46. Pernyataan Adam

4.7K 408 37
                                    

“Duduk disini boleh?” Rhea mengangkat kepala dan yang pertama kali dilihatnya adalah Adam berdiri di samping tempatnya duduk. Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban, masih bungkam bahkan sampai Adam duduk di sebelahnya.

“Kayaknya enak. Gue minta ya,” tukas Adam sambil mencomot satu pukis tersisa. Rhea kembali mengangguk, tanpa mengucap sepatah kata. Adam yang merasa tidak nyaman dalam suasana hening seperti ini, membuka mulutnya lagi. “Udah lama disini?”

“Lumayan.” Rhea bahkan tidak menceritakan soal Tania yang tadi menemaninya dan baru saja meninggalkannya. Ia hanya merasa itu tidak penting untuk dijelaskan. Pikirannya terlalu fokus pada laki-laki yang entah sejak kapan selalu memenuhi pikirannya. Sedang apa dia? Bagaimana keadaannya? Apa dia bahagia tanpanya?

Adam mengangguk paham. Ditatapnya tanpa berkedip gadis yang terduduk di sampingnya, gadis yang sama sekali tidak meliriknya. Sakit? Jangan tanyakan lagi. Memangnya, bagaimana perasaan kalian ketika seseorang yang dicintai tidak merespon semua perhatian kita? Bahkan Adam merasa bodoh karena dirinyalah yang selalu membuat topik dan berbicara terlebih dulu. “Tumben diem. Mikirin Ray?”

Sebuah anggukan kecil tercipta dari gadis itu, lebih dari cukup untuk membuat Adam harus menahan rasa sakit yang menikam hatinya hidup-hidup. Apa sesakit ini mencintai seseorang yang tidak pernah peka atas perasaan kita?

“Cerita aja. Gue bisa jadi pendengar yang baik.”

Munafik.

Baiklah, Adam memang berbakat menjadi pendengar yang baik, namun tidak dengan kondisi hatinya yang tidak baik jika terus-terusan menyiksa diri dengan mendengar segala cerita Rhea tentang Ray. Kadang, Adam juga tidak mengerti akan hatinya. Semacam tidak memiliki tapi takut kehilangan, semacam tak punya status tapi merasakan kecemburuan.

“Gue sekarang ngerasa bodoh banget, Dam. Mau pergi tapi sayang, mau bertahan tapi sakit.” Rhea mulai berbicara sedikit lebih panjang, walaupun arah pandangnya tetap tertuju pada sungai di bawah sana yang mengalir dengan tenangnya.
“Sabar,” ucap Adam singkat, tidak tahu harus menjawab apa. Kenyataannya, posisinya sama dengan posisi Rhea saat ini. Logika ingin melupakan, tapi hati tak pernah sejalan.

Rhea mendecih pelan. Kepalanya sedikit terangkat hingga netra mereka saling bertemu. Gadis itu meringis pilu. “Sabar? Gue udah enek sama kata itu. Sabar nggak semudah ketika lo bilang ‘Sabar ya’.” Jeda sejenak sebelum Rhea berbicara lagi. “Mungkin, hati ini terlalu perih untuk menggambarkan apa yang terjadi. Intinya gak enak banget ada di posisi kayak gini. Rasanya pengen balik aja ke masa kecil, dimana belum ngerti cinta-cintaan. Atau, enak kali ya jadi cowok. Bisa berbuat seenaknya dan nggak peduli apa-apa.”

Seulas senyum tipis tergampir di bibir Adam. “Lo salah, Rhe. Masa kecil nggak seindah itu. Coba bayangin, lo masih nggak tau apa-apa, pikiran lo masih dangkal, dan lo belum tau apa itu membanggakan kedua orang tua. Bukankah lucu waktu lo kecil, lo liat orang dewasa berdebat dan lo hanya bisa mendengarkan tanpa tau maksudnya? Beda waktu kita udah dewasa. Seiring berjalannya waktu, pikiran lo terus berkembang, lo juga mulai bisa menyelesaikan masalah-masalah di sekitar lo. Kita jadi lebih berguna di masa dewasa. Hidup ini lebih indah jika kita sudah membantu orang kan?”

Rhea hanya mendengar tanpa berkomentar sampai lelaki di sampingnya ini menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya. “Dan soal masalah-masalah yang silih berganti, itu wajar. Itu udah hukum alam, ujian dari Tuhan. Tuhan pengen tau apakah hamba-Nya bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa terus bergantung pada-Nya. Dan jika kita berhasil keluar dari masalah-masalah itu, selamat, lo udah jadi makhluk Tuhan yang berhasil.

“Satu lagi, jadi cowok bukanlah perkara mudah. Apa lo pernah berpikir gimana kerasnya bokap lo kerja? Dia bukan hanya kerja buat menghidupi anak dan istrinya. Pria berpikir keras bagaimana menjadi suami dan ayah yang baik untuk istri dan anak-anaknya. Pria juga berpikir keras bagaimana melindungi orang-orang yang dia sayangi dari marabahaya. Pria yang baik berpikir keras bagaimana caranya menyenangkan pasangannya. Karena bagi pria yang baik, wanita adalah malaikat tanpa sayap yang tidak sepantasnya disia-siakan.”

Senbazuru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang