranjang Linda yang mulai dipindahkan ruangan.
Selamat jalan, Mama....
Sorry for very late update. Biasa, tanggal tua paketan abis 😂 Ini aja numpang hotspot adek dan nggak sempat gue revisi, makanya maaf kalo ada kalimat yang nggak pas. Gue lagi galau gaes, biasa masalah doi. Doain aja gue nggak jadi ditikung temen ya wkwkwk. Don't forget to vomment, thanks 💘
27 Januari 2017
~penulisamatiran_
KAMU SEDANG MEMBACA
Senbazuru✔
Teen FictionAda tiga fakta mengerikan yang tersemat dalam diri Reynando Prasraya Mahardika, cowok bebal yang berhasil bikin geger satu sekolah di hari pertamanya karena berani melawan OSIS. 1. Gonta-ganti cewek adalah hobinya. 2. Bermain sama cewek tiap malam a...