21. Kedatangan di Malam Hari

6.1K 481 15
                                    

Ray berlari secepat yang dia bisa memasuki ruang VIP 02 sampai rambut legamnya sedikit berkibar-kibar, membuat beberapa wanita di rumah sakit terpana melihatnya. Ia membuka pintu VIP 02 tanpa mengetuknya terlebih dahulu dengan cukup keras, membuat orang-orang yang ada di dalam ruangan terkejut dan sontak menoleh ke arahnya. Paman dan bibinya, sepupu-sepupunya, serta kakek neneknya. Semuanya ada disini.

"Ray! Jangan buat Mama kaget." Suara wanita yang sedang duduk di atas bankar dengan bersandar pada bantal membuat senyum Ray mengembang. Ia merindukan suara itu. Ia merindukan sosok itu.

"Mama!" Ray meluru memeluk ibunya yang entah sudah berapa lama terbaring di atas sana. "Ray kangen Mama, rumah sepi tanpa Mama." Ray melepas rindu yang sudah bertumpuk sangat lama dalam lubuk hatinya dengan memeluk wanita tersayangnya itu.

"Ya ampun anak Mama terlihat lebih besar." Mira melepas pelukan putranya dengan sayang. "Sudah punya pacar belum?" tanyanya menggoda.

"Pacar... Pacar...," gumam Ray tidak jelas. Sedetik kemudian matanya membelalak lebar, persis seperti orang kehilangan barang berharga. "Ma, Ray pergi dulu, ada urusan bentar. Nanti Ray kesini lagi, oke?" Ray kembali berlari keluar dari rumah sakit. Setelah menyalakan mesin, laki-laki itu segera melajukan mobilnya berbalik arah. Ray melirik arlojinya, terlihat kedua jarum menunjuk angka sembilan. Ia mengigit jarinya yang tidak memegang setir. Dengan kecepatan penuh ia membawa kendaraan beroda empat itu menuju McDonald.

Sampai disana, Ray membuka pintu yang terbuat dari kaca itu dengan kasar. Tanpa memedulikan beberapa orang yang menoleh aneh ke arahnya, matanya meliar ke segala penjuru, namun gadis yang dicarinya tidak ada.

"Mbak, liat cewek segini, rambutnya panjang, pake cardigan biru, trus duduk disana?" Ray menunjuk meja nomor empat yang dekat dengan jendela pada salah satu pelayan.

"Oh, sudah pulang, Mas. Dari tadi emang Mbak itu nunggu disitu."

"Oh, makasih, Mbak." Ray berjalan keluar dari McDonald dengan langkah sedikit diseret. Pasti dia sudah pulang. Pasti gadis itu sudah pulang. Ray merutuki dirinya sendiri yang sempat melupakan gadis itu. Tidak salah lagi, pasti Rhea marah dan kecewa padanya. Rencananya untuk mengungkapkan perasaannya malam ini, gagal total.

Setelah beberapa detik hanya berdiam diri di dalam mobil, Ray mengarahkan mobilnya bergabung ke jalan raya bersama puluhan kendaraan lain.

Sekitar sepuluh menit kemudian mobil hitamnya berhenti di sebuah rumah bercat putih, seperti cat rumahnya. Ray turun dari mobil dan menatap rumah itu cukup lama, ambigu antara harus melakukannya atau langsung pulang. Tetapi karena Ray merasa dirinya adalah laki-laki sejati, ia mulai melangkah mendekati rumah itu dan mengetuk pintunya.

Pintu dibuka oleh seorang gadis kecil yang kira-kira masih SD. Baru saja Ray akan membuka mulut untuk menjelaskan kedatangannya yang sudah larut, gadis itu berteriak, "Kak Brina, ada tamu, Peach kawe." Setelahnya, Ray mendengar ada sesuatu yang ribut dari dalam, disusul dengan gadis remaja berambut keriting yang muncul di hadapannya. Gadis itu terperangah melihatnya selama beberapa detik, setelah itu berbisik pada gadis kecil tadi, membuat Ray tambah bingung sendiri. Anak aneh.

"Silakan masuk, Kak. Nyari Kak Rhea, ya?" Gadis yang ternyata bernama Brina itu sedikit menarik diri untuk mempersilahkannya masuk. Ray hanya mengangguk tanpa bertanya bagaimana si Brina itu tahu maksud kedatangannya. Ray duduk di sofa hitam yang terletak di depan TV, satu-satunya sofa dalam ruangan ini. Dua gadis tadi sudah pergi meninggalkannya, yang satu memasuki dapur, satunya menaiki tangga sambil berteriak memanggil nama Rhea.

Ray menautkan kesepuluh jemarinya dengan resah. Ia membasahi bibirnya sendiri, berusaha tidak terlihat gugup ketika bertemu dengan gadis pujaannya. Sebisa mungkin ia menyiapkan berbagai kalimat maaf yang akan dilontarkan.

"Ngapain lo kesini?" Suara khas gadis ABG itu membuat Ray menoleh dengan jantung berdebar. Rhea berdiri di sisi sofa sembari menatapnya datar. Ray ikut berdiri dan menatap gadis itu lekat. Ia bisa menangkap ada sorot kekecewaan dalam manik mata Rhea.

"Rhe, aku nggak bermaksud ninggalin kamu tadi. Habis dari rumah Farah, aku dapet kabar kalo Mama sadar setelah koma beberapa hari. Dan entah kenapa setelah itu pikiranku tentang kamu ilang gitu aja. Hape-ku juga nge-drop, jadi kalo kamu ngirimin pesan atau nelpon-"

"Gue cuma tanya ngapain lo kesini." Kalimat Rhea yang dingin berhasil membuat suara Ray tercekat di tenggorokan. Gadis ini benar-benar tak ingin tahu alasannya.

"Aku mau minta maaf." Akhirnya, kalimat itulah yang kemudian terlontar dari bibir Ray. Pertahanannya rapuh, menyadari ia sangat mencintai gadis di hadapannya ini.

"Oh, yaudah." Rhea membalikkan badan, membuka pintu rumahnya dan menatap Ray. "Lo boleh pulang."

"Kamu maafin kan?"

Rhea menghela napas panjang. "Kalo gue boleh jujur, gue emang kecewa sama lo." Sekarang Ray merasa dadanya ditikam oleh sesuatu yang tajam. "Tapi gue tau, keluarga itu lebih penting. Gue juga pastinya bahagia waktu tau nyokap gue sadar setelah koma. Gue juga tau, gue nggak bisa memaksakan kehendak gue sendiri. Gue nggak boleh egois." Rhea semakin membuka pintu rumahnya lebih lebar. "Lewat kata-kata gue tadi, pasti lo udah tau gue maafin lo apa enggak. Jadi sekarang mendingan lo pulang. Gue ngantuk." Sebenarnya Ray ingin membuka mulut lagi, tapi melihat tatapan Rhea yang memohon, ia memilih untuk mengalah. Cowok itu berjalan keluar dari rumah Rhea dengan cukup lamban, layaknya orang bodoh.

Setelah mobil Ray menghilang dari jarak pandangnya, Rhea mendesah panjang, lalu menutup pintu. Ia berjalan menuju tangga ketika Brina datang dengan segelas teh. "Loh, Kak Peach kawe mana?" tanya Brina bingung.

"Udah pulang. Itu teh buat gue ya?" Rhea mendekati Brina dan mengambil alih teh dari tangan sepupunya. Ia menyesap teh yang masih mengepul itu, membuat Brina menghentak-hentakkan kakinya kesal.

"Kenapa Kakak nyuruh dia pulang siih? Itu tehnya buat Kak Peach kawe. Kan dia bukan pacar Kakak, siapa tau dia mau sama gue."

"Centil amat lo." Rhea meneloyor pelan bahu Brina yang masih memberengut. "Btw makasih tehnya." Ia berjalan menaiki tangga untuk memasuki kamar dengan secangkir teh di tangan.

°°°

Ray memasuki rumahnya yang seperti biasa, sepi dan lengang. Mulanya ia melangkahkan kaki dengan santai, tapi sesuatu menahan kakinya untuk tidak berkelana di atas tangga terlebih dahulu.

"Kenapa baru pulang?" Ray membalikkan badan ke arah ruangan Arya yang terbuka. Disitu terlihat Arya tengah mengerjakan sesuatu dengan serius, bahkan ketika bertanya ia sama sekali tidak menatap lawan bicaranya.

"Habis ke rumah sakit. Mama udah sadar."

Arya mengangguk beberapa kali, matanya tetap terfokus pada catatan di atas meja. "Baguslah."

Tangan Ray terkepal erat. Jika dia bukanlah ayahnya, ia pasti sudah menghabisi pria itu sampai amarahnya tersalurkan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ray menyusuri anak tangga untuk memasuki kamarnya.

Semakin menyeret kaki untuk menyusuri rumahnya, memori menyakitkan itu semakin menggentayangi pikirannya. Tawa, tangis, teriakan, dan suara-suara yang kini hilang seolah terdengar kembali begitu ia memasuki rumah. Bersahut-sahutan, membuat Ray merasa digentayangi.

Langkah Ray terhenti di balkon yang terletak di kamarnya, menghirup dalam-dalam udara segar yang sedikit menyegarkan otak, membiarkan angin malam yang dingin membelai rambut dan tubuh atletisnya. Ia menengadah ke atas, melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit seolah menyambut kedatangannya.

Seulas senyum tercetak di bibir basah Ray kala menatap bintang yang bersinar paling terang.

"Gue tau, dari semua bintang, yang paling terang itu lo, Lis."

Why about this part? Duh, aku sok Inggris banget ya :'v Ada yang kepo siapa Lisa? Gak ada? Ya udah :'v Maaf baru update. Jangan lupa vomment ya❤

14 November 2016

~penulisamatiran_

Senbazuru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang